Mohon tunggu...
Banyu Wijaya
Banyu Wijaya Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

#nusantaraindonesiatrulyuniversa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bhinneka Tunggal Ika: Bukti Ketuhanan yang Maha Esa?

27 Agustus 2012   03:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:17 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13460355251881327722

Kekacauan dan polemik yang tidak sehat sering kali disebabkan oleh kesalahan dalam membaca konteks. Seyogyanya yang dilakukan ketika membaca sebuah tulisan adalah membacanya secara keseluruhan, tidak diambil sepotong-potong. Demikian juga dengan kicauan di media sosial pun harus dibaca secara keseluruhan. Contoh teraktual adalah Denny Indrayana yang berkicau soal advokat (pengacara) koruptor adalah koruptor. Sebagaimana diwartakan oleh Sindo Radio barusan, kicauan Wamenkum HAM itu harus dibaca secara keseluruhan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Persoalan kesalahpahaman dalam membaca juga sangat mungkin menimpa semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrawa. Kalimat BTITHDM itu merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu Kakawin Sutasoma yang digubah oleh Mpu Tantular pada masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Rajasanagara atau Raja Hayam Wuruk sekitar abad ke-14. Pada masa inilah Hayam Wuruk berkuasa didampingi oleh Mahapatih Gadjah Mada dengan Sumpah Palapanya yang melakukan ekspansi hingga kerajaan Majaphit seluas Asia Tenggara sekarang ini. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini: Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Terjemahan: Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Menurut kacamata saya, ada beberapa analogi untuk BTITHDM yang dijadikan sebagai semboyan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. *) Kakawin Sutasoma, terutama yang berasal dari pupuh 139, bait 5 seperti tertulis di atas, harus dijadikan konteks secara keseluruhan. Bukan hanya Bhinneka Tunggal Ika saja. Minimal yang ditulis adalah Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Ada juga yang mengartikan BTITHDM sebagai Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu Jua, Tidak Ada Dharma (Kesetiaan) yang Mendua. Konteks Kakawin Sutasoma itu diciptakan adalah pada masa Kerajaan Majapahit yang penduduknya beragama Hindu Siwa dan Buddha. Kemudian Hayam Wuruk dan Gadjah Mada mempunyai kebijakan mempersatukan kedua agama tersebut dengan nama Siwa-Buddha. Oleh karena tepat sekali Mpu Tantular menulis kakawin tersebut agar penduduk menganut agama 1: Siwa-Buddha sebagai agama kerajaan. Artinya kesetiaan hanya pada 1 agama: Siwa-Buddha, bukan kepada dua agama: Hindu Siwa dan Buddha. *) Kalimat tersebut dapat juga dimaknai sebagai upaya penyatuan kerajaan-kerajaan Nusantara dalam wadah kerajaan besar Majapahit dibawah komando Dwi-Tunggal Hayam Wuruk-Gadjah Mada. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa ada masing-masing kerajaan "taklukan" (Bhinneka) memiliki otonomi sendiri, seperti haknya kabupaten dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai Otonomi Daerah, tetapi mereka sebagai "taklukan" juga harus patuh kepada Majapahit sebagai pusat (Tunggal), seperti halnya kabupaten-kabupaten berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena kerajaan "taklukan" itu harus mempunyai kesetiaan yang tidak mendua, tetapi kesetian yang satu yakni kesetiaan kepada Majapahit. *) Sebagaimana saya meyakini bahwa Gadjah Mada adalah seorang Muslim, terutama pasca peristiwa Perang Bubat. Dalam Kompas disebutkan bahwa wajar di Jawa, Islam sudah berbaur sejak abad ke-10. Adanya penempatan prajurit Majapahit di Kerajaan Vasal (bawahan) yang terdiri dari 40 prajurit elite beragama Islam di Kerajaan Gelgel-Bali, Wanin-Papua, Kayu Jawa-Australia Barat, dan Marege-Tanah Amhem (Darwin) Australia Utara pada abad ke 14 memperkuat bukti bahwa Gajah Mada adalah seorang Muslim. Silakan anda berkunjung ke daerah tersebut, terutama ke Bali Utara sebelum anda memberi komentar tanpa dasar. Bahkan Kerajaan Majapahit diyakini sebagai kerajaan Islam, meskipun ada pula yang membatahnya. Analisis saya Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan Islam ketika Raja Brawijaya V memutuskan untuk beragama Islam setelah diberi wejangan oleh Sunan Kalijaga. Walaupun kemudian Brawijaya V melepaskan kekuasaannya diberikan kepada penerusnya tetapi kemudian terjadi perpecahan sehingga menimbulkan dua kerajaan: Majapahit istana barat yang dipimpin Wikramawardhana dan Majapahit istana timur yang dipimpin Bhre Wirabumi, putra Raden Wijaya dari selir. Kemudian keduanya berperang yang dikenal dengan Perang Paregreg. Mungkin pada masa sebelum dan ketika Perang Paregreg itulah Walisongo mempunyai peranan yang cukup kuat sehingga menempatkan Maulana Malik Ibrahim, Pemimpin Walisongo Angkatan Pertama, sebagai hakim kerajaan, kerajaan yang saya maksud tentu saja Kerajaan Majapahit trah Raden Wijaya. Ditemukan pula simbol dan uang logam bercirikan Islam. (dok. http://ahmadsamantho.wordpress.com/2011/07/11/kerajaan-majapahit-ternyata-kerajaan-islam-sejak-awalnya/) Setelah peristiwa Perang Paregreg itulah Majapahit runtuh hingga dengan dukungan Walisongo muncullah Kasultanan Demak Bintara dengan sultannya Raden Patah, putra Brawijaya V dari istrinya yang merupakan putri Champa (keturunan China). Terbiasanya orang Jawa dengan hal-hal yang satu, tunggal itulah yang menguatkan analisis "begitu mudahnya" orang Jawa berbondong-bondong masuk Islam, yang juga secara implisit sudah mengenal 1 Tuhan 1 Keyakinan, karena memang sudah sejak dahulu orang Jawa beragama Budi dan pada masa Majapahit beragama Siwa-Buddha mengantikan Hindu yang berkasta-kasta. Datangnya Buddha pun menghilangkan kasta-kasta sebagaimana Islam. Nah, kalimat BTITHDM itu sangat mungkin bermakna Ketuhanan Yang Maha Esa, terutama sangat kental warna Islamnya. Dalam Al-Qur'an ada ayat yang berbunyi nyaris mirip dengan BTITHDM, yakni Firman Allah SWT, "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut". (QS An-Nahl : 51) dan "Dan tuhanmu adalah Tuhan yang maha Esa, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, yang maha Pemurah lagi maha Penyayang" (Al Baqarah : 163). Penjelasan lebih lengkap mengenai Tauhid terdapat di dalam buku "Mutiara Faidah Tauhid" karya Syekh Muhammad At-Tamimi, penerbit Pustaka Muslim, Yogyakarta, 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun