Sederhananya, nilai demokrasi terlalu banyak menggeser nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Bukannya hendak membahas ulang akan sejarah masa silam yang penuh pengorbanan dalam mendirikan negara demokratis, akan tetapi bila dilihat dari bentuk substansinya, toh tujuannya untuk mensejahterahkan. Bila demikian, apa salahnya bila nilai-nilai yang dahulu hidup seperti menokohkan seseorang yang dianggap suci, suku dikepalai oleh seseorang, kembali dihidupkan. Tujuannya agar semua masyarakat lebih erat dalam berkomunikasi dan lebih dekat dengan pemimpinnya yang bisa mendengar segala keluh dan kesahnya.
Pendapat di atas terdengar sangat utopis bukan? Bagaimana mungkin merubah bentuk negara kembali ke sejarah masa silam dimana kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara begitu mudah dikalahkan oleh penjajah sebab mereka terpecah-pecah. Sebenarnya, saya hanya ingin membangunkan para mahasiswa, agar lebih melek dengan keadaan sekitarnya. Jangan hanya sibuk dengan kegiatan yang sifatnya individualistis. Tapi bagaimana agar “bahasa-bahasa” yang belum terdengar di masyarakat diterjemahkan oleh mahasiswa sebagaimana kelompok penekan, agar masyarakat mengerti mana yang menjadi hak dan kewajibannya sehingga mereka tidak lagi menjadi seekor kelinci.
Atau jangan-jangan, mahasiswa juga termasuk seekor kelinci?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H