Â
Sudah hampir dua pekan ini aku berada di sebuah kota kecil di Rantauprapat. Kota yang dikenal dengan kawasan perkebunan Kelapa Sawit. Kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan gemerlap, hedonis dan juga gegap gempita tehnologi dan kecanggihan elektronik. Â Semua terlihat sederhana dan tampak apa adanya.
Tapi....
Dibalik semua itu, tersimpan rahasia yang membuat aku terdiam bodoh. Ya, aku yang merasa sudah lama tinggal di ibukota dan bertemu dengan orang-orang kota yang lebih memprioritaskan penampilan ketimbang isi kantong. Sedangkan mereka, orang yang tinggal di desa atau kota kecil ini, penampilan bukan lah hal yang utama. Bagi mereka penampilan tidak menjamin orang tersebut hidup mapan. Hmmm, betul juga, sih. Â
Saat berada disana, aku sering bertemu dengan orang-orang yang bekerja di perkebunan Sawit atau juga pemilik perkebunan sawit yang luas kebunnya berhektar-hektar.Â
Berada di warung kopi tanpa bandrol "internasional", duduk ditengah-tengah mereka, aku merasa orang paling bodoh di dunia persawitan. Mereka sangat faham akan naik turunnya harga sawit, juga tentang penyakit-penyakit apa yang menyerang pohon sawit serta pencegahannya.
Suatu hari, aku janjian dengan seorang kerabat untuk membahas soal kebun sawit. Tanpa basa-basi, melalui telepon dia berujar; "Kita ketemu di warung kopi yang dekat kebun saja." ujar  kerabat.  Aku pun menyanggupinya. Tapi, seperti biasa, sebelum pergi bertemu dengan kerabat tersebut, aku mempersiapkan diri dengan penampilan yang rapih, bersih dan wangi.Â
Tidak ketinggalan memperhatikan penampilan dari atas hingga bawah. Mungkin karena sudah terbiasa, jika hendak bertemu meeeting dengan klien di sebuah kafe, aku akan melakukan hal yang sama. Tampil rapi dan wangi. Setelah yakin dengan penampilan, aku pun pergi ke tempat yang sudah di janjikan.
Sempat bertanya-tanya juga dimana letak pasti warung kopi tersebut. Karena, dibuka google map, nama warung kopi tersebut tidak terera. Akhirnya, atas petunjuk manual (mulut ke mulut) aku pun tiba di warung kopi. Sempat terdiam sejenak, karena melihat warung kopi yang benar-benar "WARUNG" yang menjual kopi.
Hampir semua pengunjung warung kopi yang ada disitu tampail apa adanya. Bahkan ada yang hanya pakai kaos dalam, celana pendek dan sandal swallow yang sudah sedikit usang. Ada juga yang datang tanpa pakai baju tapi bajunya hanya digenggam saja.
"Panas" katanya.