Saya terus terang menulis judul di atas mengenai Partai Demokrat itu untuk menumpahkan sebagian besar analisis othak-athik-gathuk yang sudah saya rangkai sudah cukup lama. Sumangga Kawan-kawan Kompasioner mau nggeguyu, baik mencibir atau sekadar gumuyu  mawon, atau bahkan diam saja, atau pun apalah responnya, punika sah-sah saja.
Saya sebagai orang Jawa, mempelajari bahwa ketika mendapati sesuatu yang menakutkan atau menyenangkan, maka janganlah gumunan, semuanya ada hikmahnya. Semua sudah berada dalam takdir-Nya. Janma namung nrimo ing pandum, ikhlas menjalani hidup, sebagaimana wayang yang digerakkan di panggung kelir atau ditidurkan di kotak oleh sang dalang.
Othak-athik-gathuk, saya meyakini, tetapi belum sampai pada taraf haqqul yaqin, merupakan salah satu mahakarya orang Jawa. Banyak contoh menasbihkannya. Contoh salah satunya, ramalah Jayabaya yang mengatakan bahwa tanah Jawa akan dikalungi wesi itu benar-benar terjadi yakni rel kereta api "mengalungi" pulau Jawa. Nmaun saya tidak hendak meramal, hanya analisis othak-athik-gathuk setaraf yaqin, belum haqqul yaqin.
Berikut analisis othak-athik-gathuknya:
Kita mulai dari patron PD, yang tak lain dan tak bukan, dan hanya dan hanya, dialah Susilo Bambang Yudhoyono.
Perjalanan Yudhoyono menapaki singgasana RI-1 yang berpasangan dengan Jusuf Kalla bermula pada tahun 2004 ketika mengalahkan empat pasangan: Mega-Hasyim, Amien-Siswono, Wiranto-Wahid, dan Hamzah-Agum.
Kemudian kali kedua pada tahun 2009 berpasangan dengan Boediono, Yudhoyono mengalahkan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto.
Kemenangan kali pertama memang cukup mengejutkan, karena diusung PD yang terbilang partai politik baru. Namun lebih mengejutkan lagi sekaligus misteri adalah kemenangan kali kedua yang menempatkan PD sebagai kampiun dengan margin kemenangan yang sangat besar, beberapa pihak menyebutnya cenderung tak wajar.
Mengekor dari ketakwajaran itu, bencana alam demi bencana menghajar Republik Indonesia yang memang sudah terjadi sejak awal pemerintahannya. Selain bencana alam, bencana politik pun tak kalah ramainya. Pada awal pemerintahan keduanya, dimulai dengan dijebloskannya sang besan, Aulia Pohan. Hal itu cukup mengundang decak kagum dan membuat SBY jauh dari kesan pencitraan. SBY tentu ingin melakukan: satu kata dengan perbuatan. Kita tahu bahwa jargon parpol adalah Katakan Tidak pada Korupsi!
Pada tahun itu pula, SBY berkata lantang akan berada di garda terdepan pemberantasan korupsi. Lama-kelamaan tuduhan ketakwajaran pemilu menghilang. Kemudian beralih pada terorisme yang bak reality show, bahkan SBY sendiri mengaku menjadi TO dari teroris. Intensitas terorisme meninggi kala isu-isu korupsi menggema. Laiknya pepatah China yang intinya berbunyi: Lawan Api dengan Api.
Sampai akhirnya Bendahara Umum DPP Partai Demokrat M. Nazaruddin diduga melakukan korupsi. Ia kemudian melarikan diri hingga berbulan-bulan baru tertangkap dengan tunggangan pulang pesawat VVIP. Dalam pelarian hingga sampai Tanah Air, Nazar bagaikan gong besar yang berbunyi nyaring. Koleganya di PD disebut-sebut. Hingga menyeret Angelina Sondakh yang kelahiran Australia dan besar di Manado menjadi tersangka dan yang terbaru tentu saja Andi Mallarangeng.
Padahal kita tahu, bahwa Putri Indonesia 2001 Angelina Sondakh dan Andi Mallarangeng termasuk menjadi bintang iklan PD: Katakan Tidak pada Korupsi. Bintang iklan lainnya adalah Anas Urbaningrum, yang kini menjadi Ketua Umum DPP PD, dan tentu saja sang patron PD: SBY.
Saya awalnya tidak menyangka Andi Mallarangeng akan dijadikan tersangka, karena bagaimana pun dia Ayam Jantan dari Timur alias orang Makassar. Namun saya salut juga Ayam Jantan dari Timur itu mengundurkan diri dari jabatan Menpora dan Sekretaris Dewan Pembina DPP PD dengan alasan agar tidak menjadi beban sang patron: SBY dan DPP PD.
Namun persoalannya saya tidak membayangkan akan berhenti sampai di situ saja. Nyanyian Muhammad Nazaruddin yang kelahiran Simalungun, Sumatera Utara terus berdendang, lebih kenceng lagi menyebut Anas Urbaningrum. Â Sepertinya Nazar tak rela hanya Andi yang terseret. Meskipun ada kesantunan dalam diri Andi Mallarangeng, tetapi bisa saja Sang Jago akan nlabung, bisa nlabung yang besar, bisa pula yang kecil. Kita tunggu saja episode berikutnya.
Adu Kuat Trio Jawa
Maka babak selanjutnya sangat menarik untuk diikuti. Sebagaimana tulisan saya Adu Kuat, AM, AU, dan SBY, AM yang bukan orang Jawa sudah "mengalah", sementara AU yang orang Jawa belum "mengalah". Bagaimana pun SBY bisa saja disangkutpautkan apalagi dengan menyentil ketakwajaran Pemilu 2009 serta yang paling berbahaya adalah kartu truf kasus Bank Century yang menyebut-nyebut sang mahapatih Boediono terlibat.
Dengan demikian siapakah yang akan menjadi korban atau dikorbankan selanjutnya? AU, Boediono, atau SBY? Meskipun Boediono bukan kader PD, tetapi kemauannya bersanding dengan Mr President tentu telunjuk mengarah pada kesetujuannya dengan PD.
Ada ungkapan yang menjadi kepercayan orang atau masyarakat Jawa, bahwa orang Jawa kalahnya hanya oleh orang Jawa. Apakah seperti ini skenarionya? Ndilalahnya pula, mereka bertiga: AU, Boediono, dan SBY merupakan orang-orang kelahiran Jawa Timur, tempat dimana kerajaan-kerajaan Nusantara berdiri dan berkembang bahkan Majapahit sebagai kerajaaan Nusantara terbesar yang pernah ada berada di Jawa Timur. Bahkan disebut-sebut Yudhoyono yang kelahiran Pacitan, Jawa Timur merupakan trah Majapahit. Entahlah dengan Anas Urbaningrum dan Boediono yang kelahiran Blitar.
Ada beberapa othak-athik-gathuk "simulasi" skenario Adu Kuat Trio Jawa ini:
1) Bila skenarionya adalah Boediono "melawan" sebagaimana Anas "melawan" Yudhoyono, maka jangan-jangan Yudhoyono yang terjungkal. Apalagi kursi Yudhoyono sudah tamat pada 2014. Dalam beberapa hal Yudhoyono tidak memiliki ketegasan. Namun kemungkinan ini sangat kecil. Karena bagaimana pun itu bisa jadi kualat bagi Demokrat.
2) Bisa saja skenarionya adalah Boediono yang dikorbankan, mengingat Boediono memiliki sikap yang kalem, pendiam, dan terkesan mudah menurut. Boediono dalam banyak hal tersebut sangat khas orang Jawa. Namun mengingat ia menjadi salah satu pahlawan pertumbuhan ekonomi Indonesia bersama Sri Mulyani yang moncer ketika negara lain memble, maka dunia internasional, terutama Barat akan mungkin membelanya. Namun pada beberapa kasus pula justru tokoh ini rentan dijadikan tumbal, seiring dengan kerentaan usianya, oleh Barat sebagaimana yang terjadi pada pimpinan-pimpinan negara berkembang lain sebagaimana dituturkan oleh John Perkins dalam Economic Hitman.
3) Bisa saja skenarionya adalah AU yang dikorbankan, mengingat dialah yang termuda, dan naiknya ke kursi Ketua Umum pun sebenarnya sekonyong-konyong mengingat dia bukanlah anak emas SBY, justru AM-lah yang anak emas SBY. Melawan tetua juga tabu dalam keyakinan masyarakat Jawa. Namun entahlah apa yang dalam benak AU yang sudah bersumpah Gantung di Monas. Sumpah AU inilah yang menimbulkan keserbasalahan. Bila AU yang jadi bintang iklan Katakan pada Korupsi! dijadikan tersangka maka koleganya akan membela sekaligus bisa saja justru rela ikut-ikutan dijebloskan bersama-sama sang Ketum. Bila AU tidak dijadikan tersangka, maka PD babak belur apalagi mendekati 2014 tentu bila terus diulur-ulur tanpa kejelasan siapa yang bersalah siapa yang tidak bersalah maka PD kiamatlah sudah.
Baca juga:
Oh Andi, Oh Andi Mallarangeng ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H