Mohon tunggu...
Doni Kandiawan
Doni Kandiawan Mohon Tunggu... -

reader and just having fun in twitter @bankdoni

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Serentak : Membangun Demokrasi dalam Budaya Politik Daerah

11 Agustus 2015   13:50 Diperbarui: 11 Agustus 2015   13:50 2155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Almond, budaya politik merupakan suatu sikap orientasi yang khas masyarakat (daerah) terhadap system politik dan struktur politik yang sedang berlangsung. Dengan pendekatan kultural dalam mencermati fenomena politik daerah dewasa ini dapat di ketahui kecenderungan arah dan proses politik yang sedang berlangsung. Sehingga ketika melihat kondisi politik kekinian sekarang maka dapat menjadi catatan penting dalam perjalanan proses politik yang lebih mengarah pada sebuah sikap dan orientasi masyarakat dalam membangun demokrasi sebagai budaya politik daerah.

Namun budaya politik seperti apakah yang mampu membangun demokrasi di berbagai daerah? Dan apakah masyarakat di daerah jugak tanggap terhadap proses politik yang sedang berlangsung, misalnya pilkada serentak yang akan berlangsung 9 Desember 2015 yang akan datang. Sehingga representasi demokrasi dalam pilkada serentak merupakan representasi sikap dan orientasi politik masyarakat terhadap kepentingan mereka.

Budaya Politik Daerah

Budaya politik daerah dalam tataran nilai demokrasi pada prinsipnya merupakan sebuah sikap, pandangan dan orientasi moral masyarakat yang mencerminkan hak-hak atas kebebasan mengeluarkan pikiran secara lisan, tertulis, berkumpul dan berserikat. Dan secara formal hak tersebut pun terkandung dalam konstitusi kita, namun secara materiil sebenarnya konstitusi kita tidak secara tegas menyatakan bentuk-bentuk manifestasi hak-hak demokratis tersebut. Melainkan pengaturan selanjutnya ditetapkan dengan undang-undang.

Sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa euphoria reformasi sekarang seakan-akan ada kesadaran umum atau kesepakatan luas yang melintas dalam berbagai sikap orientasi politik, bahwa pertama, hak-hak demokratis sudah saatnya dimanifestasikan dalam bentuk yang sebebas-bebasnya. Kedua, salah satu bentuk manifestasi demokratis yang paling sederhana tersebut dan mudah adalah prosesi pemilihan langsung oleh rakyat dalam pemilu, pilpres hingga pilkada. Melihat kondisi sekarang, sepertinya demokrasi memang masih dipahami masyarakat sebatas pemilu, pilpres dan pilkada.

Trend ini menjadi polarisasi politik yang cukup mencengangkan sekaligus mengkhawatirkan khususnya pada pilpres tahun 2014 yang lalu. Sikap dan orientasi politik masyarakat terpolarisasi menjadi dua kutub yang saling berhadap-hadapan sebagaimana struktur politik yang terbangun saat itu. Koalisi Merah Putih dengan capres Prabowo Subianto dan Jokowi dari Koalisi Indonesia Hebat. Mencermati fenomena politik nasional tersebut dapat menjadi tolak ukur bagaimana trend budaya politik nasional yang kemudian berimbang ke berbagai daerah.

Pada dasarnya hal tersebut menjelaskan bahwa sikap dan orientasi politik masyarakat masih tersandera dalam simbolisme politik sectarian. Masyarakat masih mudah dipengaruhi dan ikut dalam pragmatisme politik. Masyarakat begitu mudah tersulut dan terperosok jatuh dalam oleh agregat politik sectarian yang pragmatis.

Berkaca dari pilpres tersebut maka muara demokratisasi di Indonesia tidak selayaknya terpolarisasi dalam representasi figure capres yang diusung, namun seharusnya lebih substansial kepada komitmen dan program-program kerja pemerintahan 5 tahun kedepan.

Sebagaimana pilkada serentak yang akan dilakukan pada 9 Desember 2015 mendatang, setidaknya ada 7 daerah yang hanya memiliki calon tunggal kepala daerah. dan ada 81 daerah yang memiliki 2 pasangan calon kepala daerah. Artinya di daerah-daerah tersebut terjadi pula representasi demokrasi politik sebagaimana pilpres tahun 2014. Parpol yang ada seakan-akan jugak merasa tidak punya daya dan komitmen untuk membangun budaya politik yang lebih representative demokratis bagi masyarakat di daerah tersebut dengan “berani” menawarkan calon-calon pemimpin alternative lebih dari dua figure untuk dipilih oleh masyarakat di daerahnya. Bahkan ada parpol merasa sudah kalah dulu sebelum bertarung di pilkada ( ngapain ngajuin calon kalo untuk kalah juga). Lah emangnya bikin parpol itu untuk apa?

Dalam pemilihan langsung seperti pemilu, pilpres dan pilkada sejatinya merupakan pesta demokrasi yang mengutamakan prinsip-prinsip pemilihan yang langsung, umum, bebas dan rahasia (termasuk jujur dan adil). Dengan prinsip-prinsip demikianlah maka pemilihan langsung yang akan menemukan ruang dan waktu yang sebebas-bebasnya bagi masyarakat untuk memilih dan dipilih. Karena ketika masyarakat terlalu jauh ikut terlibat dan terpengaruh dengan aksi dukung mendukung calon pemimpin yang diusung parpol, maka sesungguhnya sikap dan orientasi politik masyarakat terjebak dan tersandera dalam representasi dan pragmatisme kepentingan politik sectarian maupun kepentingan parpol itu sendiri.

Budaya politik yang terjadi dan dibangun pun lebih mencerminkan reaksi-reaksi politik emosional ketimbang budaya politik rasional masyarakat. Dan ketika kita melihat maraknya aksi dukung-mendukung calon pemimpin atau figure oriented dimaksud justru membunuh demokrasi yang akan berlangsung, sebagaimana 7 daerah yang hanya memiliki calon tunggal diatas. Tidak ada greget politik apapun terhadap proses politik yang sedang berlangsung, yang ada justru KPU menjadi galau ketika “terpaksa” harus memperpanjang masa pendaftaran sesuai rekomendasi bawaslu tanpa ada aturan yang mendasari permasalahan calon tunggal yang mendaftar pada pilkada dimaksud. Hingga persoalan menggelinding apakah harus menunda pilkada terhadap 7 daerah tersebut hingga tahun 2017 atau mengadu calon tunggal tersebut dengan calon KD imaginer, kalau calon yang sudah terdaftar masih tidak punya lawan. Karena ke22nya inkonstitusional sebelum ada perppu yang jatuh dari langit.

Salah satu sebabnya barangkali karena ketidak mampuan mengambil materi diskursus yang substansial dari proses politik yang sedang berlangsung dan membuktikan representasi demokrasi dari kepentingan politik yang mereka wakili, sehingga terkesan demokrasi yang ada identik dengan aksi massa / dukung mendukung calon pemimpin semata yang tidak mempunyai bobot diskursus yang signifikan dalam mempengaruhi system politik yang ada. Demokrasi menjadi komoditas politik dalam memenuhi ambisi dan pragmatisme kepentingan politik sectarian / primordial semata.

Demokrasi Rakyat Bukan Demokrasi Parpol

Representasi demokrasi merupakan hal yang mendasar dalam menentukan sikap dan orientasi politik masyarakat yang diwakili sebagai umpan balik ke diskursus politik yang selalu memerlukan orientasi dari prinsip-prinsip demokrasi serta menentukan bargaining position antara tuntutan dan keputusan politik yang akan diambil. Disinilah sebenarnya kita harus menyadari bahwa tindakan apapun kearah demokratisasi yang mau diambil, apalagi sebagai sebuah sikap orientasi masyarakat, tindakan itu hanya dapat diambil dan hanya akan berhasil apabila masyarakat mengembangkan kemampuan-kemampuan demokratisnya.

Dua hal yang nampak relevan disini, pertama, rakyat perlu dididik agar mampu berdemokrasi, agar para partisipan belajar bertanggungjawab dan bertoleransi terhadap pendapat-pendapat yang berbeda-beda dan belajar menjadi mampu untuk beroperasi dan menjunjung tinggi fairness; menang atau kalah, kita main terus, sesuai dengan aturan main demokrasi yang berlaku.

Perlunya dibangun budaya komunikasi demokratis dan budaya politik daerah yang sepenuhnya berlaku prinsip learning by doing yang mengutamakan loyalitas dan wawasan demokratis pada bangsa dan Negara, bukan pada partai, apalagi pada keluarga atau kampong sendiri, maupun figure oriented calon-calon pemimpinnya sehingga para pemain di panggung politik bersedia mengikuti aturan-aturan demokratis.

Kedua, menghilangkan kehidupan politik primordialistik dengan memegang teguh consensus dasar demokrasi. Hal ini akan sangat menentukan arah dan orientasi politik, dan dapat dilihat apakah kaum minoritas dan marginal merasa cukup aman dan diakui identitas dan keberadaannya. Karena hanya dengan rasa amanlah mereka dapat membuka diri terhadap mekanisme apa pun dari prinsip mayoritas.

Suasana demokratis dan partisipasi politik masyarakat hanya akan tumbuh dari kesadaran prinsip-prinsip budaya politik untuk tanggap akan proses politik apapun yang sedang berlangsung di sekitarnya. Masyarakat akan menentukan sikap dan orientasi politiknya ketika proses politik yang terjadi mampu menawarkan nilai-nilai perubahan ke arah dan tujuan yang lebih baik termasuk visi dan misi yang ditawarkan calon-calon pemimpin yang akan dipilih dalam pilkada serentak di berbagai daerah di Indonesia yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun