Mohon tunggu...
Muhammad Ihsan
Muhammad Ihsan Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hukum Tata Negara, UIN Syarif Jakarta. Suka Novel traveler dan filsafat Materialisme

Selanjutnya

Tutup

Politik

Doa untuk Trias Politica

28 Mei 2016   01:25 Diperbarui: 28 Mei 2016   02:18 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini sebenarnya sudah lama ingin saya tuliskan. Namun, lagi-lagi, karena halangan waktu, saya tak sempat. Mungkin, bagi sebagian “jurus tulis” akan berkata, bahwa anda saja sebenarnya yang tidak menyiapkan waktu, sok sibuk, atau apalah, menyudutkan. Tapi yang jelas, kesibukanku hanya untuk satu, mencari sesuap nasi, semasa kuliah. Oke, maaf saya terlalu lebay, kita kembali ke pembahasan.

Beberapa waktu lalu, Munaslub Golkar telah terselenggara. Dengan sedikit alot, akhirnya, Setya Novanto menjadi orang nomor satu di partai pohon beringin tersebut, setelah sibuk mengadu teknik lobi. Beberapa calon ketua umum pun akhirnya mengalah, setelah perolehan suara putaran pertama sudah nampak kemenangannya.

Tentu, kita masih ingat dengan persitiwa papa minta saham yang terjadi beberapa waktu lalu. Tidak lain, dalangnya adalah orang nomor satu Golkar saat ini, yang dulunya pernah menjabat sebagai ketua DPR. Entahlah, bagaimana lalu-lintas pemilihan bisa sampai jatuh padanya. Padahal, kasusnya saja masih hangat. Etis? Terserah pembaca.

Tapi ada satu pernyataan menarik yang terlontar dari mulut seorang Novanto. Pernyataan itu adalah, “Partai Golkar akan mendukung pemerintah.” Sontak pernyataan itu tercerna oleh bacaan saya, dengan baik.

 Dengan pernyataan itu menyiratkan, keluarnya Partai Golkar dari Koalisi Merah Putih, semakin jelas. Alhasil, kini KMP menyisakan dua partai saja, PKS dan Gerindra. PKS masih berdiri sebagai garda penjaga di parlemen ditemani oleh Gerindra, meskipun suara mereka kian terkuras.

Bagi KMP sendiri, sebagaimana ungkapan banyak media, bahwa ihwal keluarnya Golkar dari KMP itu sudah ditebak sebelumnya, jadi tidak terlalu kaget dengan pernyataan seperti itu.

Dengan merapatnya Golkar di Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang saat ini memegang peran banyak di Eksekutif, membuat gembira para pendukung KIH. Bagaimana tidak, perolehan suara di parlemen yang dulunya 37%, akan bertambah sebanyak 69% setelah masuknya Golkar. Sontak, Presiden Jokowi yang saat itu melawat ke luar negeri, langsung memberikan apresiasinya kepada Novanto. Apresiasi ini bukan sembarang apresiasi, melainkan memiliki tujuan tersendiri.

Inilah mengapa para ahli alim-ulama dan mazhab fulitiq (Baca:Politik) berani menggadang-gadang, lanskap politik akan berubah banyak pada era Jokowi-JK ini.

Format Trias Politica

Sudah maklum masyarakat modern saat ini, dan terutama masyarakat perkotaan sudah begitu paham akan konsep Trias Politica ini. Teori ini datang dari Montesque dan John Lock. Perbedaan keduanya berada pada titik tekannya. Jika Montesque membagi struktur kekuasaan menjadi tiga: Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif. Sementara John Lock mengganti Yudikatif menjadi federatif (maaf kalau salah. Ini hanya seingat saya saja).

Konsep ini berkembang hampir di setiap negara. Hanya saja, mendapat sedikit modifikasi dengan suntikan kultur yang ada di negara tersebut. Begitupun dengan Indonesia, sebagai negara yang masih mencoba-coba, juga menganut prinsip itu.

Sebagai misal, di Indonesia, implementasi Legislatif tercermin dari parlemen, Eksekutif adalah presiden, dan Yudikatif adalah Mahkamah Agung sekalian Mahkamah Konstitusi. Masing-masing mempunyai peran. Tujuannya, agar tidak adanya sentralisasi kekuasaan yang berada di satu tangan manusia saja. Sebab, yang ditakutkan, tertumpunya kekuasaan pada satu orang atau lembaga, akan mengakibatkan penyelewengan kekuasaan, seperti yang pernah terjadi di Inggris dan Prancis. Di Indonesia, hal tersebut pernah terjadi pada era Orde Baru.

Jadi secara sederhananya, konsep ini mengacu pada pemerataan kekuasaan, agar tidak adanya penyelewengan.

Meskipun demikian, harus kita tahu, konsep ini tidak boleh dikata tanpa celah. Bagaimanapun konsep ini hanya ciptaan manusia juga. Manusia, tidak akan mampu menangkap—meminjam istilah Gunawan Muhammad—El reale, sang antah. Karena subjektifitas manusia yang hanya terbatas pada bayangan pengalaman saja.

Konsep ini bisa tersingkirkan oleh konstalasi politik yang ada. Dalam ungkapan Mahfud MD, melihat hukum berarti harus melihat peta politiknya. Hukum adalah alat dari sebuah visi politik. Sehingga boleh saja dikatakan, hukum adalah produk politik.

Bagaimanapun trias politica bermetamorfosis, selalu rujukan awal adalah sub-sub dalam abstraksi politik dari pihak berkepentingan. Maka sekarang, hukum yang tertera dalam peraturan dan perundang-undangan, bisa dikategorikan produk politik. Sementara hukum lahir dari ancang-ancang DPR disertai—penasihatnya—DPD.

Sebuah Peluang

Sehubungan dengan pernyataan Novanto, yang hendak mendukung pemerintah, maka telah resmilah konstalasi politik baru menuai akad. Tapi, imbasnya sangat besar: tatanan konsep trias politica berpeluang tinggal bayangan nominal. Berkenan dengan istilah nominal ini, silahkan baca tulisan Jimly Ashiddiqie. Yang jelas, kata nominal bertendensi pada suatu aturan yang hanya dipandang sebelah mata. Atau, lebih tepatnya, hanya bayang-bayang di tengah trik matahari.

Hemat saya, peluang merusak ini adalah kesalahan fatal. Pada kali ini, partai yang masih bertahan di KMP patut diacungi jempol. Sebab, merekalah yang masih bertahan di tengah gempuran hujan lebat. Yah, baginya dua jempol, selama tekadnya sebagai pengontrol pemerintah.

Peluang merusak ini pada ujungnya memudahkan pihak eksekutif untuk membuat undang-undang tanpa harus tersendat lagi dengan lobi-lobian politik. Dengan entengnya, semua visi dari eksekutif, dalam hal ini adalah Jokowi-JK, untuk meluaskan sayap kepentingannya.

Sebenarnya sah saja bila kepentingan mereka untuk tujuan maslahat bagi masyarakat banyak. Tapi, merujuk pada yang sudah-sudah, nampaknya kepercayaan tidak bisa dibangun lagi. Lihat saja misalnya pada naiknya harga BBM yang dilakukan secara instan dan tidak bersifat populis, alias merugikan wong cilik.

Lalu, dimana peran kita sebagai masyarakat? Menonton? Atau memilih apatis?

Apapun pilihan anda, silahkan, tidak ada yang melarang. Yang jelas, malam ini, bulan terlihat indah. Saya menyaksikannya di kasur yang langsung menghadap ke jendela. Semoga tidak ada mimpi buruk, atau peluang terciptanya “rep-repan” atau “ketindisan.” Malam ini, saya berdoa panjang. Berdoa, dimulai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun