Mohon tunggu...
Barliy Brasila
Barliy Brasila Mohon Tunggu... Penulis/Dosen MKDU Ilmu Sosial dan Politik Pemerintahan

Instagram Barliybrasy Saya Bukan orang beruntung Penuh Kegagalan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilkada Sudah Selesai Tetapi Meninggalkan Jejak Tingginya Angka Golput

3 Desember 2024   17:13 Diperbarui: 7 Desember 2024   14:06 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kegiatan barliy/dokpri

Sebelum ke Kampus untuk mengajar saya  menyempatkan melimpir sebentar untuk menikmati secangkir kopi dan kue isi kacang di salah satu warung kopi jalan protokal Kota Sintang. Duduk sambil menikmati hidangan yang ada namun hidangan ini kurang lengkap jikalau tidak membaca headline media sosial tentang politik terkini berkaitan Pilkada serentak.

 Pilkada serentak tidak semata selesai begitu saja selalu meninggakan noda hitam seperti sengketa pilkada dan kemenangan kotak kosong, sudah biasa tetapi kali ini berbeda dari yang sudah terjadi sebelumnya. Pemberitaan diberbagai media dan perbincangan bapak-bapak warung kopi ternyata angka golput tinggi atau rendahnya partisipasi pemilih. 

Fenomena golput  bukan hanya terjadi di satu daerah saja tapi seluruh indonesia terutama miniatur Indonesia Jakarta rendahnya partisipasi pemilih atau angka Golput menurut Lembaga Survei Charta Politika menyentuh angka 42,05%, Jawa Barat 33,66 %, Jawa Tengah 26,44%, Jawa Timur  30,15% sementara daerah saya Kabupaten Sintang.  

Pada saat saya menjadi penyenggara pemilu di tingkat kelurahan ada 1 TPS yang 200 lebih DPT tidak mencoblos, di kelurahan lain sampai menyentuh angka 300 lebih DPT  tidak mencoblos bahkan data yang diungkapkan saksi salah satu Paslon pada saat selesai Pleno di tingkat Kecamatan, ia menunjukan ke saya 1 kelurahan di Kecamatan Sintang, ada 1000 lebih DPT tidak mencoblos luar biasa angka golput.

Apa faktor penyebab angka golput tersebut?

Jika ditilik dari sejarah mulainya Golput atau golongan putih pada pemilu era Orde Baru tahun 1971, yang dipopulerkan dan pelopor oleh kelompok pro-demokrasi, antara lain Husein Umar, Julius Usman, Arief Budiman, Imam Waluyo dan para mahasiswa. Sebagai upaya bentuk protes dan keberatan berpartisipasi dalam pemilihan umum di bawah rezim Orde Baru.

Adapun pendapat dari Novel Ali, ada dua kelompok Golput yang ada di Indonesia, Golput Awam yaitu khususnya mereka yang bukan karena alasan politik tidak memberikan hak pilihnya melainkan disebabkan oleh alasan pribadi dan ekonomi atau lainnya. Keterampilan politik kelompok ini hanya bersifat deskriptif saja, melainkan tidak mendekati tingkat analiti dan Golput Pilihan yaitu mereka yang karena alasan politik, menolak memakai hak pilihnya saat pemilihan umum. 

Karena berbagai alasan, Entah karena mereka tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada saat ini, atau karena mereka menginginkan organisasi politik alternatif yang belum ada. Kemudian Aspar, dalam buku Saksono "Golput dan Masa Depan Bangsa" (2013:45), peristiwa Golongan putih menunjuk para pemilih yang melakukan Golput dari lokasi pemungutan suara sebagai bentuk penolakan, pemilih yang hadir di tempat pemungutan suara namun menyalahgunakan haknya untuk memberikan suara dan masyarakat menggunakan hak pilihnya, namun dengan cara menusuk bagian putih kartu pemilih.

Baca juga: Pahlawan Masa Kini

Disisi lain dari teori yang dibangun oleh David Moon tentang perilaku tidak memilih (non voting behavior)  pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih.

Dari kutipan tempo.com Partai Kebangkitan Bangsa atau yang disingkat PKB melalui perwakilannya mengatakan kandidat tidak menarik warga, Gerindra dengan pernyataan menyeleneh mengatakan Cuaca penyebab turunkan partisipasi, Perludem sama seperti PKB calon tidak sesuai dengan aspirasi.

Menyambung dari pendapat ahli diatas dan kutipan tempo.com. Saya sebagai penyelenggara pemilu tingkat kelurahan yang juga profesi sebagai dosen berbincang panjang lebar dengan sesama dosen di warung kopi dan kawan-kawan penyelenggara. Khususnya di daerah Kabupaten perilaku politik masyarakat sekarang pragmatis, memilih atau ke tempat TPS untuk memilih harus diberikan uang seperti lagu di Pilpres kemarin yang trending di Tiktok "ada suara dan ada uang" artinya tidak ada serba gratis. 

Hal ini ada penyebabnya salah satu ekonomi dan ketidakpercayaan pemilih kepada elit politik yang tidak mengubah harapan hidup mereka sehingga massage pemilih sama saja memilih si A dan si B tetap saja tidak mengubah hidup, saya merasa sendiri sebagai penyelenggara pemilu kurangnya sosialisasi politik oleh lembaga seperti Bawaslu dan KPU dan penyatuan TPS yang mana dalam satu wilayah terdapat 20 TPS menjadi 12 TPS sehingga merubah alamat TPS dan sebagian pemilih tidak tahu alamat TPS di wilayah daerahnya.

Perlu ditegaskan bahwa pragmatis politik yang dilakukan masyarakat tidak lepas karena kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah sosial dan ekonomi, disamping itu elit politik tentunya akan bersifat pragmatis melihat perilaku masyarakat tujuannya untuk kemenangan pemilu. Pemilu ibarat seperti pertandingan sepak bola kedua kesebalasan saling mengeluarkan strategi untuk memenangkan pertandingan, baik atau buruk strategi yang penting kemenangan adalah hasil, namun sebenarnya masalah ini bisa diatasi jikalau elit politik yang terpilih bukan sekedar memiliki keinginan tetapi political action untuk menyelesaikan masalah struktural sosial masyarakat bukan dengan terpilih membiarkan, bersikap bodo amat dan akal-akalan agar bisa terpilih lagi "seperti lingkaran setan".

Kemudian pola pikir yang cacat logika dari masyarakat sendiri bukan berpikir secara jernih dan menyeluruh bahwa politik sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari termasuk dapur rumah tangga. Hal ini bisa saja karena literasi sangat rendah atau pendidikan salah satu faktor penyebabnya sehingga kesadaran terhadap politik buta.

Melanjutkan pernyataan tadi kehidupan sehari-hari kita tergantung kepada kebijakan politik baik dari mengantur keuangan dapur rumah tangga secara privasi, hak agama, uang SPP sekolah, biaya sekolah, biaya fasilitas kesehatan, infrastruktur di sekitar rumah, fasilitas umum dan produk yang kita gunakan, pendapatan yang bekerja disektor formal dan infromal semuanya merupakan produk politik kalau produk politik berada ditangan yang tepat maka masalah-masalah sosial terselesaikan jikalau yang memegang kebijakan ini orang yang berpikir untuk sesaat maka kita akan menuju keburukan. Nah, pentingnya politik dengan mengenal  lebih dalam latarbelakang, rekam jejak, dan asal muasal si calon sangatlah penting tapi ya sudah pemilu sudah usai terima saja legowo kata orang jawa.

Biarkan saja menjadi sejarah tercatat sebagai rekam jejak yang buruk perlu kita perbaiki kedepan bukan hanya berdiam diri menyaksikan dan menonton pelaksanaan pemilu secara baik tetapi penyakit politik yang struktural harus diobati dan dicegah jangan dibiarkan dan menjadi budaya masyarakat. Kita semua tanggung jawab ingin pemilih berkualitas karena tantangan kedepan untuk daerah dan negara sangat kompleks.  


 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun