Mohon tunggu...
Mufid Ansori
Mufid Ansori Mohon Tunggu... Auditor - pekerja swasta bidang tata kelola organisasi

Mufid Ansori, Pengurus Besar Mathlaul Anwar bidang Ekonomi, Mantan Presiden BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta, dan Senior Konsultan Business,Corporate Governance & Risk Management, Pemerhati Sepak Bola, Sosial dan Politik, Pecinta Sejarah Kesultanan Banten

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Perjuangan Ki Abdurahman dan Kereta Mogok

22 Agustus 2016   16:11 Diperbarui: 22 Agustus 2016   16:51 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mathlaulanwar.or.id

Atas permintaan masyarakat yang dipelopori oleh H. Soleman, sekitar tahun 1925 memboyong salah satu istrinya (Nyi Idjot Siti Chodijah) beserta anak-anaknya “hijrah” dari Menes untuk bermukim di satu desa di kaki Gunung Pulosari, yaitu desa Majau, desa yang berjarak sekitar 11 kilometer ke arah tenggara, sekitar tiga kilometer dari jalan raya masuk desa. Mungkin bisa dibayangkan kondisi saat itu jalan kecil sisi kiri kanan masih hutan, masih banyak hewan seperti babi, monyet, lutung, kancil, dan lainnya. Bahkan, katanya, saat itu masih ada harimau. Jalannya tanah tak berbatu apalagi aspal, licin dan becek di musim hujan.

Kondisi seperti itu bukan menjadi masalah, karena beliau pernah mukim di tanah suci yang iklim dan cuacanya lebih ekstrem, dan beliau saat itu sudah memiliki “sado” alias dokar sebagai kendaraan alat transportasi untuk mondar-mandir Menes – Majau. Menurut cucu-cucunya, sebelum memiliki sado beliau selalu di bonceng sapedah oleh Pak Su’eb. Bahkan sebelum itu ia biasa naik kereta api bila bepergian dari Menes ke Cikaliung dan Majau. Karena seringnya berkereta api saban Minggu, kepala stasiun hafal jadwal perjalanan beliau.

Pernah ada yang cerita pada penulis, bahwa kereta api tersebut sampai menunggu apabila beliau terlambat datang, terutama di Sodong Pasar Sabut. Ari perkiraan saya mah, kan di Stasiun Pasar Sabut itu tempatnya kereta api untuk mengisi tangki air yang sudah mulai tekor, ya pasti agak lama berhenti dari biasanya berhenti di stasiun lain. Tapi ada cerita menurut versi lain. Dalam saat tertentu beliau kadang harus jalan kaki dari Majau karena tak dijemput oleh Pak Su’eb yang sedang berhalangan. Memerlukan waktu sekitar 1 jam untuk menempuh jarak Majau – Pasar Sabut. Kadang beliau menyempatkan untuk sholat dulu di Mesjid Sodong yang didirikan oleh murid beliau (kini bernama Masjid Al Mubarokah), sedangkan tujuannya mau ke Menes.

Pernah terjadi peristiwa yang agak mengherankan, masih menurut versi ini (H. Moh Ijen), beliau datang ke stasiun terlambat dan kereta api sudah siap berangkat, kepala stasiun memberi aba-aba agar kereta api segera berangkat, tapi kereta api tak mau jalan alias mogok dan masinis turun memeriksa bagian mana yang macet. Namun, setelah beliau datang dan naik kereta api, kendaraan besi panjang itu pun bergerak seolah tak terjadi apa-apa. Wallahua’lam.

Di desa ini beliau mendapat hibah beberapa bidang tanah dari sesepuh (H. Soleman) untuk kelancaran kehidupan keluarga dan aktivitas da’wahnya. Langkah pertama yang beliau kerjakan adalah merehabilitasi mesjid untuk menambah kapasitas daya tampung terutama untuk Sholat Jum’at. Menurut informasi dari para tetua kampung, sebelumnya hanya sedikit orang yang Sholat Jum’at, tapi setelah kedatangan beliau terus bertambah. Baru sekitar tahun 1935 mendirikan Madrasah Awaliyah/Ibtidaiyah, dan ini merupakan madrasah keempat setelah Menes, Kananga, dan Cikaliung yang berada di sekitar Kawedanan Menes.

Singkat cerita, madrasah itu mendapat sambutan yang positif dari masyarakat sekitar. Mereka bergotong-royong memberikan dukungan moril dan materiil serta tenaga, mengumpulkan kayu, batu, bambu, hateup (atap) dan secukupnya. Antusiasme warga untuk menimba ilmu cukup besar karena saat itu belum ada sekolah/madrasah lain di desa itu. Adapun kegiatan belajar mengajar dengan rincian klasikal yaitu kelas A, kelas B, kelas I, kelas II, dan kelas III. Untuk kelas IV, kelas V, kelas VI, Kelas VII ada di Cikaliung dan Menes. saat itu belum ada pemisahan degree antara Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Jadi sesungguhnya Mathla’ul Anwar sejak berdirinya sudah mempraktikkan wajib belajar 9 tahun.

Dari istri Nyi Idjot Chodijah bin Samin beliau dikaruniai anak 4 orang, yang pertama H. Cholid, kedua H.M. Muslim, ketiga Hj. Enong Muslimah, keempat H.M. Nahid. Sedangkan dari istri Nyi Siti Aminah (Minot), KH Abdurrahman mempunyai anak antara lain, pertama Emed, kedua Abdulhamid, ketiga Abeh Habri, keempat Enong, kelima Maryam, keenam Eno, ketujuh Adung Abdulrohim, kedelapan Bai Hasanah.

Dari istri Nyi Siti Johanah (Langensari) lahir tiga orang putri, Pertama Johariah, kedua Mundiyah, ketiga Zahriyah. Di kemudian hari beliau menikahkan putri keduanya dengan keluarga Kyai Caringin kini cucu cicitnya berdomisili di Cigandeng. Adapun pernikahan dengan Nyi Tatu binti K.H. Moh Soleh Kananga tak dikaruniai keturunan.

Dalam mendidik anak-anaknya beliau sangat visioner dan sangat tegas, setidaknya ada tiga prinsip yang beliau sangat “keukeuh” penerapannya, pertama, tidak diperkenankan sekolah di sekolah pemerintah kolonial, saat itu di sekitar menes juga sudah ada sekolah rakyat (SR). Kedua, dalam menulis selalu menggunakan huruf arab. Ketiga, dalam berpakaian harus pakai sarung tidak boleh pakai celana panjang, sepatu dan jas apalagi dasi, karena itu identik (tasyabbuh) dengan marsose zeg.

Satu hal yang penting lagi dari pendirian beliau tentang pernikahan, bahwa pernikahan yang dilakukan yang dilakukan oleh Onder (Petugas pemerintah) adalah tidak sah, harus dinikahkan lagi oleh kyai atau ustadz, dan ini mendapat dukungan luas di masyarakat Menes

Dalam Pergerakan Kemerdekaan, beliau tidak tinggal diam. Selain memberikan dorongan dan semangat kepada para pemuda untuk bangkit melawan penjajah. Ini dibuktikan oleh putranya Abeh Habri yang gugur di daerah Menungtung ketika terjadi eksodus dari Menes ke daerah itu. Pada masa penjajahan Jepang beliau memerintahkan untuk tidak taat kepada pemerintah pendudukan Jepang, karena saat itu Jepang alias nipong (Nippon) memerintahkan kepada seluruh penduduk nusantara agar setiap pagi untuk membungkuk/sujud ke arah timur menghormat kaisar Honda, Suzuki, Yamaha, dan Kawasaki itu.

Dalam bidang perekonomian beliau pun sangat cekatan. Tanah wakaf hibah ditanami kelapa dan karet, karena saat itu kedua komoditi itu sangat menjadi andalan ekspor kita. Bahkan menganjurkan penduduk untuk secara massal menanam karet, untuk itu beliau mendapatkan penghargaan (semacam sertifikasi/lisensi) dari otoritas Onderneming Perkebunan milik pemerintah itu. Tidak lupa untuk menampung hasil panen masyarakat beliau pernah mendirikan sebuah pasar di Majau. Namun sepeninggal beliau pasar tersebut menjadi sepi.

Beliau dilahirkan sekitar tahun 1868 dan wafat diusia yang ke 74 tahun, tahun 1943,  berarti beliau tidak mengalami masa kemerdekaan, masih dalam penjajahan Jepang dan karena fatwanya menentang penjajah sehingga beliau tidak banyak keluar dan penyakit sudah mulai menyerang akhirnya beliau meninggal, dipanggil yang Maha Kuasa dan dikuburkan di Cikaliung suatu tempat yang kini tumbuh lembaga Pendidikan/Universitas Mathla’ul Anwar tempat persemaian generasi penerus yang akan meneruskan cita-cita beliau.

Allahummaghfirlahu wa’afihi wa’fu’anhu waakrim nuzulahu wawassi’ mudkholahu. Amin.

Cikaliung, Rabiul Awwal 1435 H, Januari 2014.

Kyai Ghomrowi (Keluarga Syech Abdurahman)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun