Mohon tunggu...
Banu Zahid
Banu Zahid Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Pikiran adalah kekuatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Manusia Modern, Dua Identitas, Dua Dimensi, Satu Tempat

16 Juni 2020   14:03 Diperbarui: 16 Juni 2020   14:02 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemajuan jaman selalu berkaitan dengan adanya penemuan dalam bidang teknologi. Orang-orang melihatnya sebagai revolusi industri 4.0, Prof. Klaus Schwab adalah pendiri forum ekonomi dunia sekaligus yang mengenalkan istilah tersebut. 

Manusia menjadi makhluk yang dipandang memiliki keterkaitan erat dengan setiap era. Perkembangan jaman selalu menjadi buah karya terbesar dalam siklus kehidupan umat manusia. 

Sebagaimana dalam dekade ini, manusia memiliki dua kehidupan yang mana itu bentuk transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia maya atau masyarakat digital adalah sebuah peradaban khusus yang dapat berkomunikasi secara virtual. 

Orang-orang melakukan interaksi atau jual beli melalui dirinya dalam digital, waktu 24 jam kini bukan menjadi bagian dirinya yang lama (dunia nyata) melainkan terbagi dengan dirinya yang baru (dunia baru). 

Dalam dunia barunya manusia diberikan fasilitas-fasilitas yang dapat memuaskan harinya, seperti bermain games, menonton hiburan atau belajar. Semua itu bagian dari siklus peradaban yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

Dunia baru akan semakin berkembang luas hingga seluruh dataran dunia terkoneksi, tidak adanya ongkos perjalanan, perpindahan tempat ataupun penginapan untuk melihat suatu wilayah dibelahan bumi. 

Cukup mengkopi identitas aslinya dan menkonversikan menjadi sebuah akun dapat memanjakan panca indera sekaligus membuat manusia bermemori seketika. 

Bahkan manusia tidak perlu pergi jauh ke suatu tempat untuk mencari inspirasi, seketika melihat penampakan-penampakan yang menurutnya indah dalam dunia baru, begitulah gambaran yang terlintas dalam pikirannya. 

Adanya hal baru dalam aktivitas manusia memberi keuntungan yang kontinu, baik dalam materil ataupun non-materil. Semua itu tergantung bagaimana kita memandang hal baru tersebut, menjadi hal yang sia-sia jika kita salah memanfaatkan keadaan yang praksis itu.

Sering sekali dunia maya dihebohkan akibat komunikasi yang buruk, menyebabkan permusuhan, ancaman bahkan pembunuhan dalam dunia nyata. Kompleks jika kita mempelajari dunia baru tanpa adanya literasi yang kokoh, dibutuhkan kemampuan bernalar dalam mengelola informasi ataupun dalam berinteraksi di dunia baru agar dinamika baik tetap terjaga. 

Lebih buruknya ketika sebut saja oknum-oknum yang haus akan kekuasaan ikut mencemarkan lingkungan baru. Bermodal kemampuan komunikasinya memamfaatkan psikologi masyarakat digital terjadilah kerusakan lingkungan dalam dunia baru. 

Ironis memang ketamakan manusia modern, bertujuan mulia untuk bertahan hidup akan tetapi acuh terhadap dampak lingkungannya. Polusi virtual itu berdampak pada kehidupan lama manusia, tak sedikit orang hanya berwujud namun jiwanya masih terikat dalam dunia baru. Cukup menakutkan juga kehidupan dalam dunia baru, dunia fana kedua manusia modern.

Dunia baru memang menyenangkan untuk beraktivitas, mudah untuk menjelajah dan begitu praktis untuk digunakan. Tawaran ini menjadi budaya baru manusia dalam memanfaatkan waktunya, mengutip Nicholas Carr dalam buku (Revolusi Industri 4.0) karya Klaus Schwab, "semakin banyak waktu yang kita luangkan untuk tenggelam diperairan digital, semakin dangkal pula kemampuan kognitif kita". 

Lebih lanjutnya Klaus Schwab "faktanya kita semakin menurunkan kemampuan kita untuk mengontrol perhatian kita, Net didesain sebagai suatu sistem interupsi, sebuah mesin yang difungsikan untuk membelah perhatian kita. 

Frekuensi interupsinya terserak-serak, melemahkan daya ingatan dan membuat kita tegang dan cemas". Menjadi refleksi diri didalam mengatur dan mengontrol waktu 24 jam kita, dampak bermain di dunia baru lebih berpotensi kehilangan kecerdasan kita jika salah dan gagal dalam memanfaatkan.

Bukan hanya kecerdasan kita yang hilang, emosional kita turut berkurang, mengkutip lagi dalam bukunya Klaus Schwab "studi pada 2010 yang dilakukan oleh tim riset University Michigan menemukan terjadi penurunan 40% terhadap rasa empati dikalangan mahasiswa kampus (disbanding 20 hingga 30 tahun lalu), penurunan ini muncul setelah tahun 2000. 

Lebih lanjut lagi "menurut ilmuan dari MIT, Sherry Turkle, 44% remaja tidak pernah mencabut headset-nya, bahkan ketika sedang melakukan olahraga dan makan bersama keluarganya". 

Budaya dalam dunia baru tak sedikit berdampak nyata dalam dunia nyatanya, hilangnya kemampuan membaca tubuh, tatapan mata anak terhadap orang tua berkurang dan miskinnya perhatian dalam lingkungan nyata. 

Faktanya dunia baru kita ikut menambah persoalan baru juga, begitu kompleks ternyata konsekuensi kita hidup menjadi manusia modern. Manusia yang memiliki dua identitas, dua dimensi namun berdiam ditempat yang sama yaitu bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun