Mungkin bisa dibilang haru, atau romantisme masa silam. Kejadiannya tepat 2011 silam, ketika iring-iringan siswa baru, mencari sekolah rujukan pasca lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dan aku, saat itu, tengah dirundung amtenar “galau”, mencari sekolah tempat pelabuhan keilmuan setelah lulus dari Pondok Pesantren Rahmatul Asri yang terletak di Maroangin.
Tanpa disulut, nama-nama sekolah sudah menjadi target. Termasuk di dalamnya Madrasah Program Khusus Keagamaan, yang kelak, benar-benar menjadi pelabuhanku, menimba ilmu yang begitu luasnya, dari para maha guru.
Singkat cerita, aku sampai di Makassar, sebuah kota yang mempunyai seribu kisah. Tidak percaya? Coba lihat di novel Buya Hamka yang berjudul “Kapal Van Der Wijk” yang baru-baru ini difilmkan. Bahkan kabarnya, banyak diantara kalian yang terharu menontonnya bukan? Nah, dalam novel itu, pada lembaran awalnya, mengisahkan secuil kisah dari kerajaan yang ada pada waktu itu.
Memang sayang, sangat sedikit kita temui literasi yang menceritakan bagaimana sejarah kerajaan sebelum kita mengenal nama Makassar seperti saat ini. Dari yang kutemui, sejarah Makassar tercantum dalam pembabakan sejarah Toraja, dimana pada waktu itu, seorang putera raja kerajaan Toraja, tiba di Makassar. Orang pun menyebutnya berasal dari Toraja (To Riajang). Kira-kira begitulah penelitian kecil-kecilannya.
Tapi bagaimanapun, Makassar menjadi periode bersejarah dan memiliki tempat tersendiri. Bagaimana tidak, aku, yang saat itu masih ingusan, ditanduk waktu untuk bersekolah di tempat itu, MAPK namanya, yang kata orang, memiliki prestasi gemilang.
Drama itu dimulai di hari pendaftaran, ketika salah satu petugas pendaftaran, menanyaiku dengan pernyataan aneh. “Pilih jurusan umum atau keagamaan?” begitu katanya. Aku harus jawab apa? MAPK punya jurusan umum begitu? Atau, aih. Hanya garuk-garuk kepala, kerjaku.
“Jurusan keagamaan saja,” sambar mamaku.
Sontak suasana berubah menjadi dingin. Petugas itu, tersenyum manis tanpa banyak kata. kelak kuketahui, MAPK sudah dileburkan ke instansi Madrasah Aliyah Negeri 3 Makassar yang ternyata letaknya berdampingan dahulu kala. Itulah kenapa timbul pertanyaan hendak masuk jurusan umum atau keagamaan.
Kalau diceritakan lebih panjang, mungkin kisah ini mirip dengan novel Andrea Hirata. Hanya saja Andrea Hirata lebih dahulu menuliskannya. Hehehe.
Menurut banyak sumber, MAPK adalah program kementrian agama yang digagas oleh Munawwir Sadzali pada akhir 1980-an. Tujuannya tidak lain hendak mencetak kader-kader yang berparas agamawan, tapi tidak meninggalkan sisi modern. Tepat 1988, telah dibuka lima cabang diantaranya: Ujung Pandang, Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, dan Jember. Baru setelah itu, cabang-cabang lain bermekaran.
Karena MAPK adalah program khusus, maka orang berlomba-lomba untuk masuk ke dalamnya. Tepatnya 1990 sekolah ini benar-benar menjadi impian banyak orang. Tapi, tidak semua orang dapat melenggang masuk. Sebab, maksimal 40 orang yang diterima. Bukan main tumpah ruahnya para pendaftar, termasuk para anak pejabat yang berebut untuk masuk.