Mohon tunggu...
Mas Nca
Mas Nca Mohon Tunggu... -

Wong kang asor ing ngarsanipun Gusti Alloh

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bangku Panjang

19 Agustus 2010   08:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:53 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku baru saja membuka lembar kedua bukuku saat sebuah cengkeraman yang kuat menekan bahuku,"Mas tolong cari tempat lain,Bapak menginginkan tempat ini".Aku mendongak ke arah suara,menatap seraut muka kaku tanpa senyum,berkacamata hitam bersafari gelap dengan badan sebesar beruang."Tapi saya sudah sering duduk disini pak",sergahku."Mas dengar apa yang saya katakan?Tolong mas cari tempat lain.Mulai sekarang tempat ini bukan lagi tempat mas!".Kali ini cengkeramannya berpindah ke tengkukku dan mengeras,mengurungkan niatku untuk berdebat lagi dengannya.Dadaku terasa panas,tetapi tak ada yang bisa kulakukan kecuali beranjak dari tempat favoritku lalu mencari tempat yang mungkin masih tersisa.Sedang diseberang jalan sana si Bapak yang dimaksudkan baru saja keluar dari limousin mewahnya dikelilingi 4 lelaki yang sama besarnya dengan yang mengusirku tadi.Lelaki separuh abad berambut klimis mengkilat,berjas hitam panjang dengan syal putih panjang,serta kacamata berbingkai emas.

Cuih,apa-apaan ini,rutukku.Sejak kapan semua orang bisa seenaknya mengusir orang lain dari bangku panjang ini.Setahuku tak ada satu riwayatpun dari kota ini yang menyatakan bahwa bangku ini milik perseorangan,golongan,ormas atau bahkan pemerintah kota sendiri.Bangku ini sudah ada sejak dulu.Sejak kota ini berdiri,bahkan konon sejak belum ada kota ini.Tapi anehnya bangku ini tidak sedikitpun terlihat kusam dan rapuh.Malah semakin hari seolah nampak indah,membatu,mengakar,menyatu dengan tanah.

Bangku ini sungguh ajaib.Meski panjangnya cuma mengelilingi taman tetapi anehnya sanggup menampung seluruh penduduk kota.Seolah setiap ada orang yang duduk,maka bertambah pula panjangnya.Tak ada yang mencoba mengukurnya untuk memastikan panjang sesungguhnya.Lagipula siapa yang mau peduli,setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri dengan memastikan bahwa masih ada tempat duduk untuknya dan berharap tidak ada seseorangpun yang menempati tempat favoritnya.

Hingga akhirnya muncul fenomena untuk saling menandai tempat favoritnya masing-masing sesuai kemampuan.Contohnya para bangsawan yang mendatangkan ahli ukir demi mengukir silsilah keluarga,kuda,dan anjing mereka pada sandaran bangkunya.Lalu para ksatria menggurat tegas nama mereka dengan pedangnya.Begitu pula para pemabuk cinta mengorekkan nama kekasih mereka dengan paku.Sedangkan yang lain menempelkan foto,mengecat,menulis dengan pensil,tinta,kapur,lipstick atau potongan arang.Begitu berwarna-warni.Mencolok mata.Mirip prasasti.

Kehebohan tidak berhenti sampai disitu.Entah siapa yang memulai beberapa hari belakangan ini seluruh penduduk kota seolah gila.Semua orang menjadi rakus terhadap makanan.Tak peduli tua,muda,gadis,perjaka,duda,janda semua menjadi monster pelahap.Setiap orang ingin bertubuh gembul sehingga dengan demikian mereka akan mendapatkan tempat duduk yang lebih lebar selebar tubuh mereka.Tak pelak akhirnya dimana-mana kujumpai lalu lalang penduduk kota kecil kami yang dilanda obesitas.Kecuali beberapa orang saja yang selalu berdiam diri,bermata teduh,senantiasa tersenyum tanpa melepaskan gumam pujian kepada Tuhan dari mulut mereka.Tak terlihat sedikitpun nafsu berebut tempat duduk kecuali mengambil tempat secukupnya untuk bermudzakarah atau sekedar halaqah.

"Kenapa juga masih ada orang-orang seperti ini.Mengapa mereka tidak mengikuti yang lain?",batinku."Tidakkah mereka ingin seperti pengacara,dokter,dan konsultan yang memindahkan tempat prakteknya disini?Atau memindahkan barang-barang elektroniknya beserta alat rumah tangganya seperti keluarga yang lain?Lalu pemadat,pendugem,atau pelacur yang bertransaksi dan melakukan eksekusi di tempat ini?Orang-orang shalih memang terlihat aneh bagiku.Atau jangan-jangan justru aku yang sudah tidak bisa lagi mengenali siapa yang aneh diantara mereka karena bisa jadi aku bagian teraneh dari penduduk kota?".Aku tak bisa menjawab pertanyaanku sendiri.Tak ada lagi yang bisa dimintai jawaban kenapa begini kenapa begitu.Apalagi untuk sebuah nasihat.Seperti kataku tadi,masing-masing orang hanya peduli dengan dirinya sendiri.

Alkisah kini hari yang dijanjikan itupun ternyata terjadi.Aneh bin ajaib ketika tiba-tiba tak lagi terdengar kokok ayam di antero kota.Mereka seperti tersirap dalam ketakutan yang mencekam.Malam yang seperti tak berujung mengawan memerah semburatnya menyelubungi langit kota."Ada apa ini?!!ada apa??!!"semua berteriak mengulang pertanyaan yang sama.Dan seperti yang sudah-sudah tak pernah ada jawaban untuk sebuah pertanyaan di kota ini.Gelap tak kunjung sirna sementara langit memerah mulai menghembuskan angin yang tak ramah.Semakin kencang, sangat kencang,teramat kencang.

Yang terjadi kemudian diluar dugaan kami.Bebukitan indah hijau berkabut yang membentengi kota kami seperti bulu-bulu yang beterbangan seiring tumpahnya danau sunyi tempat kami memancing.Kota kami berubah menjadi kitab suci besar yang dulu semasa kecil pernah sesekali aku baca kabarnya.Aku mencari pegangan.Apa saja.Kolom rumah,pagar,mobil,bahkan rumput yang meranggas di depan rumah.Entah apa yang ada di benakku sekelebat aku teringat bangku panjang.Dimana bangku itu?Oh Tuhan,ternyata semua orang telah mendahuluiku.Hampir seluruh penduduk kota menjangkau semua bagian bangku itu.Semua.Tak ada yang tersisa untukku.Semua ingin selamat dari amukan angin yang berpesta.

Namun yang terjadi kemudian sungguh mengherankan.Bangku itu ambrol!Bangku yang amat kami cintai ternyata tak sekuat dugaan kami,ia telah menua.Mengecewakan kami semua.Kami terlempar membumbung ke langit mengikuti kemauan angin diikuti jerit kami yang tak terdengar.Bangku kami tergerus angin.Terketam oleh angin yang mengupas habis setiap milinya hingga menjadi debu.

Begitu juga aku tak lagi merasakan berat tubuhku.Yang kurasa hanya ringan,amat ringan dan teramat ringan.Karena ujung kakiku mulai terasa menjalar menjadi debu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun