Mohon tunggu...
Pasu Sibarani
Pasu Sibarani Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

NIM: 55522120006 - Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Kritik Mutual Agreement Procedure

3 Mei 2024   12:45 Diperbarui: 3 Mei 2024   12:57 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mutual Agreement Procedure (MAP) adalah proses resmi yang digunakan oleh dua negara untuk menyelesaikan perselisihan tentang penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). P3B adalah perjanjian antar negara yang bertujuan untuk menghindari atau mengurangi pajak yang sama yang dikenakan pada pendapatan di dua negara yang berbeda.

Jadi, jika terdapat perselisihan tentang bagaimana pendapatan harus dikenakan pajak oleh dua negara yang tercakup dalam P3B, maka MAP dapat digunakan. Pihak- pihak yang terlibat biasanya adalah dua otoritas pajak negara yang bersangkutan yang bekerja sama untuk mencapai kesepakatan untuk menghindari atau mengatasi ketidakpastian atau ketidakadilan yang mungkin timbul dari penerapan perjanjian tersebut. Proses ini mendorong negosiasi antara pihak- pihak yang terlibat untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

Mutual Agreement Procedure (MAP) dapat muncul karena adanya ketidakcocokan atau ketidaksesuaian antara dua negara dalam perjanjian penghindaran pajak berganda. beberapa alasan utama mengapa MAP ini bisa muncul adalah sebagai berikut:

1. Interpretasi berbeda

Otoritas pajak di dua negara yang terlibat dalam P3B mungkin memiliki interpretasi yang berbeda dengan ketentuan- ketentuan dalam perjanjian tersebut. Ini dapat menyebabkan ketidakcocokan dalam penerapan peraturan pajak terkait pendapat lintas batas negara.

2. Penerapan tarif pajak

Negara- negara mungkin memiliki tarif pajak yang berbeda untuk jenis pendapatan tertentu. Ketidakcocokan dalam penerapan tarif pajak dapat menyebabkan perbedaan pendapat antara negara- negara tentang tarif yang seharusnya dikenakan.

3. Kalsifikasi pendapatan

Terkadang, ada perselisihan antara negara tentang klasifikasi jenis pendapatan tertentu. Misalnya, apakah pendapatan harus diklasifikasikan sebagai pendapatan bunga, royalti atau pendapatan usaha.

4 Penentuan lokasi kedudukan pajak

Perselisihan mungkin muncul tentang negara mana yang memiliki hak untuk mengenakan pajak atas jenis pendapatan tertentu terutama dalam kasus korporasi yang memiliki operasi bisnis lintas batas negara.

5. penentuan harga transfer 

Perselisihan sering terjadi dalam penentuan harga transfer antara entitas yang berhubungan lintas batas, di mana satu entitas melakukan transfer barang atau jasa ke entitas lain dalam perusahaan yang sama. Negara- negara dapat memiliki pendapat yang berbeda  tentang harga transfer yang adil, yang dapat mempengaruhi pendapatan yang dilaporkan dan pajak yang dibayarkan.

Dengan menggunakan MAP, negara- negara yang terlibat dapat berusaha untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dan menghindari double taxation serta memastikan bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda diterapkan dengan benar dan adil.

Dalam penyusunan Mutual Agreement Procedure (MAP) terdapat beberapa pihak yang terlibat, yang paling berperan adalah otoritas pajak negara- negara yang bersangkutan, yang mencakup departemen atau lembaga pajak dari negara- negara yang terlibat perselisihan. Otoritas pajak dari negara- negara tersebut menjadi akan menjadi pemain utama dalam proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan. Kemudian Wajib Pajak atau perushaan yang terkena dampak perselisihan pajak juga dapat terlibat dalam proses penyusnan MAP. Wajib Pajak mungkin diminta untuk memberikan informasi dan bukti untuk mendukung klaim mereka, serta berpartisipasi dalam negosiasi melalui perwakilan hukum atau pajak. Dalam beberapa kasus, Wajib Pajak mungkin juga melibatkan konsultan pajak atau penasehat hukum untuk membantu mereka dalam proses MAP. Konsultan ini dapat memberikan saran dan bantuan dalam menyusun argumen, menilai potensi risiko dan mengelola proses negosiasi.

Beberapa perselisihan pajak lintas batas negara mungkin akan melibatkan negara- negara anggota organisasi internasional seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Organisasi semacam itu dapat memberikan panduan dan kerangka kerja untuk membantu negosiasi MAP dan mendorong kerjasama antar negara. 

Dalam prakteknya, perjanjian MAP adalah proses kolaboratif di anatara pihak- pihak yang terlibat , yang bekerja sama untuk mencapai kesepakatan yang adil dan memperbaiki  ketidakcocokan atau ketidakpastian dalam penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda antara negara- negara yang terlibat.

MAP digunakan ketika terjadi perselisihan antara dua negara dalam penerpan P3B, ini biasanya terjadi dalm beberapa skenario, misalnya ketika pendapatan atau transksi melintasi batas dua negara yang tercakup dalam P3B, terkadang ada potensi untuk pajak ganda, di mana pendapatan yang sama dikenakan pajak oleh kedua negara. MAP digunakan untuk mencari solusi yang adil dan menghindari pajak ganda ini. 

Terkadang, otoritas pajak di dua negara mungkin memiliki penafsiran yang berbeda dengan ketentuan- ketentuan dalam P3B, seperti definisi pendapatan, metode perhitungan pajak atau kriteria penentuan tempat kedudukan pajak. MAP digunakan untuk menyelesaikan ketidakcocokan ini dan mencapai kesepakatan tentang penerapan yang konsisten dari perjanjian tersebut. MAP juga digunakan ketika salah satu pihak mengajukan peninjauan kembali atas keputusan pajak yang diambil oleh otoritas pajak di negara lain. Ini dapat terjadi jika Wajib Pajak merasa bahwa mereka telah dikenakan pajak lebih dari yang seharusnya berdasarkan ketentuan P3B atau hukum pajak domestik.

Ada situasi di mana ketidakpastian muncul terkait dengan penerapan peraturan pajak atau interpretasi hukum pajak. MAP dapat digunakan untuk mengurangi ketidakpastian ini dengan mencapai kesepakatan tentang perlakuan pajak yang tepat untuk transaksi atau pendapatan tertentu.

Secara umum, MAP digunakan dalam situasi di mana terjadi perselisihan atau ketidakcocokan dalam penerapan P3B anatara dua negara, dengan  tujuan mencapai kesepakatan yang adil dan menghindari  pajak berganda serta memperbaiki ketidakpastian pajak.

Rumusan ketentuan MAP diatur dalam Pasal 25 ayat 1 OECD model yang berbunyi sebagai berikut:

"Where a person considers that the action of one or both of the contracting states result or will result for him in taxation not in accordance with the provisions of this convention, he may, irrespective of the remedies provided by the domestic law of those states, present his case to the competent authority of the contracting state of he is a resident or, if his case comes under paragraph 1 of article 24, to that of the contracting state of which he is a national. The case must be presented within three years from the first notification of the action resulting in taxation not in accordance withe the provisions of the convention"

Intinya, MAP merupakan solusi penyelesaian sengketa di luar ranah penyelesaian sengketa domestik, seperti keberatan dan atau banding. MAP dianggap spesial karena merupakan proses konsultasi dan bukan litigasi.

Di Indonesia, ketentuan MAP diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.03/2019 yang diperbarui dengan PMK nomor 172 tahun 2023 di mana Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permintaan pelaksanaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai pejabat berwenang Indonesia dalam ha terjadi perlakuan perpajakan oleh otoritas pajak mitra P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B.

Diskursus Kritik

Dalam konteks kerjasama perpajakan internasional, MAP memiliki peran yang sangat penting dalam menyelesaikan sengketa perpajakan, aturan yang dijelaskan dalam PMK.49/PMK.03/2019 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-49/PJ/2021 memberikan kerangka kerja untuk negosiasi antara otoritas pajak dari dua negara yang berbeda guna mencapai kesepakatan mengenai peraturan perpajakan yang relevan.

Namun, dalam melakukan analisis mendalam terhadap isi dari kedua aturan tersebut terungkap beberapa aspek yang mungkin perlu diberikan kritik secara konstruktif. Melalui penelaahan yang cermat, akan dipertimbangkan efektivitas, kejelasan dan keadilan dari prosedur yang diusulkan. Kritik ini sendiri bertujuan menyelidiki apakah aturan yang dijelaskan telah benar-benar memenuhi kebutuhan dan harapan dalam penyelesaian sengketa perpajakan internasional secara adil dan efisien. Dengan begitu kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana kedua aturan tersebut dapat ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas kerjasama perpajakan internasional. Beberapa poin yang perlu disampaikan antara lain:

1. Kompleksitas administrasi

Aturan mengenai MAP mencakup serangkaian prosedur dan format yang sangat rinci dan teknis. Tingginya tingkat detail dan kompleksitas administratif dapat membuatnya sulit dipahami dan diterapkan secara efektif oleh para pemangku kepentingan, dalam hal ini termasuk Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak itu sendiri.

2. Keterbatasan akses informasi

Aturan mengenai MAP akan sulit dipahami oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang hukum atau perpajakan yang kuat. Hal ini dapat menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap informasi, menguntungkan pihak yang memiliki sumber daya atau akses yang lebih besar.

3. Kemungkinan penyalahgunaan

Tingginya tingkat teknis  dalam aturan tersebut dapat membuka celah untuk penyalahgunaan atau interpretasi yang tidak sesuai. Ini dapat memicu ketidakpastian hukum dan meningkatkan risiko konflik antara otoritas pajak dan Wajib Pajak.

4. Birokrasi yang berat

Prosedur yang rumit dan format yang ditentukan dengan ketat dapat mengasilkan proses birokrasi yang berat dan memakan waktu. Hal ini dapat memperlambat proses penyelesaian sengketa perpajakan, yang pada akhirnya dapat berdampak negatif pada kepastian hukum dan iklim investasi.

5. Keterbatasan transparansi

meskipun aturan dirancang untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, namun kompleksitasnya dapat mengaburkan proses pengambilan keputusan dan mengurangi keterbukaan informasi bagi para pemangku kepentingan.

Dalam menyusun dan menerapkan aturan, penting untuk mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan akan ketertiban perpajakan dan keterbukaan, serta kemampuan untuk memahami dan menerapkan aturan dengan mudah bagi semua pihak yang terlibat. Upaya untuk menyederhanakan prosedur dan meningkatkan aksesibiltas informasi dapat membantu mengatasi beberapa kritik yang diungkapan di atas.

Referensi:

1. OECD, Manual on Effective Mutual Agreement Procedures (MEMAP)

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujaun Bersama

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa

3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-49/PJ/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun