Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang berpijak di atas kaidah syariah (sharia principles). Sehingga sebagai lembaga yang mengadopsi nilai-nilai Islam, maka bank syariah harus selalu menjunjung tinggi image spiritual kepada masyarakat. Image spiritual ini diperlukan agar diferensiasi antara bank syariah dengan bank konvensional dapat terlihat.
Yang lebih penting adalah mempertahankan image sebagai bank yang mengaplikasikan prinsip syariah. Jika masyarakat melihat bahwa bank syariah tidak sesuai syariah maka masyarakat akan berargumen bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Dan akibatnya akan sangat fatal. Akan meruntuhkan reputasi bank syariah.
Di awal tahun ini, salah satu Unit Usaha Syariah (UUS) di Indonesia mempunyai “kasus” berkaitan dengan transaksi derivatif. Dimana nasabah UUS itu menggunakan rekening UUS untuk melakukan transaksi derivatif pada induk konvensionalnya. Hal yang sekecil itu langsung menjadi berita di mana-mana. Ujung-ujungnya semua mata tertuju terhadap kesyariahan bank syariah.
Kejadian diatas memberi pelajaran bahwa bank syariah menanggung risiko reputasi yang cukup berat. Karena bank syariah merupakan lembaga yang mengimplementasikan ajaran Tuhan sehingga masyarakat memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap kesalahan yang dilakukan bank syariah. Meskipun noda kesalahan itu hanya setitik saja. Oleh karena itu bank syariah tidak hanya harus menjaga image profesionalitasnya sebagai lembaga keuangan tetapi juga image kesyariahannya. Karena persepsi negatif tidak hanya akan mempengaruhi citra produk dan jasa (brand image) bank syariah, namun juga citra perusahaan (corporate image) dan semuanya akan berdampak pada reputasi bank syariah.
Mengenal Risiko Reputasi
Reputasi suatu bank (banking reputation) adalah kumpulan citra bank di benak khalayak atau stakeholders. Reputasi mencerminkan persepsi publik terkait mengenai tindakan-tindakan suatu bank. Risiko reputasi disebabkan adanya publikasi negatif yang berhubungan dengan kegiatan bank atau persepsi negatif terhadap suatu bank.
Risiko reputasi suatu bank syariah biasanya terjadi ketika nasabah merasa kecewa kepada bank syariah lalu melakukan protes, baik secara langsung (kepada bank syariah tersebut) maupun tidak langsung (lewat word-to-mouth dan media massa). Kejadian yang dapat mendatangkan risiko reputasi misalnya pelayanan bank syariah yang tidak becus, marjin yang mencekik leher, pegawai yang berbusana seksi, pegawai yang tidak mengetahui akad-akad syariah dan sebagainya. Yang paling parah jika risiko reputasi itu muncul karena pelanggaran aspek syariah.
Dalam jangka pendek, risiko reputasi memang tidak menimbulkan dampak langsung secara finansial. Tapi dalam jangka panjang akan sangat terasa. Pelan-pelan menghanyutkan. Derajat yang sangat dihindari adalah ketika risiko reputasi mengikis tingkat kepercayaan nasabah. Karena pada umumnya, bank termasuk industri yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap kepercayaan publik atau masyarakat umum.
Saking pentingnya, risiko reputasi juga dimasukkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.5 tahun 2003 tentang Penerapan manajemen risiko bagi bank umum. Bahkan sebuah penelitian menyatakan 84% responden setingkat presiden direktur industri keuangan dalam lima tahun terakhir fokus pada pengelolaan risiko reputasinya.
Seperti yang sudah digambarkan di awal, Bank syariah memiliki risiko reputasi yang lebih berat bobotnya dibandingkan dengan bank konvensional. Karena masyarakat tidak hanya melihat pada aspek operasional tetapi juga spiritual. Apalagi umur industri perbankan syariah masih muda, belum sampai dua dasawarsa. Ditambah lagi pangsa pasarnya yang masih buncit di arena perbankan nasional. Bahkan dengan size industri yang masih kecil, reputasi negatif bisa berdampak sistematik kepada industri keuangan syariah. Oleh karena itu bank syariah harus memiliki manajemen reputasi yang baik.
Mengelola Risiko Reputasi