Kemungkinan besar peristiwa "gegeran politik" yang terjadi dalam Sidang Paripurna DPR RI pada 30 Maret 2005, pada saat sedang membahas atau menentukan opsi terhadap: 'tindakan pemerintah menaikkan harga BBM' adalah disebabkan oleh karena: 'Pokoknya .... asal berani beda', atau 'agar dikatakan sebagai orang yang proaktif dan kreatif', atau 'bermuatan politis?'. Sedangkan sesat pikir yang tidak disengaja dilakukan adalah karena disebabkan oleh: ketidakpahaman (nora dong), ketidaksadaran (kalimput), oleh karena terbawa oleh sikap politik partainya; atau hanya ikut-ikutan saja (anut grubyug); yang secara umum atau kebanyakan dilakukan oleh orang-orang: asing, orang non Jawa atau oleh orang Jawa yang memang sudah bukan Jawa lagi, dan orang-orang awam yang lugu (bersahaja). Sehingga menumbuhkan sesat pikir yang tidak sengaja (material fallacies). Tetapi konyolnya diantara merek aitu kok ya ada yang jadi Petinggi Negeri. Itu menjadi Kekonyolan yang Keenambelas.
Coba Anda bayangkan apabila hal itu justru dilakukan oleh para konsultan dan pendamping ahli (counterpart) yang bertugas mendampingi para peneliti Barat dalam melakukan riset tentang kebudayaan Jawa, tentulah menjadikan runyam terhadap hasil penelitian mereka itu. Hal lain yang amat merugikan dan mencoreng nama baik kawruh Jawa adalah adanya tuduhan yang negatif sifatnya (pejorative) akibat adanya sesat pikir pertalian (fallacy of relevance) yang ditimbulkan oleh adanya pembentukan kata-kata baru dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kata dasar yang diadopsi dari bahasa Jawa namun dengan penggunaan logika dan nalar bahasa Indonesia. Dan konyolnya lagi ditambah dengan menggunakan pula kebiasaan euphemisme (pelembutan) kata seperti yang menjadi ciri mum dan biasa dilakukan dalam bahasa Jawa. Kata-kata seperti pramuniaga, pramusaji, pramunikmat )pelacur), dan telah dibahas pada uraioan terdahulu, oleh masyarakat awam dikira murni dari bahasa Jawa seperti halnya pramugari. Penggunaan euphemisme pada kata pramunikmat itu dianggap sebagai 'tidak mendidik keterbukaan terhadap hal yang jelek' dengan maksud menghargai profesinya. Mengganti kata 'pelacur' itu dengan kata yang berkonotasi profesional, enak didengar dan sopan, karena arti dari kata 'pramunikmat' adalah memberi pelayanan kenikmatan, walaupun zinah itu dosa besar. Hal ini menjadi ciri Konyolnya yang Ketujuhbelas.
Alangkah konyolnya para pemimpin bangsa kita di zaman modern ini, yang telah mengorbankan keahlian anak bangsanya sendiri yang telah berhasil membawa pemikiran-pemikiran posmodernisme yang justru selalu 'mendahului zaman' seperti telah disinggung pada Bab-bab sebelumnya. Perlu dikemukakan dan ditunjukkan lagi sebagai contoh kasus, yaitu karya Prof. Dr. Slamet Mulyono tersebut di atas sudah dicetak pertama kali pada tahun 1968, sedangkan posmodernisme sendiri baru ramai menjadi bahasan pemikiran di dunia Barat antara tahun 1970 dan tahun 1980 dan menampakkan wujudnya pada tahun 1998. Itulah Kekonyolan Orang Jawa yang Kedelapanbelas.
Dengan kesadaran sendiri meninggalkan tradisonalisme untuk menjadi orang modern yang 'katanya' akan lebih njamani namun ternyata kini bahkan menjadi runyam (sulit dan susah menjalani kehidupan ini), karena anggapan 'akan ketinggalan atau ditinggalkan oleh zaman bila tetap hidup dalam pemikiran-pemikiran kearifan tradisional. Padahal yang mandheg (berhenti) bukan zaman, jalannya sejarah, atau alam pikir Jawanya, melainkan semangat anti kolonialisme atau semangat poskolonialismenya - tak bergeming dan tetap jalan di tempat sepanjang masa. Inilah sesungguhnya ciri Konyolnya Orang Jawa yang Kesembilanbelas.
(sumber:Â Konyolnya Orang Jawa, Mengupas 23 Kelemahan Orang Jawa, karya Budiono Herusatoto, Pustaka Solomon, Yogyakarta, 2010)
Bersambung …..
Baca juga: Konyolnya Orang Jawa (11-15)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H