Mohon tunggu...
Very Barus
Very Barus Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Writer, Traveler, Runner, Photo/Videographer, Animal Lover

Mantan jurnalis yang masih cinta dengan dunia tulis menulis. Sudah menelurkan 7 buah buku. Suka traveling dan Mendaki Gunung dan hal-hal yang berbau petualangan. sejak 2021 menyukai dunia lari di usia setengah abad. target bisa Full Marathon. Karena sejatinya hidup adalah sebuah perjalanan, maka berjalannya sejauh mana kaki melangkah. Kamu akan menemukan banyak hal yang membuat pikiran dan wawasanmu berbicara. Saya juga suka mengabadikan perjalan saya lewat visual. Anda bisa menyaksikannya di channel Youtube pribadi saya (www.youtube.com/verybarus). Saya menulis random, apa yang ingin saya tulis maka saya akan menulis. Tidak ada unsur paksaan dari pihak mana pun. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Obrolan di Warung Kopi Part 2

26 Februari 2020   11:00 Diperbarui: 26 Februari 2020   11:02 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sudah hampir dua pekan ini aku berada di sebuah kota kecil di Rantauprapat. Kota yang dikenal dengan kawasan perkebunan Kelapa Sawit. Kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan gemerlap, hedonis dan juga gegap gempita tehnologi dan kecanggihan elektronik.  Semua terlihat sederhana dan tampak apa adanya.

Tapi....

Dibalik semua itu, tersimpan rahasia yang membuat aku terdiam bodoh. Ya, aku yang merasa sudah lama tinggal di ibukota dan bertemu dengan orang-orang kota yang lebih memprioritaskan penampilan ketimbang isi kantong. Sedangkan mereka, orang yang tinggal di desa atau kota kecil ini, penampilan bukan lah hal yang utama. Bagi mereka penampilan tidak menjamin orang tersebut hidup mapan. Hmmm, betul juga, sih.  

Saat berada disana, aku sering bertemu dengan orang-orang yang bekerja di perkebunan Sawit atau juga pemilik perkebunan sawit yang luas kebunnya berhektar-hektar. 

Berada di warung kopi tanpa bandrol "internasional", duduk ditengah-tengah mereka, aku merasa orang paling bodoh di dunia persawitan. Mereka sangat faham akan naik turunnya harga sawit, juga tentang penyakit-penyakit apa yang menyerang pohon sawit serta pencegahannya.

Suatu hari, aku janjian dengan seorang kerabat untuk membahas soal kebun sawit. Tanpa basa-basi, melalui telepon dia berujar; "Kita ketemu di warung kopi yang dekat kebun saja." ujar  kerabat.  Aku pun menyanggupinya. Tapi, seperti biasa, sebelum pergi bertemu dengan kerabat tersebut, aku mempersiapkan diri dengan penampilan yang rapih, bersih dan wangi. 

Tidak ketinggalan memperhatikan penampilan dari atas hingga bawah. Mungkin karena sudah terbiasa, jika hendak bertemu meeeting dengan klien di sebuah kafe, aku akan melakukan hal yang sama. Tampil rapi dan wangi. Setelah yakin dengan penampilan, aku pun pergi ke tempat yang sudah di janjikan.

Sempat bertanya-tanya juga dimana letak pasti warung kopi tersebut. Karena, dibuka google map, nama warung kopi tersebut tidak terera. Akhirnya, atas petunjuk manual (mulut ke mulut) aku pun tiba di warung kopi. Sempat terdiam sejenak, karena melihat warung kopi yang benar-benar "WARUNG" yang menjual kopi.

Hampir semua pengunjung warung kopi yang ada disitu tampail apa adanya. Bahkan ada yang hanya pakai kaos dalam, celana pendek dan sandal swallow yang sudah sedikit usang. Ada juga yang datang tanpa pakai baju tapi bajunya hanya digenggam saja.

"Panas" katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun