15 tahun yang lalu
Bila kalian pernah ke Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, perguruan tinggi pemerintah terbesar di Asia Tenggara, mungkin sesekali kalian pernah memperhatikan, seorang bocah perempuan kumal di salah satu warung bakso di sisi utaranya. Terutama hari menjelang siang hari, saat para mahasiswa membutuhkan pengganjal perut, maka aku ada disana.
Namaku Enik. Umur, entah berapa. Aku tak pernah tahu kapan aku dilahirkan. Tahun, bulan, atau tahunnya. Aku pun tak pernah tahu siapa bapak dan ibuku. Aku hanya tahu bahwa namaku Enik asal Puerto Rico (eh…Purwokerto), karena semua orang memanggilku Enik. Kecuali Kakak, salah satu penjaja bakso, yang dengan sayang memanggilku Aisyah. Entah punya kakak dari mana aku pun tak tahu, hanya saja semua orang memanggilnya Kakak.
“Aisyah sayang, Kamu boleh ngamen sesukamu di sini, asalkan bantu Kakak bersih-bersih ya…Nanti duitnya bisa Kamu tabung untuk sangu pulang kePuerto Rico,“ ujar Kakak yang sibuk memasak air.
“Ih…Kakak, jangan ngece gitu dong. Bukan Puerto Rico, tapi Puraketa, Kak. Alias Purwokerto, hihihiiiiii,“ tawa Enik “Aisyah” sembari mengelap meja berulang-ulang.
Demikianlah Kakakku, seringkali menggoda Aisyah tentang kampung halamannya. Kakakku bertubuh gendhut, pendek, berambut cepak, dan bermata sipit. Pokoknya mirip Bo Bo Ho, salah satu aktor Mandarin kesukaanku. Kakakku punya topi kecil bergambar wajah Bo Bo Ho kecil lagi ketawa, lucu sekali. Setiap hari kerjanya banyak sekali, dari nyiapin warung, masak air, dan melayani pembeli hingga mencuci piring dan gelas.
Entah aku bisa dapet Kakak dari mana. Semua penjaja bakso diam seribu kata ketika aku tanya siapa sesungguhnya Kakakku. Tak ingin memusingkan diri, aku pun kapok tak bertanya perihal asal usul Kakakku. Biarlah Allah yang kasih tahu aku. Demikian ucapan batinku. Tugas harianku hanyalah mengelap meja, dan ngamen tentunya. Meskipun wajah dan dandananku tak karuan, namun semua orang bilang suaraku merdu. Seperti suaranya Mytha, no.1 Mama Mia Show. Begitu kata orang, termasuk Kakakku. Entah, aku pun tak tahu asal usulnya kenapa suaraku begitu memukau.
Tertarik oleh kemerduan suaraku, pada suatu kesempatan seorang anak kampus UGM, Kak Hadi mengajakku ke studio musik. Kebetulan di sana ketemu sama pemilik studio, Kak Gito namanya. Sejak itulah aku seringkali menyambangi studio, kadang sendiri kadang sama Kak Hadi kalau pas dia enggak kuliah.
“Silakan aja kesini, kapan saja Aisyah punya waktu,“ ujar Kak Gito yang menggratiskan studionya buat aku latihan.
Kesibukanku bolak balik ke studio tidak lantas melupakan ngamen di tempat Kakakku. Karena dengan ngamen itulah aku berharap bisa pulang kePuerto Rico. Duh…home sweet home. Maklum sudah hampir sembilan tahun aku tak lihat kampung halaman. Jangan-jangan sudah hilang kampungku. Batinku sore itu dalam perjalanan pulang mendorong gerobak bersama Kakakku ke kontrakan, tak jauh dari stasiun Lempuyangan,Jogjakarta. Selepas cuci muka, entah ada angin apa aku ingin sekali merogoh saku celana pendekku. Padahal biasanya aku menghitung penghasilanku seminggu sekali. Semuanya aku masukkan apa adanya ke kaleng biskuit, tanpa selidik sedikit pun. Ya…kadang dapet lumayan sehari sampai 10 ribu. Tapi kadang hanya dapet seribu, maklum pembeli bakso hanya memberi duit logam 50 rupiah bahkan 25 rupiah, padahal sudah sangat jarang tuh uang mini seperti itu. Tapi ya tetep alhamdulillah ada yang ngasih juga, dari pada tidak sama sekali. Semoga mereka juga dikasih lebih banyak lagi oleh Allah, sehingga bisa ngasih banyak juga ke aku. Begitu pintaku… “ Tengkyu ya Allah, alhamdulillah, baik banget tuh orang. Aku dikasihnya selembar 100 ribu. Kesampaian juga nih pulang kampung, asiiik, horee…!,” lonjakku seakan tanpa dosa menggoyang-goyang daun pintu kamar.
