Suatu hari, saya bertemu dengan teman SMA saya di kota Jakarta. Kejadian itu mungkin sekitar tahun 2015 atau 2016. Bayangin, setelah berpuluh tahun tidak pernah bertemu face to face (meski silaturahmi tetap terjalin lewat jejaringan sosial media dan WAG), akhirnya momen pertemuan tersebut menjadi momen yang cukup berkesan bagi saya. Bagaimana tidak, meski  tinggal di satu kampung tapi setiap kali pulang kampung kami nyaris tidak pernah bertemu. Setelah dewasa dan sama sama telah berumah tangga, ikatan perteman saya dengan dia juga teman-teman semasa sekolah dulu justru  semakin terjalin dengan baik. Faktor U kali, ya?
Agus, namanya. Berprofesi sebagai seorang guru yang tinggal di kota kelahiran saya di Sumatra Utara sana. Kedatangannya ke Jakarta karena dapat bonus dari salah satu perusahaan yang dia dan istrinya ikuti disamping sebagai seorang guru. Mereka dapat reward jalan-jalan dari pencapaian target yang diberikan perusahaan tersebut.
Sebagai warga kampung yang sudah tinggal di ibukota, saya pun menyambut kedatangan sahabat lama saya ini untuk menikmati kota Jakarta. Kami pergi ke Dufan bersama seorang kerabat lainnya. Saya mengkhususkan satu hari itu untuk menemani mereka ke Dufan.Â
Seakan membuka memori-memori lama sewaktu masih duduk di Bangku SMA, bagaimana kisah kenakalan kami melawan guru, membidik murid cantik incaran semua siswa laki-laki. Kisah bolos sekolah beramai-ramai yang akhirnya ketangkap oleh kelapa sekolah dan kami kena strap di lapangan sekolah sambil menghormat bendera di siang bolong yang sangat panas. Tragis tapi menjadi kenangan manis. Hampir semua kenangan-kenangan masa sekolah itu terekam dengan rapi dalam memori kami. Â
Oiya, waktu ke datangan sahabat saya ini ke kota Jakarta, manusia lagi dilanda demam BATUK AKIK/BACAN. Hampir seluruh penjuru Nuantara membahas soal cincin dan batu akik. Tidak laki juga perempuan, anak kecil pun seakan kena santet batu Akik. Hampir disepanjang pinggiran jalan raya banyak penjual batu akik dadakan. Semua berlomba-lomba menjadi pakar batu akik meski yang dijual batu akik palsu.Â
Jari-jemari para lelaki remaja tanggung sampe pria bangkotan dipenuhi cincin batu akik berukuran jumbo. Semakin jumbo batunya semaki bangga yang memakainnya. Sementara saya mikirnya beda lagi, itu batu akik atau batu nisan? Gede amat? Â
Intinya, masalah batu akik sempat membuat saya gregetan, karena meski sebagain besar manusia yang ada di Indonesia ini terbius batu akik, mungkin salah satu yang tidak tergoda dengan rayuan batu akik adalah saya. Sedikit pun tidak pernah terbesit dibenak saya untuk membeli batu akik. Boro-boro membeli, melihat-lihat saja saya tidak ada keinginan. Entah lah, kenapa saya tidak suka hal-hal yang tengah booming.
Seperti saat ini, setahun belakangan ini, hampir semua mahluk di muka bumi pertiwi ini tergila-gila sama tanaman, khususnya bunga. Entah segala jenis bunga apa pun bisa menjadi viral dan menjadi langka. Bahkan, harga bunga-bungan yang bisa dijumpai di semak belukar hutan pun bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta.
Kira-kira seperti itulah fenomena Batu akik kala itu. Harganya bisa mencapai jutaan hingga ratusan juta. Bahkan ada yang mencapai M-M an. Â Jadi, setiap kali orang membahas masalah Batuk Akik, saya memilih mundur teratur. Ketimbang ketahuan begonya soal batu akik mending saya mundur perlahan-lahan. Biarkan mereka membahas batu akik semalam suntuk.
Tapi, ternyata, teman saya ini juga salah satu penggila batu akik. Saya lihat di jari-jarinya melingkat Batu akik dengan ukuran medium. Dia dan sahabatnya berbincang-bincang soal batu akik dan mereka juga menanyakan di Jakarta dimana tempat jual beli batu akik. Setahu saya sih di daerah Jati Negara. Tapi saya tidak pernah kesana.
Tiba-tiba, sahabat saya melepaskan salah satu cincin batu akiknya dan menyerahkannya pada saya.
        "Kamu mau,Ver? Ambil, lah..."
Saya kaget campur bingung, karena saya memang kurang tertarik dengan batu akik. Tapi, melihat ketulusannya memberikan saya cincin batu akik, saya pun menerimanya dengan baik.
        "Ambil lah, kita kan sudah lama tidak jumpa, sebagai kenang-kenangan. Ambil lah cincin ini."
Jujur, saya speecless. Ternyata sahabat saya ini benar-benar menghargai sebuah pertemanan dengan tulus. Dia merelakan salah satu koleksi batu akiknya diserah terimakannya untukku. Hingga detik ini, meski saya tidak pernah memakai  cincin batu akik pemberiannya itu, namun, cincin batu Akik tersebut masih tersimpan dengan baik di laci kamar saya. Bagi saya, sebuah pemberian melambangkan arti ketulusan.
Begitu juga dengan pemberian barang-barang dari teman-teman lainnya, juga dari saudara saya sendiri, saya sangat menghargai dan respect apa pun yang diberikan orang kepada saya. Dengan memberi saja, saya bisa menilai kalau mereka menghargai saya sebagai sahabat juga saudara. Oleh karena itu, segala pemberian yang diberikan kepada saya selalu saya jaga dengan baik. Percayalah, sebuah pemberian menggambarkan bagiamana mereka peduli dan care kepada kita.
Oleh karena itu hargailah setiap pemberian yang diberikan kepada kita, meski pemberian tersebut tidak sesuai dengan keinginan anda.
But it's Worth it! Â
Thank you, my buddy..!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H