Berkembangannya dunia teknologi yang diiringi dengan keterbukaan informasi saat ini. Baik dalam bentuk Media Sosial, Instagram, Tiktok, Facebook, Twitter, Blog, Web dan Media Online lainnya. Bukan hanya sebagai wadah yang memudahkan akses memperoleh infomasi tapi juga sebagai wadah mencari nafkah dan lainya. Melihat dari data yang diliris oleh dataIndonesia.id pada 3 Februari 2023 laporan We Are Social, jumlah penggunaan aktif media sosial di Indonesia sebanyak 167 juta orang pada Januari 2023. Jumlah tersebut setara dengan 60,4% dari populasi di dalam negeri. Sebelumnya pada januari 2019 pengguna media sosial mencapai 150 juta atau 56% dari total populasi berasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite. Hasil tahun 2019-2023 menunjukan penggunaan media sosial berkembang pesat. Perlu diketahui bersama dengan berkembang pesat pengguna media sosial menyebabkan kebiasaan yang ada dunia maya masuk pada dunia nyata bahkan sampai ke ranah politik dan ekonomi.
Kebiasaan ini bisa kita sepakati sebagai budaya, karena sebelum Media Sosial berkembang pesat seperti sekarang, kita sudah mengalaminya tanpa kita sadar, dari tahun ke tahun yaitu Popularitas. Popularitas merupakan magnet dan daya tarik, kenapa demikian? Di zaman teknologi dan keterbukaan informasi, popularitas menjadi ukuran kesuksesan seseorang dengan populer bisa mendapat pengakuan, penghormatan, dan pujian dari orang lain, seperti yang disampaikan David j Schuwartz pengarang buku berpikir dan berjiwa besar dalam Suardi (2017) sukses berarti popular dikalangan teman, lingkungan dan masyarakat luas. Contohnya fenomena anak remaja viral karena berkata “kamu nanya atau slebew” , sebelum viral kondisi ekonomi menengah ke bawah setelah viral atau terkenal berubah 180 derajat sehingga sampai diliput oleh media masa nasional menjadi bahan motivasi kemudian fenomena mandi lumpur di Tiktok dan mencerita aib perselingkuhan suami dan mertua. Oleh sebab itu mau tidak mau harus mengakui kondisi sosial masyarakat sekarang.
Menurut KBBI po-pu-la-ri-tas ialah perihal populer dan kepopuleran. Dengan lebih mudah penyebutannya “ketenaran”. Pada ruang politik popularitas telah menjadi perhatian penting untuk memperoleh suara terbanyak, untuk mengangkat elektabilitas dan untuk kemenangan. Secara langsung kita melihat calon-calon eksekutif dan legislatif menampilkan kegiatan blusukan turun ke masyarakat, memamerkan baliho sebanyak-banyak di setiap tempat dan ukuran dari kecil sampai besar, dengan modal nama, termasuk nama keluarga, pernah menjabat ini dan itu, dan bermacam-macam , semua hanya gimik semata karena tanpa ada penekanan gagasan, masalah sekarang, masalah kedepan dan penyelesaian. Tidak bisa dipungkiri dengan akses arus informasi media masa peminpin yang dipilih rakyat hanya tampak semu.
Politik yang berbasis hanya popularitas di Indonesia yang marak bisa berpeluang besar memunculkan pemimpin instan, tidak berkompeten, dan miskin integriatas. Syamsuddin Haris dalam Suardi (2017). Di lain sisi John Cork, warga asal Los Angeles sempat menulis sepucuk surat dalam surat kabar Time dalam Dyah Tantri Efrina Putri dan Muradi (2017) “Pesona pribadi akan selalu lebih bermakna ketimbang politik, memiliki nama tenar lebih penting ketimbang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar isu-isu kampanye, jika Anda seorang bintang maka media akan melakukan apapun untuk meliput kampanye anda”.
Sulit untuk dihindarkan popularitas yang merupakan penyakit sosial masyarakat atau racun, karena mayoritas masyarakat berpikir pragmatis dengan melakukan apapun demi memperoleh keinginan, hal yang sama dari sikap partai politik secara kelembagaan dengan merekrut orang tanpa memandang kompetensi dan integritas. Partai politik tidak dapat salah dalam konsep kekuasaan, melihat kebiasaan masyarakat sehari-hari, mereka masuk ke ranah yang disukai oleh masyarakat sebagai pemilih atau pasar politik, ternyata masyarakat lebih menyukai kepopuleran.
Mengubah cara pandang yang objektif adalah tindakan seharusnya yang kita lakukan sebagai warga civil atau pemilih dengan membiasakan penggunaan sosial media berisikan konten yang subtantif dan melihat calon yang diusung partai politik apakah ia mengetahui masalah sekarang, kedepan, solusinya, dan meminggirkan aspek lain berkaitan kepopuleran. Di lain pihak dengan bermodalkan popularitas sebagai etalase, semu, dan gimik-gimik wajib dihilangkan atas kesadaran partai politik. Memperkuatkan peran pendidikan politik dari partai politik menyodorkan figur profesional, berkompeten, dan berintegritas agar perubahan bangasa dan negara lebih baik.
Refrensi
Dyah Tantri Efrina Putri, Muradi “Popularitas selebriti sebagai alat kosmetik politik”. Jurnal Ilmu Pemerintahan .Vol.3 No.1. (2017) 103-115
Suardi “Mencermati pilihan rakyat antara popilaritas dalam intergitas semu”. Jurnal Risalah. Vol.28, No 2. (2017) 69-75
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H