Karuan saja, Kakakku lantas terbangun dari mimpi indahnya. “Ada apa to Ais, kayak dapet mobil undian BCA aja. Itu artinya Kamu harus makin rajin nabung, Sayang,“ nasihat Kakakku.
“Iya Kak,“ jawabku singkat. Aku pun melanjutkan hitunganku. Logam 100 rupiah ada sepuluh, yang 500 rupiah ada satu, ribuan ada tiga lembar, dan …tergelitik juga untuk menumpahkan isi kaleng biskuitku. Coba semua ada berapa, siapa tahu bisa untuk pulang. Batinku.
Ha….kaget bercampur kecewa karena aku tak lihat kaleng “bank”ku. Hanya ada secarik kertas berwarna hijau dengan coretan tak karuan, yang kukenali itu adalah tulisan Kakakku. Memang tulisan tangan Kakakku mirip tulisan dokter. Begini bunyinya: Aisyah sayang, dalam waktu dekat ini, Kamu tidak bisa pulang ke Puerto Rico. Maafkan Kakak ya… Kakak yang pulang duluan ya… Sampai jumpa di Puerto Rico. Dari Kakak.
Sedih, marah, kecewa. Campur aduk tak karuan. Ternyata Kakakku yang begitu baik dan memanggilku sayang sudah mencuri uang-uangku. Aku pun lantas berteriak: “Kakak, dimana Kamu?!” Agak keras teriakanku. Namun yang dipanggil tak kunjung nongol juga. Aku ulangi lagi teriakanku hingga lima kali. Tetap saja Kakakku tak kelihatan batang hidungnya. Selepas peristiwa tragis itu, aku makin sering ke studio.
22 Januari 2008
“Oke, Aisyah. Besok Kamu manggung di Purwokerto, tepatnya di Stadion Soesilo Soedarman, deket Kampus Unsoed,“ kata Kak Gito mengagetkanku yang sedang melamunkan Kakak. “Oke, Kak Gito” jawabku dengan agak gagap.
23 Januari 2008
“Para penonton televisi di rumah dan para hadirin semua, tepuk tangan yang meriah untuk Putri Aisyah, sang diva pop kita,“ gemuruh tepuk tangan membahana stadion begitu MC Indra Bekti dan Nirina Zubir memperkenalkan penyanyi asal Kota Kripik ini. Sementara tak jauh dari stadion, di sebuah rumah nan sederhana dan sepi. Kakak melihat Aisyah tanpa berkedip. Tak ingin Kakak kehilangan momen sedetik pun jua. Dipandanginya penyanyi perempuan itu tanpa berkedip. Matanya mulai berkaca-kaca. Haru bercampur rasa bersalah karena sudah mencuri uang Aisyah. Tak sadar, air mata bening membasahi kedua pipi Kakak. Semakin sering mengelap dengan kedua tangannya, air matanya semakin deras mengalir. Untung saja Kakak sendirian, jadi tak perlu malu ataupun dikatain pemuda cengeng.
"Kak, Kakak, Kamu dimana? Aku Aisyah, Kak. Aku ingin ketemu Kakak". Sebuah suara cepat-cepat menyadarkan dirinya. Tak cukup jelas telinganya mendengar, karena sesenggukannya lebih keras daripada suara yang memanggilnya. “Siapa di luar?” tanya Kakak. “Aisyah nih. Kakak lagi ngapain?“ aku balik nanya.
Aisyah…! Aisyah…! Aisyah…! Ucap Kakak lirih berulang-ulang. Sekelebatan nama itu mengingatkannya pada sosok perempuan kecil yang ngamen di utara Gelanggang UGM. Namun, secepat itu pula ingatannya pada Aisyah hilang kembali. Malah Kakak bertanya lagi: “Siapa di luar? Aku lagi lihat Aisyah lagi nyanyi di Tivi. “ Aduh…maaf, aku pikir enggak ada orang di dalem, jadi aku masuk saja,“ ujarku. Sontak Kakak mengalihkan pandangan kepadaku yang tepat berada di depannya. Cukup lama Kakak mengamati sekujur tubuhku. Aku jadi merasa enggak enak dipandangi seperti itu. Akhirnya mataku dan matanya beradu pandang. Cukup lama. 5 menit sudah berlalu. “Kamu Kakak, kan?“ tanyaku. “Kamukah Aisyah itu?“ Kakak perlu penegasan.