Mohon tunggu...
Banu Adzkar
Banu Adzkar Mohon Tunggu... Lainnya - -

Masih dan terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Dokumenter "Burari Deaths": Contoh Ekstrem Fenomena Groupthink

24 November 2021   17:23 Diperbarui: 24 November 2021   18:16 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Dokumenter Netflix yang satu ini merupakan salah satu film series terbaik di tahun 2021. Dokumenter tentang kematian tragis satu keluarga di Burari, Delhi, India ini benar-benar berhasil mengganggu mental. Kehorrorannya begitu terasa, mengingat tragedi ini memang sesuatu yang benar-benar terjadi,

Kepolisian mengambil kesimpulan bahwa kematian tragis tersebut disebabkan oleh intruksi Lalit, seorang anak bungsu yang menjadi pengganti peran kepala keluarga setelah ayahnya meninggal. Lalit menjelaskan dan mengintruksikan semua langkahnya dalam diary yang ia susun bersama dengan anggota keluarga yang lain, Priyanka dan Neetu.

Seolah seperti karangan, namun memang benar-benar terjadi. Bagaimana bisa terjadi sebuah keluarga besar yang terdiri dari 3 generasi bersepakat untuk melakukan ritual yang di luar nalar. Bagaimana bisa orang yang berpendidikan tinggi setuju untuk mengikatkan tali di leher mereka dan yakin akan selamat dari ritual tersebut?

Terlepas dari keadaan Lalit yang mengaku dibisiki oleh mendiang ayahnya, hal yang menarik perhatian adalah bagaimana pengambilan keputusan dalam keluarga tersebut. Fenomena tersebut apabila ditinjau dari perspektif komunikasi dikenal dengan istilah groupthink.

 

Groupthink 

Merupakan istilah yang dicetuskan oleh Irving Janis (1971) untuk mendefinisikan suatu cara berpikir orang yang terlibat dalam kelompok yang kohesif, ketika mereka berusaha untuk melakukan pembulatan suara, mengesampingkan motivasi untuk menilai secara realistis tindakan alternatif.

Keluarga Chundawat ( sering dikenal sebagai keluarga Bhatia) merupakan keluarga biasa saja yang bermukim di Burari, New Delhi. Layaknya tradisi sosiokultural di daerah tersebut, rumah yang dihuni keluarga Bhatia terdiri dari 3 generasi, yaitu seorang nenek, dengan 5 orang anak dan menantu, serta 5 orang cucu.

Budaya patriarki yang berlaku membuat peran kepala keluarga dibebankan kepada seorang ayah. Ialah yang memimpin sekaligus menentukan solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi keluarga. Bagi keluarga Bhatia, setelah meninggalnya Bhopal Singh -kepala keluarga- peran kepala keluarga diampu oleh Lalit Bhatia, anak laki-laki bungsunya. Lalit percaya bahwa ia menjadi perantara masuknya roh ayahnya, yang datang untuk memberi instruksi dan petunjuk hidup demi kemajuan keluarga.

Anggota keluarga lantas percaya dengan apa yang dikatakan Lalit, karena setelah mereka mendengarkan instruksi Lalit, secara kebetulan keuangan keluarga berangsur membaik. Yang mereka lupa adalah Lalit pernah mengalami peristiwa traumatik yang tidak hanya mengguncang fisik Lalit, tapi juga mentalnya. Ia menderita psikosis, sebuah kondisi ketika penderitanya mengalami kesulitan untuk membedakan kenyataan dan imajinasi.

Delusi yang dialami Lalit lantas diamini begitu saja oleh anggota keluarganya. Akhirnya mereka menerima begitu saja ketika Lalit mendektekan untuk melakukan ritual "badh tapasya", pemujaan pohon beringin (menggantung diri). Anggota keluarga kehilangan rasionalitas dan begitu saja mengamini ritual "gila" ini, sehingga pada ujungnya mereka tidak bisa menjalani prosesi ritual yang terakhir, yaitu "melepas ikatan secara bersama-sama". 

Ada beberapa gejala groupthink yang nampak dalam kasus ini, antara lain :

  • Ilusi kebal (illusion of invuinerability), terciptanya optimisme yang tidak sepantasnya dan ada perasaan yang sangat kuat bahwa "kita tahu apa yang kita lakukan". Ini merupakan bentuk kepercayaan berlebihan kepada kelompok yang membuat kita 'terlena'. 

  • Bila tidak ada keyakinan yang begitu kuat, tidak mungkin Priyanka (33 tahun) mau untuk melakukan hal ini. Ia baru saja selesai bertunangan dan akan menikah di akhir tahun 2018. Jika tidak yakin akan selamat, mustahil ia akan bersepakat melakukan ritual tersebut.

  • Rasionalitas kolektif (collective rasionalization), kelompok menciptakan usaha kolektif untuk merasionalkan serangkaian tindakan yang diputuskan. Mereka membuat cerita seolah-olah keputusan yang diambil adalah tepat dan benar. Ini merupakan ciri-ciri berpikiran sempit, pembenaran terhadap segala apa yang dilakukan. 

  • Semua anggota semestinya sudah paham bahwa menggantungkan tali di leher pasti akan membawa konsekuensi kematian. Namun mereka meyakini bahwa Bophal Singh akan hadir pada waktu itu untuk menyelamatkan mereka.

  • Tekanan langsung (direct pressure), anggota yang mengungkapkan pendapat yang berlawanan akan mendapatkan tekanan langsung. Tekanan digunakan untuk menyeragamkan anggota. Dalam buku diary yang ditemukan kepolisian, tertulis beberapa kali contoh kasus dimana anggota tidak mengikuti instruksi yang diberikan Lalit. 

  • Mereka tidak patuh terhadap apa yang didektekan kepada mereka, konsekuensinya mereka mendapat tekanan dari Lalit untuk segera memohon maaf dan bertobat setiap malam atas instruksi yang tidak mereka ikuti.

  • Ilusi mufakat (illusion of unanimity), bahwa jika keputusan telah disepakati, anggota yang memilih diam dianggap setuju oleh anggota lainnya. 

  • Bagaimana mungkin Dhruv (15 tahun) dan Shivam (15 tahun) berpandangan bahwa ritual tersebut merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Bagaimana mungkin anak seusianya berpendapat untuk melakukan hal tersebut. Tentunya ia akan memilih diam dan naasnya dimaknai sebagai persetujuan oleh anggota keluarga lainnya.

Kepatuhan dan Internalisasi

Janis (1971) melihat bahwa ada perbedaan antara penerimaan publik dan privat terhadap pengaruh kelompok. Asch (1956) menyelidiki tentang penyesuaian dan menemukan bahwa sebagian besar subjeknya telah menyerah untuk berbeda dari rekan mereka. 

Ini menandakan penerimaan publik namun bukan penerimaan pribadi. Ia memilih patuh terhadap sesuatu meskipun ia yakin dalam hatinya bahwa itu merupakan suatu kesalahan.

Janis melihat bahwa groupthink merupakan perubahan opini yang terinternalisasi, bukan sekadar kepatuhan. Karena pengaruh yang menghasilkan penerimaan publik tanpa penerimaan pribadi, tidak akan menjawab ketidakpastian anggota kelompok tersebut. Apabila anggota kelompok tidak mampu menemukan solusi atas ketidakpastiannya, maka ia otomatis akan memberontak dan tidak sepakat.

Artinya dalam kasus Burari ini, seluruh anggota keluarga telah menerima praktik ritual tersebut sebagai penerimaan pribadi. Apa yang diinstruksikan Lalit telah terinternalisasi ke dalam benak mereka semua, sehingga tidak ada yang memberontak terhadap keputusan kelompok itu.

Inilah muara akhir bahaya dari groupthink, dimana seorang individu bukan tidak bisa lagi melakukan kritik terhadap sebuah gagasan yang disukai mayoritas, namun menganggap bahwa gagasan tersebut merupakan gagasan yang sempurna tanpa berusaha melakukan pemeriksaan kritis terhadapnya.

Namun, bagaimanapun juga apa yang tertulis merupakan subjektifitas penulis semata, karena penulis tidak bisa melakukan validasi data kepada yang bersangkutan, hehehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun