Mohon tunggu...
Muhammad Ihsan
Muhammad Ihsan Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hukum Tata Negara, UIN Syarif Jakarta. Suka Novel traveler dan filsafat Materialisme

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MAPK Dahulu dan Kini

30 Juni 2016   22:43 Diperbarui: 30 Juni 2016   23:05 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin bisa dibilang haru, atau romantisme masa silam. Kejadiannya tepat 2011 silam, ketika iring-iringan siswa baru, mencari sekolah rujukan pasca lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dan aku, saat itu, tengah dirundung amtenar “galau”, mencari sekolah tempat pelabuhan keilmuan setelah lulus dari Pondok Pesantren Rahmatul Asri yang terletak di Maroangin.

Tanpa disulut, nama-nama sekolah sudah menjadi target. Termasuk di dalamnya Madrasah Program Khusus Keagamaan, yang kelak, benar-benar menjadi pelabuhanku, menimba ilmu yang begitu luasnya, dari para maha guru.

Singkat cerita, aku sampai di Makassar, sebuah kota yang mempunyai seribu kisah. Tidak percaya? Coba lihat di novel Buya Hamka yang berjudul “Kapal Van Der Wijk” yang baru-baru ini difilmkan. Bahkan kabarnya, banyak diantara kalian yang terharu menontonnya bukan? Nah, dalam novel itu, pada lembaran awalnya, mengisahkan secuil kisah dari kerajaan yang ada pada waktu itu.

Memang sayang, sangat sedikit kita temui literasi yang menceritakan bagaimana sejarah kerajaan sebelum kita mengenal nama Makassar seperti saat ini. Dari yang kutemui, sejarah Makassar tercantum dalam pembabakan sejarah Toraja, dimana pada waktu itu, seorang putera raja kerajaan Toraja, tiba di Makassar. Orang pun menyebutnya berasal dari Toraja (To Riajang). Kira-kira begitulah penelitian kecil-kecilannya.

Tapi bagaimanapun, Makassar menjadi periode bersejarah dan memiliki tempat tersendiri. Bagaimana tidak, aku, yang saat itu masih ingusan, ditanduk waktu untuk bersekolah di tempat itu, MAPK namanya, yang kata orang, memiliki prestasi gemilang.

Drama itu dimulai di hari pendaftaran, ketika salah satu petugas pendaftaran, menanyaiku dengan pernyataan aneh. “Pilih jurusan umum atau keagamaan?” begitu katanya. Aku harus jawab apa? MAPK punya jurusan umum begitu? Atau, aih. Hanya garuk-garuk kepala, kerjaku.

“Jurusan keagamaan saja,” sambar mamaku.

Sontak suasana berubah menjadi dingin. Petugas itu, tersenyum manis tanpa banyak kata. kelak kuketahui, MAPK sudah dileburkan ke instansi Madrasah Aliyah Negeri 3 Makassar yang ternyata letaknya berdampingan dahulu kala. Itulah kenapa timbul pertanyaan hendak masuk jurusan umum atau keagamaan.

Kalau diceritakan lebih panjang, mungkin kisah ini mirip dengan novel Andrea Hirata. Hanya saja Andrea Hirata lebih dahulu menuliskannya. Hehehe.

Menurut banyak sumber, MAPK adalah program kementrian agama yang digagas oleh Munawwir Sadzali pada akhir 1980-an. Tujuannya tidak lain hendak mencetak kader-kader yang berparas agamawan, tapi tidak meninggalkan sisi modern. Tepat 1988, telah dibuka lima cabang diantaranya: Ujung Pandang, Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, dan Jember. Baru setelah itu, cabang-cabang lain bermekaran.

Karena MAPK adalah program khusus, maka orang berlomba-lomba untuk masuk ke dalamnya. Tepatnya 1990 sekolah ini benar-benar menjadi impian banyak orang. Tapi, tidak semua orang dapat melenggang masuk. Sebab, maksimal 40 orang yang diterima. Bukan main tumpah ruahnya para pendaftar, termasuk para anak pejabat yang berebut untuk masuk.

Kabarnya, anak pejabat yang tidak lulus, akan berusahan sekeras mungkin untuk membelai para guru dengan “V”nya agar anaknya diluluskan. Tapi bukan MAPK namanya jika tidak menegakkan keadilan. Bagaimana, setuju toh?

Itu pada tahun 1990. Beda halnya pada tahun 2011, sewaktu aku mendaftarkan diri. Telah banyak proses yang tak kusaksikan, termasuk proses perubahan nama MAPK menjadi MAKN. Pada itu, muncul adagium, program keagamaan tak ubahnya seperti ikan bermata merah dijual dipasar. Hanya ibu-ibu yang terlambat ke pasar yang akan membeli ikan itu. Itulah masaku.

Betapa besar lonjakan perubahan itu. Dari yang dahulunya dimpi-impikan, kini menjadi disisihkan.

Maka yang menjadi sorot perhatian adalah Mentri Agama dan para alumni. Pasca Munawwir Sadzali, ketenaran nama MAPK semakin merosot jauh. Faktornya tidak mutlak dibebankan kepada menteri agama saja, melainkan para tamatan sekolah ini sendiri.  

Mungkin itulah yang akan menjadi pembahasan utama pada perhelatan reuni alumni MAPK/MAKN Cabang Makassar pada tanggal 9 Juli nanti.

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun