Mohon tunggu...
Banyu Wijaya
Banyu Wijaya Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

#nusantaraindonesiatrulyuniversa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wacana SARA dan Pribumi-Non Pribumi Tetap Relevan

22 September 2012   04:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:01 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SARA = Suku, Agama, Ras, dan Antagolongan

Kemenangan Jokowi-Ahok dipercaya banyak pihak sebagai kemenangan pihak-pihak yang meyakini isu atau wacana SARA tidak mempan lagi membelokkan pemilih alias rakyat.

Namun saya justru melihat kemenangan Jokowi-Ahok tetap saja karena gelombang SARA.

Kita mulai dari Suku.

*) Lihat saja mayoritas (60%) penduduk DKI Jakarta adalah orang (suku) Jawa. Jokowi adalah orang (suku) Jawa.

*) Lihat saja mayoritas penguasa bisnis di DKI Jakarta adalah orang  Tionghoa. Ahok atau Basuki adalah orang Tionghoa.

Menurut Indra J. Piliang dalam diskusi "Polemik" Sindo Radio barusan, DKI Jakarta menguasai perkonomian NKRI sebesar 60% dari sekitar Rp.7.000 triliun.

Kemudian yang berikutnya adalah Agama.

*) Lihat saja agama mayoritas penduduk DKI Jakarta adalah agama Islam. Jokowi adalah orang Islam.

*) Mohon maaf saya tidak mengetahui agama mayoritas penguasa bisnis DKI Jakarta itu apa, mungkin saja agama Nasrani. Bila agama Nasrani maka pas, Ahok pun beragama Nasrani.

Kemudian yang berikutnya adalah Ras. Karakteristik fisik seperti warna kulit, struktur rambut, tinggi badan dan juga dari segi geografis inilah manusia mengelompokkan dirinya menjadi berbagai Ras.

Ras (dari bahasa Prancis race, yang sendirinya dari bahasa Latin radix, "akar") adalah suatu sistem klasifikasi yang digunakan untuk mengkategorikan manusia dalam populasi atau kelompok besar dan berbeda melalui ciri fenotipe, asal-usul geografis, tampang jasmani dan kesukuan yang terwarisi. Di awal abad ke-20 istilah ini sering digunakan dalam arti biologis untuk menunjuk populasi manusia yang beraneka ragam dari segi genetik dengan anggota yang memiliki fenotipe (tampang luar) yang sama.Arti "ras" ini masih digunakan dalam antropologiforensik (dalam menganalisa sisa tulang), penelitian biomedis dan kedokteran berdasarkan asal-usul.

Bila melihat karakteristik tersebut Ras juga nyaris sama dengan Suku. Berarti poin Ras sama dengan poin Suku.

Kemudian yang berikutnya adalah Antargolongan. Golongan merupakan sebuah organisasi kelompok. Okelah masing-masing petarung mempunyai golongan sendiri-sendiri. Okelah ambil satu contoh, aktivitas Foke di Partai Demokrat (PD), Nara juga PD juga di Bamus DKI, Jokowi di PDI-P dan Basuki pernah di Golkar. Namun demikian, saya yakin mereka berempat mempunyai aktivitas di kelompok atau golongan yang lain lagi.

Saya meyakini isu-isu SARA tetap relevan sampai kapanpun.

Justru yang mungkin saja kurang relevan adalah persoalan pribumi dan non pribumi. Soalnya, pribumi itu apa defisnisinya? Lihat saja Foke dan Nara itu lahir di Jakarta, tetapi orangtuanya orang Jawa. Okelah kalau begitu dianggap saja Foke dan Nara sebagai pribumi, karena lahir dan besarnya di Jakarta. Sedangkan Jokowi itu lahir dan besar di Solo. Sementara Ahok atau Basuki lahir di Belitung. Dengan demikian Jokowi-Basuki, menurut anggapan umum, sebagai non pribumi. Padahal yang benar-benar pribumi Jakarta adalah Betawi atau Batavia. Namun justru faktanya Betawi yang pribumi kalah mayoritas ketimbang orang Jawa yang non pribumi.

Klasifikasi atau dikotomi pribumi dan non pribumi menjadi relevan bila ada dua atau lebih petarung di suatu daerah misalnya Jakarta yang akhirnya pada putaran II ada head to head antara pribumi (Foke-Nara) dan non pribumi (Jokowi-Basuki). Kebetulan pula masyarakat Jakarta memang sangat heterogen. Ada suku Jawa, ada Sunda, ada Betawi, ada Tionghoa, dan lain-lain. Ada Muslim, ada Nasrani, ada Hindu, Buddha, dan lain-lain. Kantor pusat partai politik sebagai representasi golongan pun berada di Jakarta. Namun kebetulan non pribumi memenangkan the final round ini.

Tentu kalau Foke-Nara yang menang, maka sudah semestinya pribumi memimpin pribumi. Namun faktanya versi perhitungan cepat, Foke-Nara keok.

Akhirnya, fenomena Jokowi-Basuki ini lebih membenarkan fakta bahwa siapa yang penduduk mayoritas, siapa yang berprestasi, dan memberi harapan baru itulah yang dipilih rakyat. Hal itu nyaris idem dengan fenomena RI-1. Fakta, lima dari enam presiden NKRI adalah orang Jawa.

Apakah fenomena Jokowi-Basuki itu akan menjadi kecenderungan politik di masa mendatang, tentu masih banyak faktor yang mempengaruhinya.

Lain halnya bila di suatu daerah yang homogen, maka pemenangnya adalah pribumi yang mayoritas, baik suku, agama, ras, maupun antargolongan.

Salam Indonesia Kita!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun