Mohon tunggu...
Doni Kandiawan
Doni Kandiawan Mohon Tunggu... -

reader and just having fun in twitter @bankdoni

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ini (Cuma) Kisah Tiga Dara, Bukan Ironi

6 September 2016   15:27 Diperbarui: 6 September 2016   15:42 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya masuk ke lobby BES Cinema bersama istri, imaji saya masih menerawang jauh ke masa saya kecil dulu mencoba mengenang pun mengingat-ingat tentang film hitam putih yang pernah saya tonton, termasuk Tiga Dara-kah, .. Meski apa yang tertulis pun terpampang di etalase box berjudul Ini Kisah Tiga Dara dengan settingan foto berwarna dan tiga kaki semampai tinggi nan seksi.. saat itu pikiran saya masih mempersepsikan imaji film Tiga Dara klasik yang hitam putih. Saya tidak tahu jika film Tiga Dara klasik, 1956 Usmar Ismail dalam terawangan imaji tersebut sudah di remake oleh Nia Dinata menjadi film Ini Kisah Tiga Dara hingga film tersebut dimulai

Meski sedikit ‘nganu” di awal .. mulai tumbuh rasa suka jugak takjub yang tak terperi pun tidak terbayangkan sebelumnya saat saya mulai menikmati konteks cerita Kisah Tiga Dara yang diusung pun dilatari berbagai keindahan tanah Maumere, NTT yang berbeda dengan film klasiknya. Secara keseluruhan saya sangat terhibur pun dapat menangkap makna dan pesan apa dari Kisah Tiga Dara ini, nilai-nilai “keperempuanan” yang menjadi spirit sikap, pilihan pun jati diri perempuan masa 60 tahun silam. Mungkin jugak masa kekinian..

Setidaknya ada sosok perempuan “Tiga Dara” yang dipersonifikasikan oleh Gendis, Ella pun Bebe sukses mencitrakan 3 (tiga) sosok perempuan lajang yang sangat menikmati hidup (dalam arti spirit of life “lepas/enjoy” yg positif) dan tidak mau terbebani pun terbelenggu dengan berbagai stigma sosial berbasis agama pun persepsi masyarakat menyoal keperempuanan, yang masih seksis hingga hari ini. Seolah spirit pun jiwa Tiga Dara, 60 tahun silam telah bereinkarnasi menjadi Gendis, Ella pun Bebe dalam memaknai dan bersikap menyoal “jodoh” pun “cinta” yang menjadi story line film Kisah Tiga Dara ini.

Backround dan setting lokasi yang menjadi latar kayaknya jugak sengaja dipilih agar lebih “membumi” pun “menyatu” dengan budaya pun lingkungan masyarakat setempat, tanpa harus menarik batas demarkasi tegas dengan jati diri Tiga Dara yang menjadi spirit hidup yang diusung oleh film ini. Sehingga secara keseluruhan mungkin ingin memberi kesan bahwa lifestyle Kisah Dara ini bukan hanya pesona Tiga Dara namun juga merupakan pesona jati diri pun identitas perempuan Indonesia yang lahir, tumbuh dan besar sebagai bagian pun cerminan nilai-nilai budaya masyarakat setempat.

Terkait kekhawatiran konservativisme sebagaimana tulisan Mba Lynda Ibrahim dalam tulisan ini zaman maupun mensen saya dengan belio, saya tidak akan terlalu jauh pun dalam membahas soal itu… Mungkin perlu tulisan khusus, tanpa harus mengkait-kaitnya dengan maraknya berbagai film menyoal islamisasi maupun sekulerisme.. hehe

Menurut saya…

Wacana pun dunia sekuler kekinian sebetulnya bukanlah sesuatu hal baru. Ide-ide sekulerisme dan sekulerisasi pun modernisasi atau werternisasi sudah menjadi wacana debatable maupun fenomena sosial kontemporer. Selalu ada tarik menarik menyoal wacana tersebut. Perbedaannya mungkin lebih pada tataran pragmatis pola gerakan dan perjuangan berbagai pressure group pun interest goup yang tampil mengusung dan mewacanakan ide-ide tersebut. Capaian demokrasi hari ini menyoal kebebasan berserikat, berkumpul pun berpendapat adalah bukti bagaimana berbagai komunitas keagamaan dengan segala tradisi religiusnya tumbuh subur pun eksis sejak reformasi 1998.

Karena itulah saya tidak merasa, apalagi menuduh Kisah Tiga Dara ini sebagai etalase perlawanan terhadap berbagai fenomena pun gerakan sosial yang cenderung mewacanakan konservatisme maupun gagasan post sekulerism atau pun post Islamism sejak reformasi 1998 hingga sekarang. Meski memang diniatkan Kisah Tiga Dara demikian pun, film ini relatif sukses membangun imaji lifestyle perempuan kekinian. Karena bukan bermaksud mereduksi sosok perempuan Indonesia pun pesonanya, saya justru memaknai bahwa Kisah Tiga Dara ini secara nature pun universal adalah tiga karakteristik jati diri pun identitas sejati perempuan Indonesia. 

Sosok perempuan Tiga Dara ini tentunya adalah keniscayaan sejarah masa lampau, maupun spirit hidup yang selalu “ada pun tiada” pada kaum perempuan. Pertanyaannya mungkin kepada kita sebagai lelaki Indonesia kepada kaum perempuan, masihkah pesona Tiga Dara itu ada.. tanpa harus terkesan naif pun hipokrit?

Terakhir, atas kritik Mba Lynda di akhir tulisannya.. saya justru sangat terhibur dengan dialog gombal begituan.. dan soal kenapa Bebe sebaiknya berusia diatas 20 tahun,.. I know what it means!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun