Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disampaikan dalam sidang pleno Ijtima Ulama ke-5 Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tahun 2015 di Pesantren at-Tauhidiyah pada 7-10 Juni 2015 lalu soal praktek Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai dengan syariah yang membingungkan masyarakat harus dapat perhatian besar kita.
Kita harus bisa meluruskan makna sesungguhnya keberadaan MUI di Indonesia. Tidak ada pilihan lain ! karena MUI adalah lembaga yang diberi anggaran oleh pemerintah untuk menjalankan tugas – tugasnya. Bagaimana mungkin pemerintah dan MUI berbeda pendapat soal BPJS kesehatan, padahal Sebelumnya MUI sudah menyampaikan pemikirannya melalui pertemuan dengan DPR RI? Dalam hal ini berarti ada yang salah dari persepsi MUI dan pemerintah atau ada yang salah persepsi DPR RI dalam menilai pendapat MUI? Terlepas itu semua yang harus dilakukan masyarakat Indonesia khusunya beragama Islam adalah mendudukkan hakekat kebaradaan MUI dalam pandangan Islam.
***
Dalam sejarah Islam ditemukannya persoalan – persoalan khusus yang ditangani oleh orang – orang khusus. Dahulu, sekelompok sahabat Rasulullah saw. saling bertanya satu sama lain tentang beberapa persoalan tertentu yang memang cukup sukar untuk mereka pahami. Rasulullah saw. telah menyebutkan bertingkatnya pemahaman para sahabat terhadap nash-nash syariah. Rasulullah saw. bersabda, “Di antara umatku, orang yang paling sayang kepada umatku adalah Abu Bakar; orang yang paling ketat dalam masalah yang ditetapkan Allah adalah Umar; orang yang paling pemalu adalah Utsman; orang yang paling mahir dalam membaca Kitabullah adalah Ubay bin Kaab; orang yang paling memahami hukum faraidh adalah Zaid bin Tsabit; orang yang paling tahu halal-haram adalah Muadz bin Jabal. Setiap umat memiliki orang kepercayaan dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” (HR at-Tirmidzi)
Jadi memang adanya perbedaan kemampuan umat Islam dalam memahami hukum - hukum Islam itu sendiri adalah realitas tak terbantahkan. Bahkan sahabat Rosulullah sebagai pendidik sejati juga mengakuinya. Tidak hanya itu, sebagai muslim kita berkewajiban untuk memahami hukum - hukum Islam. Maka sewajarnyalah kita tau bagaimana memahami prinsipnya nash-nash syariah itu sendiri. Hanya saja, kebanyakan kita kesulitan melakukan itu. Hal ini bisa disebabkan banyak dari kita tidak mengetahui bahasa Arab atau kurang mengetahui makna-maknanya secara mendalam, khususnya setelah banyak kesalahan dalam tata bahasa dan khalayak sudah tidak mengetahui lagi bahasa Arab yang baik dan benar (fushha). Mereka yang seperti ini membutuhkan orang lain yang lebih memahami nash-nash syariah. Hal seperti itu dibolehkan di mata syariah dengan sejumlah patokan tentunya.
Dr. Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh mengatakan, "Setiap mukallaf harus menaati Allah dan Rasul-Nya tanpa kecuali. Kewajiban ini tentu menuntut mereka untuk mengetahui perkara yang disyariahkan Allah SWT baik yang termaktub dalam al-Quran ataupun yang terangkai dalam ucapan Rasulullah saw. Mengetahui perkara yang disyariatkan Allah SWT dilakukan dengan merujuk pada nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, mengambil hukum dari keduanya setelah memahami nash-nash tersebut dan mengetahui maksud yang terkandung di dalamnya. Jika seorang mukallaf tidak menemukan hukum secara jelas dalam nash-nash tersebut, baru dia beralih pada ijtihad sebagaimana yang diperintahkan oleh syariah. Lalu berijtihadlah dia dalam koridor yang ditetapkan syariah. Inilah jalan yang lurus untuk mengetahui dan mengamalkan hukum-hukum itu”
Inilah relevansi penting adanya MUI. untuk mengarahkan umat berislam dengan lurus. Lantas pertanyaannya adalah, apakah MUI sekarang adalah kumpulan dari para ulama 'bergelar' mujtahid sehingga layak berijtihad sehingga kita sebagai muqallid harus mengikuti pendapatnya agar kita masuk pada jalan yang lurus? Atau itulah sebabnya MUI hanya berfatwa tidak berijtihad karena tidak ada yang layak disebut sebagai mujtahid? maka bagi masyarakat harusnya bisa lebih bijak menyikapi posisi MUI kini. Jika memang mereka bukanlah kumpulan Mujtahid maka mereka tidak disebut berijtihad. Dan butuh di ketahui jika MUI bukan berijtihad melainkan berijtima, maka ijtima ulama bukanlah masuk metode penggalian hukum Islam itu sendiri. Karena metode penggalian hokum Islam itu di sebut Istinbath yang hanya bisa dilakukan oleh seoarng Mujtahid.
Dilain sisi, jika kita memang seorang muqallid tak layak banyak bicara menjelekkan hasil istinbath Ulama Mujtahid. Bersikap objektiflah sebagaimana Rasul memuliakan ulama dan tidak menjelekkan atau merendahkan mereka. Diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit, Rasul bersabda, “Bukanlah dari golongan umatku orang yang tidak menghormati orang lebih besar di antara ka mi, tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak ulama kami.” (HR Ahmad dan Thabrani).
Disisi lain, semoga tidak terlalu dini menganologikan. MUI itu sejenis Syekhul Islam dalam Daulah Islamiyyah/kekhilafahaan terdahulu. Baberapa ulama moderen mengkritisi keberadaan lembaga seperti ini dalam Khilafah dahulu. karena lembaga dianggab satu faktor embrio melemahkan Daulah Islam. Darisanalah dikotomi Islam Islam bermula. Masyarakat terbangun mainset bahwa domain syariah adalah milik Syekhul Islam dengan pembahasan hanya seputar masjid dan ibadah mahdhah. Sementara dalam urusan lain Muamalah, politik, ekonomi, social hukum domain akademisi/praktisi.
Terakhir, melihat terjepitnya MUI dalam ruang sistem politik sekulerisme berkepentingan seperti sekarang ini, harusnya MUI ke depan sudah mengurangi ketergantungan mereka pada pemerintah. Mulai dari urusan anggaran sampai soal maaf ‘fatwa pesanan’. MUI harus bersama umat berada di tengah tengah umat dalam menyuarakan kebenaran Islam. Revisi fungsi MUI itu harus dilakukan segera. Agar masyarakat tak bingung lagi melihat setiap keputusan MUI. Atau agar masyarakat tak apatis terhadap fatwa MUI.
Penulis Pemerhati Sosial Keagamaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H