Mohon tunggu...
Barbhara Roza
Barbhara Roza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sebuah Tekanan Membentuk Kepedulian

5 Juni 2024   01:59 Diperbarui: 5 Juni 2024   02:08 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Menjadi mahasiswa ilmu komunikasi merupakan sebuah tantangan bagi Gen Z yang sudah terbiasa mengonsumsi konten secara visual. Bagaimana tidak? Setiap harinya, Gen Z menghabiskan setiap menit hidup mereka untuk mengonsumsi konten visual ringan yang membuat pikiran terlarut di dalamnya. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi Gen Z untuk menjadi seseorang yang peka terhadap isu sosial, pembangunan negeri, bahkan lingkungan mereka sendiri. Tantangan juga muncul bagi para mahasiswa ilmu komunikasi yang diharuskan memiliki kemampuan menulis, terutama dalam menulis berita. Mereka yang sudah terbiasa dengan konten receh secara visual dan akan merasa tidak nyaman ketika dihadapkan pada penulisan isu-isu yang ada.

Seringkali muncul pertanyaan, apakah pada zaman modern ini masih relevan untuk kita membaca tulisan tanpa adanya visual bergerak? Apakah sebuah halaman yang berisikan penuh dengan kata tetap diminati pada zaman modern ini? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat ketidakmauan para Gen Z untuk membaca, apalagi membaca berita penting yang sedang terjadi. Namun, di dalam ilmu komunikasi, semua keraguan dan ketidaksukaan tersebut dipaksa untuk dihadapi. Bagaimana tidak? Di beberapa kampus, penjurusan pada program studi ilmu komunikasi sudah dihapuskan, seperti yang terjadi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Setiap mahasiswa diharuskan mengikuti mata kuliah wajib yang di dalamnya tergabung tiga penjurusan pada ilmu komunikasi, yaitu Marketing Communication, Hubungan Masyarakat, dan Jurnalistik.

Hal ini membuat mahasiswa ilmu komunikasi dipaksa untuk memiliki kemampuan menulis, terutama pada mata kuliah yang berkaitan dengan jurnalistik. Tentunya, sangatlah berat bagi mahasiswa yang terbiasa melihat dan menikmati konten audiovisual untuk dapat merasa nyaman menulis dan membaca isu yang dianggap membosankan. Berangkat dari sifat acuh dan enggan membaca, para mahasiswa sering kali mengalami kesulitan dalam menulis dengan perbendaharaan kata yang kurang luas.

Langkah demi langkah yang berat untuk membaca dan menulis mulai terasa ringan ketika mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa mendapatkan mata kuliah penulisan berita dan penulisan kreatif dengan Bapak Ikhsan sebagai dosen pengampu. Beliau memiliki cara unik dalam mengajar, dengan sedikit teori yang disampaikan namun banyak praktik yang diperintahkan. Diawali dengan kebingungan di kepala para mahasiswa mengenai tugas yang dianggap tidak mungkin, mereka dipaksa untuk menjalaninya. Setiap mahasiswa diwajibkan menghasilkan berita opini serta berita terkini setiap minggunya, dengan ketentuan bahwa setiap mahasiswa harus turun ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang diolah menjadi berita.

Banyak sekali pikiran yang muncul di benak para mahasiswa ketika diberikan tugas yang cukup berat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki dasar menulis dan rasa acuh pada isu terkini. Namun, dalam prosesnya, langkah-langkah tersebut semakin ringan dan kepala semakin penuh dengan ide penulisan. Meskipun tekanan yang diberikan cukup berat, namun ketika dijalani, tekanan tersebut menjadi otomatis dan ringan. Dampaknya bahkan lebih dari yang diharapkan. Sebagai mahasiswa, saya menjadi lebih peduli terhadap isu dan kebijakan yang ada, sehingga dapat lebih memahami apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan isu-isu yang ada saat ini.

Pada akhirnya, pengalaman ini membentuk mahasiswa menjadi individu yang lebih kritis, peka, dan bertanggung jawab. Mereka tidak lagi melihat tulisan sebagai sesuatu yang membosankan atau berat, tetapi sebagai alat untuk menyampaikan pesan dan menyuarakan perubahan. Mereka belajar bahwa menulis bukan hanya tentang menyusun kata-kata, tetapi tentang menyampaikan ide dan menyuarakan hal yang benar. Pada akhirnya harus disadari bahwa jurnalistik menjadi wadah untuk para kaum tertindas dilihat dan diberikan hak bersuara. Dengan adanya mata kuliah ini, mahasiswa dapat membuka mata untuk melihat bagaimana dunia bekerja dan bagaimana mereka harus peduli terhadap sosial yang ada. Mahasiswa dapat paham bahwa kita tidak boleh hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga untuk menganalisis, mempertanyakan, dan mengkritisi informasi tersebut.

menurut saya juga, hal ini dapat menjadi bibit awal para jurnalis yang peka serta peduli akan kebijakan dan hal janggal yang terjadi pada saat ini. selain itu, sangatlah baik bukan? ketika ketidaktahuan menjadi sebuah kepedulian yang sangatlah berharga untuk masa kedepannya, walaupun ditekan dengan keras namun hal tersebut yang memang harus dilalui dan menjadi gambaran akan pekerjaan jurnalis pada kenyataannya dan pada akhirnya, mata kuliah ini akan menjadi jejak pada setiap mahasiswa dengan segudang pengalaman berharga yang dilewati dengan sedikit berat. Mahasiswa merasakan bahwa tekanan yang dianggap keras dapat menjadi batu loncatan untuk melangkah lebih ringan kedepannya. Selain itu, membuat mahasiswa juga ikut merasakan bahwa banyak sekali hal - hal yang sudah seharusnya untuk disuarakan. Semakin besar juga harapan mahasiswa dapat menjadi agen perubahan dengan mulai pekanya pada isu - isu yang ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun