Mohon tunggu...
Pasu Sibarani
Pasu Sibarani Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

NIM: 55522120006 - Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda: Strategi Efektif Menjaga Kepatuhan Pajak Internasional

27 April 2024   13:51 Diperbarui: 27 April 2024   13:53 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam konteks perpajakan internasional pajak berganda terjadi ketika penghasilan atau transaksi tertentu dikenakan pajak oleh lebih dari satu yurisdiksi (negara). Hal ini sering terjadi karena ketidakselarasan dalam peraturan perpajakan antar negara. Misalnya, suatu perusahaan multinasional yang beroperasi di beberapa negara mungkin akan dikenakan pajak penghasilan oleh setiap negara tempat mereka melakukan operasi serta negara tempat perusahaan tersebut didirikan atau memiliki kantor pusat.

Pajak berganda ini akan mengakibatkan beban pajak yang berlebihan bagi individu atau perusahaan yang terlibat, serta menyebabkan ketidakpastian hukum dan timbulnya biaya administratif tambahan untuk mematuhi berbagai peraturan pajak yang berlaku. Untuk mengatasi hal ini, banyak negara menandatangani perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) untuk mencegah atau mengurangi pengenaan pajak berganda dengan memberikan pedoman tentang bagaimana penghasilan harus dikenakan pajak ketika penghasilan tersebut melibatkan lebih dari satu yurisdiksi.

Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau yang disebut Double Taxation Avoidance Agreement adalah perjanjian yang ditandatangani oleh dua negara atau lebih untuk menghindari atau mengurangi pajak berganda yang timbul akibat pendapatan yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu yurisdiksi.

Tujuan utama dari P3B adalah untuk memberikan kejelasan tentang bagaimana penghasilan akan dikenakan pajak ketika melibatkan lebih dari satu negara. Bisanya, P3B akan menetapkan aturan untuk menentukan yurisdiksi mana yang memiliki hak untuk mengenakan pajak atas jenis penghasilan tertentu, serta untuk mengurangi atau menghilangkan pajak berganda dengan memberikan kredit pajak untuk pajak yang sudah dibayarkan di negara lain.

Perjanjian penghindaran pajak berganda sering mencakup berbagai jenis penghasilan, termasuk penghasilan dari dividen, bunga, royalti dan penghasilan dari jasa- jasa yang bersifat profesional. P3B juga biasanya mencakup ketentuan tentang pertukaran informasi antara negara- negara yang bersangkutan untuk mencegah penghindaran pajak maupun penggelapan pajak.

Penandatanganan P3B dapat membantu mempromosikan investasi lintas batas dan perdagangan internasional dengan menciptakan lingkungan yang lebih stabil dan jelas dalam hal perpajakan.

UN Model VS OECD Model

Secara umum, model perjanjian penghindaran pajak berganda atau model P3B merupakan acuan atau referensi bagi masing- masing negara yang akan melakukan perjanjian dalam rangka penghindaran pajak berganda. Artinya, model P3B menjadi landasan atau "starting point" bagi masing- masing negara yang hendak melakukan negosiasi. Sebagai suatu model, OECD model maupun UN model bukan merupakan instrumen yang harus digunakan dalam negosiasi P3B, semuanya tetap tergantung pada kesepakatan dan kesediaan antar masing- masing negara. Dalam konteks perpajakan internasional selain OECD model dan UN model, terdapat beberapa model lain seperti ASEAN model, Nordic Convention, Caricom Agreement dan lain sebagainya. Tetapi yang paling banyak diadopsi adalah UN model dan OECD model.

UN model atau United Nations Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries adalah sebuah model perjanjiang penghindaran pajak berganda yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB). Model ini dirancang khusus untuk mengatur hubungan perpajakan antara negara- negara maju (developed countries) dan negara- negara berkembang (developing countries)

Tujuan utama dari UN model adalah untuk membantu negara- negara berkembang mengurangi ketidaksetaraan dalam hubungan perpajakan internasional dengan negara- negara maju. Model ini berusaha untuk memperhitungkan kebutuhan ekonomi negara- negara berkembang sambil tetap memastikan bahwa prinsip- prinsip dasar perpajakan seperti ketepatan, keadilan dan kerjasama internasional terpenuhi. UN model mencakup ketentuan yang menetapkan batasan hak untuk mengenakan pajak atas berbagai jenis penghasilan seperti dividen, bunga, royalti dan keuntungan usaha. Model ini juga menyediakan pedoman tentang bagaimana penghasilan tersebut harus dihitung dan dikenakan pajak di negara asal dan negara tempat penerima penghasilan berdomisili.

Dalam ketentuan penghindaran pajak berganda, model ini menetapkan prinsip- prinsip untuk menghindari pengenaan pajak berganda dengan memperkenalkan mekanisme pemberian kredit pajak, pembebasan pajak dan metode pengurangan pajak. Prinsip- prinsip ini dirancang untuk memastikan bahwa penghasilan yang sama tidak dikenakan pajak lebih dari satu kali oleh negara yang berbeda. Selain itu UN model juga mengatur ketentuan yang mendorong pertukaran informasi antara negara- negara yang terlibat dalam perjanjian untuk mencegah penghindaran pajak maupun penggelapan pajak. Model ini juga menyediakan kerangka kerja untuk penyelesaian sengketa perpajakan antara negara- negara yang berada dalam perjanjian kerjasama. 

Meskipun model ini fokus pada negara- negara berkembang, prinsip- prinsip yang terkandung di dalamnya juga diterapkan dalam konteks hubungan perpajakan antara negara- negara maju karena model ini sangat memperhatikan asas keadilan dan kesetaraan.

Di sisi lain OECD model adalah sebuah kerangka kerja perjanjian penghindaran pajak berganda yang dikembangkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang merupakan sebuah organisasi internasional yang terdiri dari negara- ngera anggoota yang umumnya termasuk dalam kategori negara- negara maju.

Tujuan dari OECD model adalah untuk memberikan panduan kepada negara- negara anggota dalam merancang perjanjian penghindaran pajak berganda yang saling menguntungkan dan adil. Model ini berusaha mengedepankan prinsip- prinsip kejelasan, kepastian dan kerjasama internasional dalam bidang perpajakan.

Sama seperti UN model, OECD model juga memberikan pedoman tentang bagaimana negara- negara yang terlibat dalam perjanjian harus mengatur hak untuk mengenakan pajak atas berbagai jenis penghasilan, termasuk dividen, bunga, royalti dan juga keuntungan usaha. Model ini menetapkan prinsip- prinsip untuk menghitung penghasilan dan menentukan yurisdiksi pajak yang berhak melakukan pemungutan pajak. OECD model memiliki cakupan yang lebih umum dan berlaku secara luas di banyak negara maju. Prinsip yang terkndung di dalamnya mencerminkan praktik terbaik dalam perpajakan internasional dan bertujuan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi lintas batas dan perdagangan internasional. Model ini terus menerus diperbarui dan disesuaikan dengan perkembangan terkini dalam bidang perpajakan dan kebutuhan negara- negara anggota OECD.

OECD model memiliki beberapa kelebihan misalnya adopsi yang luas oleh banyak negara maju di seluruh dunia, sehingga memberikan kerangka kerja yang konsisten dan dikenal secara luas sebagai kerangka untuk perjanjian penghindaran pajak berganda. Model ini juga memberikan fleksibilitas dalam mengatur berbagai jenis penghasilan dan metode penghindaran pajak berganda, meungkinkan negara- negara untuk menyesuaikan sesuai kebutuhan mereka. Meskipun begitu model ini mungkin tidak sepenuhnya memperhitungkan kebutuhan ekonomi dan sosial dari negara- negara berkembang, sehingga tidak selalu cocok dengan koneks perpajakan di negara tersebut. Terkadang, kepentingan negara- negara maju yang dominan di dalam OECD dapat tercermin dalam model ini, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan kepentingan negara- negara berkembang.

UN model dirancang khusus untuk memperhitungkan kebutuhan negara- negara berkembang dalam konteks perpajakan internasional, sehingga lebih sensitif terhadap isu keadilan dan kesetaraan.  Dengan menekankan pada kebutuhan negara- negara berkembang, model ini dapat membantu mengurangi kesenjangan dalam hubungan perpajakan internasional antara negara maju dan negara berkembang sehingga model ini dianggap sebagai model yang dapat mendorong kerjasama internasional dan transfer teknologi perpajakan antara negara maju dan negara berkembang. Tetapi UN model oleh bebrapa kritikus dinilai kurang detail dan presisi dalam beberapa aspek terutama jika dibandingkan dengan OECD model. 

Secara keseluruhan, pemilihan antara OECD model dan UN model tergantung pada kebutuhan dan kepentingan khusus dari negara yang bersangkutan, serta konteks perpajakan internasional yang lebih luas di mana mereka beroperasi.

Indonesia sendiri menggunakan pendekatan campuran antara UN model dan OECD model dalam perjanjian penghindaran pajak berganda dengan beberapa pertimbangan utama

1. Keseuaian dengan konteks ekonomi, Indonesia dalah negara berkembang yang memiliki karakteristik ekonomi dan perpajakan yang unik. Dengan mengadopsi model campuran, Indonesia dapat mempertimbangkan kebutuhan ekonomi dan sosial dalam konteks perpajakan domestiknya.

2.  Indonesia memiliki keragaman sumber penghasilan, termasuk dari sektor pertambangan, perkebunan, manufaktur dan layanan. Dengan menggunakan model campuran, Indonesia dapat menyesuaiakan ketentuan perpajakan untuk berbagai jenis penghasilan yang ada.

3. Sebagai anggota dari PBB dan mitra dari OECD, Indonesia memiliki kepentingan untuk mengikuti pedoman perpajakan internasional yang diterima secara luas. Dengan model campuran Indonesia dapat memastikan bahwa P3B yang diajukan tetap konsisten dengan standar yang berlaku.

4. Indonesia melakukan perdagangan dengan berbagai negara termasuk negara maju dan berkembang di seluruh dunia. Dengan model campuran, Indonesia dapat menyesuaikan perjanjian dengan kebutuhan spesifik dari mitra perdagangan tertentu.

5. Dalam proses negosiasi P3B, Indonesia perlu mempertimbangkan kepentingan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, industri dan masyarakat umum. Dengan model campuran, Indonesia dapat mencoba untuk memenuhi berbagai kepentingan ini sebai mungkin.

Dengan memadukan elemen dari UN model dan OECD model, Indonesia dapat menciptakan perjanjian penghindaran pajak berganda yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan domestik. Pendekatan campuran ini memungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan berbagai kelebihan dari kedua model tersebut sambil meminimalkan kelemahan yang mungkin timbul dari masing- masing model secara terpisah.

Sumber

OECD. (2017). Model Tax Convention on Income and on Capital: Condensed Version 2017

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2021

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun