Siapa disini yang tidak tahu film All the Bright Places yang dirilis tahun 2020?
Film yang ditayangkan di Netflix ini merupakan salah satu drama romantis yang menjadi favorit banyak orang.Â
Film ini juga merupakan film yang menyimpan banyak pesan penting. Terutama yang berhubungan dengan kesehatan mental dan remaja.
Selain tentang pesan yang dalam tentang pentingnya kesehatan mental. Film ini juga memiliki sinematografi yang bagus dan layak untuk ditonton.
Mengenal Lebih dalam Film "All the Bright Places" (2020)
All the Bright Places (2020) ini merupakan film yang diadaptasi dari novel karya Jennifer Niven yang diterbitkan pada tahun 2015.
Film yang berdurasi 107 menit ini disutradarai oleh Brett Haley. Sedangkan naskah film ini ditulis oleh Jennifer Niven dan Liz Hannah.
Film ini menjadi sangat hidup karena dibintangi oleh Elle Fanning sebagai Violet dan Justice Smith sebagai Theodore. Mereka berperan dengan sangat baik dan berhasil melibatkan penonton dalam perasaan mereka. Sehingga kita yang menonton film ini akan merasakan penderitaan yang dialami kedua tokoh.
Film ini memiliki makna yang sangat dalam. Walaupun film ini menunjukan drama romansa remaja yang dalam. Tapi film ini tidak sesederhana itu.
Bukan hanya tentang drama remaja, konflik percintaan, persahabataan, dan keluarga. Tapi film ini juga menceritakan tentang konflik dalam diri yang sangat dalam.
Konflik dalam diri inilah yang membuat kedua tokoh utama menjadi saling terhubung satu sama lain.
Melihat Tokoh Utama dari Teori Psikoanalisis
 Violet dan Theodore di dalam film ini digambarkan sebagai remaja yang memiliki masalah kesehatan mental dan trauma.
Perilaku mereka ini dapat dianalisis dengan teori psikoanalisis.
Psikoanalisis disini memang bertujuan untuk melihat ingatan sejarah atau masa lalu tokoh yang kemudian menentukan pemikiran diri tokoh yang ada pada masa sekarang ini (Ryan, 2012).Â
Lebih spesifiknya lagi teori film psikoanalisis ini adalah cara untuk mengungkap makna tersembunyi dari sebuah teks.
Dalam psikoanalisis, kondisi manusia adalah konflik abadi antara dorongan dalam diri sendiri dan keinginan yang dipaksakan peradaban dan sosial budaya. Konflik dalam diri tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu id, ego, dan superego (Cateridge, 2015, hal. 279).
Id adalah keinginan liar dalam diri yang tidak terkontrol atau masih sangat murni tanpa ada campur tangan pemikiran yang lain.Â
Ego adalah bagian akhir dari konflik yang terjadi antara keinginan diri dan budaya atau pemikiran lain, Sehingga menjadi lebih rasional dan tidak merugikan siapapun.
Lalu superego adalah ketika tokoh menghadapi krisis atau konflik dengan diri sendiri tentang apa yang ingin dia lakukan dan apakah hal tersebut baik dilakukan atau tidak.
Theodore Finch dan Psikoanalisis
Pada bagian ini kita akan fokus pada tokoh utama Theodore Finch. Walaupun Violet juga adalah tokoh utama film yang memiliki trauma yang cukup kuat. Tapi Theodore berhasil menarik perhatian saya saat menonton film ini.
Theodore Finch digambarkan sebagai tokoh yang sulit ditebak dan sangat tiba-tiba. Ia melakukan hal yang memang menurutnya itu penting dan perlu. Tapi dibalik itu semua Ia memiliki gangguan kecemasaan yang cukup parah. Banyak dialog yang menunjukan hal tersebut.
Selain banyaknya dialog yang menggambarkan kecemasannya. Perilakunya juga menunjukan bahwa Ia memiliki gangguan kecemasaan. Ia bisa tiba-tiba hilang konsentrasi dan tiba-tiba melakukan hal yang tidak terduga karena Ia berpikir harus melakukannya.
Id Theodore disini sangatlah terlihat. Ia melakukan semuanya berdasarkan keinginan dalam dirinya yang tidak terkontrol. Theodore pernah bolos sekolah karena Ia merasa harus melakukannya dan Ia membutuhkan hal tersebut.Â
Ia juga seringkali tiba-tiba memutuskan untuk berlari tengah malam karena tidak dapat tidur dan merasa perlu melakukannya. Bahkan teman-temannya sudah sangat maklum dengan perilakunya yang serba tiba-tiba.
Theodore seringkali menyesali perbuatannya karena Ia terkadang terbawa oleh keinginan pribadinya. Mungkin hal ini dapat termasuk pada superego karena pada bagian penyesalannya ini terjadi konflik antara dirinya dan lingkungannya.Â
Penyesalannya ini juga seringkali Ia renungkan sendirian. Tanpa melibatkan orang lain bahkan Violet.Â
Dalam diri Theodore seringkali Ia kalah dengan keinginan murni dalam dirinya. Ia tidak bisa mengatur emosi, perasaan, dan tindakannya. Sehingga emosinya memuncak dan Id lebih kuat.
Theodore pernah berdamai dengan dirinya dan berpikir memang dia butuh pertolongan. Mungkin tindakan ini termasuk pada Ego.Â
Walaupun pada akhirnya Ia masih kalah dengan keinginan dirinya yang tidak terkontrol.
Semuanya berjalan sesuai kehendak hatinya. Hal ini terjadi karena pada awalnya Ia memang memiliki gangguan kecemasaan.Â
Perilakunya ini tidak secara tiba-tiba terjadi. Tokoh theodore ini mulai merasakan hal ini sejak Ayahnya selalu melakukan kekerasaan dalam keluarga.
Trauma ini menumpuk dan mempengaruhi kondisi kejiwaannya. Ia sering menutupi hal itu dengan tersenyum. Bahkan Ia pernah berencana untuk bunuh diri dan memikirkannya berulang-ulang seperti hal itu memang perlu dilakukan.Â
Pentingnya Kesehatan MentalÂ
Film ini sangatlah menyentuh perasaan saya dan mungkin semua orang yang menonton film ini.
Film All the Bright Places (2020) mengajarkan saya bahwa semua orang punya hal yang mereka sendiri tidak mengerti. Dan akan lebih baik bila kita menghormati dan menolong mereka jika diperlukan.
Bukan hanya diam, apalagi memperburuk kondisi mental seseorang.
Daftar Pustaka
Cateridge, J. (2015). Film Studies For Dummies. UK: John Wiley & Sons, LtdÂ
Ryan, M. (2012). An Introduction to Criticism. UK: WILEY-BLACKWELL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H