Mohon tunggu...
Jazzy D.a.n.
Jazzy D.a.n. Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Aku bukan siapa-siapa....

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review "12 Angry Men" (1957) : Mematahkan Prasangka dengan Logika

27 Juni 2013   11:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:21 3273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah menyaksikan film yang sangat irit lokasi? Film yang sebagian besar (atau bahkan sepanjang) durasi hanya mengambil lokasi di situ-situ saja. Judul-judul berikut ini mungkin bisa menyegarkan ingatan Anda. 127 Hours (2010), kisah nyata petualang Aron Ralston yang terhimpit bebatuan tanpa pertolongan sama sekali, hampir sepanjang film berkutat di celah tebing daratan tandus. Phone Booth (2002), teror yang dialami Colin Farrell di sebuah telepon umum oleh orang misterius. Buried (2010) dan Brake (2012), keduanya sama-sama menceritakan seorang pria yang dikubur hidup-hidup dalam sebuah peti dan keduanya sama-sama film yang teramat irit lokasi, hanya di dalam peti! Exam (2009), thriller cerdas garapan Stuart Hazeldine tentang seleksi calon pegawai suatu perusahaan dengan tagline-nya yang membuat dahi berkernyit, 80 minutes - 8 candidates - 1 answer - no questions. Film-film dengan set yang monoton dari awal hingga akhir tentu berisiko sangat tinggi untuk melahirkan aura kejenuhan bagi para penontonnya. Bahkan sangat mungkin terjadi penonton beranjak dari kursi saat film masih belum selesai diputar karena tidak tahan. Atau yang lebih sadis, langsung mencoret dari daftar tontonan setelah sepintas membaca sinopsisnya. Sedangkan sisi baiknya, dengan lokasi yang terbatas dan biasanya diikuti dengan karakter yang terbatas, ada banyak waktu bagi sutradara untuk mengeksplorasi kedalaman setiap karakternya sehingga menghasilkan film yang bermutu, tentunya faktor naskah dan dialog-dialog berbobot menjadi faktor penentu di dalamnya. Sidney Lumet boleh dikatakan sangat berhasil saat membesut 12 Angry Men. Pendalaman karakter dan tik-tak dialog di dalamnya menjadi pilar kekuatan utama film produksi tahun 1957 ini. Walaupun 99% hanya mengambil lokasi di salah satu ruang di pengadilan dan warna gambar hanya terdiri dari dua macam, film tetap nikmat disantap sampai akhir. 12 Angry Men bertutur tentang para juri dalam proses menentukan keputusan akan sebuah kasus. Mereka diperhadapkan pada kasus pembunuhan tingkat pertama. Terdakwanya adalah seorang anak yang dituduh telah menikam ayahnya sampai mati di apartemennya. Usai jaksa dan pembela menyelesaikan tugasnya, saksi-saksi sudah bersaksi, dan dirasa sudah cukup bukti, hakim meberikan mandat kepada 12 juri untuk berunding dan memutuskan secara bulat apakah terdakwa dinyatakan bersalah atau tidak bersalah. Mandat inilah yang mempersatukan mereka dalam sebuah ruangan tertutup. Yang ada di dalamnya adalah 12 orang yang tidak saling kenal dengan latar belakang dan kepribadian yang majemuk. Diprediksi diskusi akan berlangsung singkat melihat para juri seperti sudah bermufakat sebelum bermusyawarah. Itu pula agaknya yang membuat mereka langsung menempuh mekanisme voting untuk memetakan suara. Hasilnya di luar prediksi. Dari 12 juri, ternyata 'hanya' 11 orang yang menilai bahwa terdakwa bersalah.

13723057431024171586
13723057431024171586
Juri #8 (Henri Fonda) memiliki penilaian yang berbeda. Baginya, tidak sepatutnya menentukan hidup mati seseorang hanya dalam waktu lima menit. Bukan berarti dia yakin terdakwa tidak bersalah, namun dia hanya kurang yakin bahwa terdakwa bersalah. Keraguan yang diyakininya masuk akal (reasonable doubt) inilah yang menjadikan dia berhati-hati agar tidak salah mengirim orang ke kursi listrik. Sikap berbeda ini kemudian memancing perdebatan sengit penuh emosi antarkarakter di sini, yang uniknya setiap karakter tidak disebutkan namanya, hanya disebut dengan Juri #1, Juri #2, Juri #3, dan seterusnya. Walaupun juri-juri lainnya sangat geram dengan pendapat 'nyeleneh' itu dan dianggap hanya akan membuang-buang waktu saja, namun mengingat kesepakatan 11 suara dari 12 suara tidak dapat dikategorikan sebagai suara bulat, maka dimulailah adu argumen di antara mereka untuk membulatkan 11 suara menjadi 12, atau sebaliknya..., 1 suara menjadi 12! Dalam suasana ruang yang pengap dan panas, adanya silang pendapat, perang kata-kata, dan bertumbuknya berbagai ego, sangat potensial untuk meledakkan emosi setiap juri, namun itu pula yang sekaligus menjadi nyawa yang menghidupkan 12 Angry Men. Bangunan konflik yang kokoh dan hadir susul-menyusul. Di sini dialog-dialog cerdas menjadi amunisi untuk menghajar emosi penonton. Yang ada di sini bukan sekedar debat kusir asal bunyi, namun adu argumen dengan pemikiran masing-masing, fakta-fakta yang terlewat dalam persidangan, serta teori-teori untuk mendukung atau menyanggah pendapat lawan. Satu persatu karakter diberi waktu dan porsi masing-masing untuk unjuk gigi, sehingga dari kedua belas karakter juri yang ada, tidak satu pun karakter yang mubazir atau terkesan diada-adakan. Dari deretan cast yang bertanggung jawab untuk menghidupkan karakter masing-masing, mungkin hanya nama Henri Fonda yang sempat mampir di kuping. Namun, semua sudah mengerjakan tugasnya memainkan peran dengan sangat baik. Saya tidak habis pikir, bagaimana dengan hanya berbekal dialog saja bisa menghasilkan 'pertempuran' yang seru seperti ini.

1372305784793396591
1372305784793396591
12 Angry Men memang mempersempit diri dengan tidak mencari siapa sesungguhnya sang pembunuh, hanya berfokus pada apakah terdakwa bersalah atau tidak. Naskahnya, walaupun sederhana, bisa dikatakan sangat kuat dan berbobot. Menyaksikan film ini seperti disegarkan kembali tentang salah satu nilai yang terkandung dalam Pancasila tentang musyawarah untuk mufakat. Nilai yang sepertinya telah terpinggirkan dalam kehidupan bangsa ini dan digantikan dengan apa yang disebut voting, mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak. Padahal yang terbanyak itu belum tentu benar, demikian halnya dengan yang minoritas belum tentu salah. Suara minoritas tetap berhak untuk diperdengarkan dan didengarkan, bukan malah diberangus atau langsung disingkirkan. Juri #8 telah memberikan gambaran tentang bagaimana sebuah komunikasi yang efektif-persuasif. Bahwa hanya dia yang kontra dan menjadi minoritas, tidak jadi soal. Dengan analisis yang kritis, logis, dan rasional dengan didukung fakta-fakta yang ada, Juri #8 berupaya mengikis sedikit demi sedikit kecacatan analisis dan kedegilan hati mereka. Baginya, informasi yang sepotong-sepotong dan ditelan mentah-mentah sangat berpotensi menjadi dasar untuk lahirnya sebuah keputusan yang salah. Sama bahayanya bila prasangka negatif lebih menguasai akal sehat manusia. Apalagi bila prasangka itu kemudian sampai berbuah menggelorakan syahwat untuk menghilangkan nyawa seseorang. Saya bersyukur dalam hidup ini diizinkan Tuhan untuk menyaksikan 12 Angry Men, salah satu karya paling hebat sepanjang sejarah perfilman. Masterpiece! Diposting ulang dari : http://www.facebook.com/notes/djati-agung-nugroho/12-angry-men-1957-mematahkan-prasangka-dengan-logika/405694109478047

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun