Mohon tunggu...
Very Barus
Very Barus Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Writer, Traveler, Runner, Photo/Videographer, Animal Lover

Mantan jurnalis yang masih cinta dengan dunia tulis menulis. Sudah menelurkan 7 buah buku. Suka traveling dan Mendaki Gunung dan hal-hal yang berbau petualangan. sejak 2021 menyukai dunia lari di usia setengah abad. target bisa Full Marathon. Karena sejatinya hidup adalah sebuah perjalanan, maka berjalannya sejauh mana kaki melangkah. Kamu akan menemukan banyak hal yang membuat pikiran dan wawasanmu berbicara. Saya juga suka mengabadikan perjalan saya lewat visual. Anda bisa menyaksikannya di channel Youtube pribadi saya (www.youtube.com/verybarus). Saya menulis random, apa yang ingin saya tulis maka saya akan menulis. Tidak ada unsur paksaan dari pihak mana pun. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tidak Selamanya Dokter Itu Benar, Lho

5 September 2022   09:38 Diperbarui: 5 September 2022   09:49 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah nggak sih pergi ke dokter (bukan dokter langganan), kemudian kita menceritakan keluh kesah yang dirasakan pada tubuh kita, kemudian si dokter langsung bersabda.

              "Bapak/ibu kurang minum air putih.."

              "Tidur tidak teratur..."

              "Kurang makan buah-buahan dan sayuran..."

              "Kurang olahraga.."

Kira-kira seperti itulah yang sering saya alami ketika datang ke sebuah klinik, RS atau ke bagian medis. Seperti sudah template, rata-rata jawaban dokter seperti itu. Langsung nge judge kalau kita itu tidak melakukan pola hidup yang sehat sehingga mengalami sakit.

Sampai akhirnya, saya membantah apa yang dikatakan dokter tersebut.

              "Kalau kurang minum tidak mungkin dok. Karena, setiap hari saya bisa satu galon minum air putih."

Yang artinya, saya sangat sadar tubuh saya butuh asupan air putih. Oleh karena itu, saya selalu membawa tumbler berkapasitas 1 litter untuk stok minum diperjalanan. Kemudian, setiap bangun tidur saya juga meminum 1.5 litter air putih sebelum pergi ke toilet. Sebelum sarapan air putih juga tidak lupa diteguk. Sebelum dan sesudah makan siang hingga makan  malam hari. Air putih sudah menjadi bagian dari aktivitas saya.

Begitu juga ketika si dokter bersabda kalau saya kurang tidur alias suka begadang. How come? Dari mana dia tahu saya tidur tidak teratur? Secara saya sudah menjalankan pola hidup sehat sejak lama dan jam tidur saya sangat teratur antara pukul 22.00 WIB  hingga pukul 06:00 WIB pagi. Ya, paling telat jam 11 malam saya sudah harus tidur. Jadi, dari mana si dokter bisa bersabda saya tidur tidak teratur? Suka begadang? Ngawur lo,dok!!

Juga soal kurang makan buah-buahan dan sayuran. Hmm, si dokter sangat keliru. Di rumah saya, setiap hari minimal ada dua jenis buah-buahan dan sayuran yang wajib di konsumsi setiap hari. Kalau tidak pisang dan papaya, juga buah pir, semangka atau buah apa saja lah yang pasti tidak pernah alpa buah-buahan dirumah saya untuk di konsumsi. So?

Dan, yang sangat keliru adalah "Anda kurang olahraga" Hmm, rasanya pengen deh menyeret si dokter ke GBK atau ke arena olahraga lainnya yang seminggu 3 atau 4 kali saya datangi untuk berolahraga. Supaya si dokter tahu kalau olahraga itu sudah menjadi bagian pola hidup sehat saya. Olaharaga yang sering saya lakukan berlari hingga 5 hingga 10 K, berenang atau hiking. Jadi, masih kurang?

              Oleh karena itu, jika kita sedang berhadapan dengan dokter yang sedang memeriksa kesehatan kita, kita berhak untuk membantah atau menyangkal apa yang dikatakan si dokter jika kita menganggap pernyataannya itu keliru. Karena Tidak selamanya dokter itu benar. Yang paling tahu riwayat kesehatan tubuh kita adalah kita si empunya tubuh. Tapi, anehnya, masih banyak pasien yang enggan menyangkal apa yang dikatakan si dokter meski dalam hati dia menyangkal penyataan si dokter. Sehingga obat-obatan yang di kasih untuk di konsumsi pun bisa tidak sesuai dengan apa yang dibuthkan tubuh kita.

Pernah juga saya berdebat sama seroang dokter soal tensi. Saya selalu menolak jika alat ukur tensi yang dipakai yang digital. Karena hasilnya sangat berbeda dengan alat ukur tensi yang manual. Karena yang manual hasilnya selalu akurat dan benar. 

Berbeda dengan alat ukur tensi yang digital hasil tensi bisa melonjak drahtis. Pernah si dokter kekeh dan ngotot dengan pernyataannya kalau tensi saya 150/110. Tapi saya menyangkal kalau alat ukur tensi yang dipakainya tidak akurat. 

Saya mau diukur ulang dengan yang manual. Perdebatan terjadi sampai saya minta ulang diukur dengan alat tensi yang manual. Dengan wajah jutek si dokter kembali mengukur dengan alat tensi manual dan hasilnya tensi saya normal. 120/90.

Nah, apakah kita harus manut-manut saja ketika kita sadar apa yang dilakukan dokter itu salah? Kita berhak berargumen selama argument kita bisa dibuktikan dan akurat. Supaya kita tidak sembarangan mendapat obat yang sesungguhnya tidak dibutuhkan tubuh kita.

So, dokter bukan Tuhan. Mereka juga pasti akan melakukan kesalahan juga. Kita berhak untuk mengkoreksinya jika salah. Demi tubuh kita juga, bukan?

Apakah anda punya pengalaman yang sama? Boleh sharing di komen...

Note:

Foto ilustrasi ketika sedang sakit saat pulang dari mendaki gunung. jadi tidur di angkot. 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun