Kita tahu ambisi terbesar Adolf Hitler dan kendaraan politiknya, Nazi, adalah membangun kerajaan yang mampu bertahan selama seribu tahun: Tausendjhriges Reich (Thousand-Year Reich).
Untuk mencapainya, menurut catatan sejarah, segala cara ditempuh, termasuk mengorbankan sisi kemanusiaan. Jerman era 1933-1945, di bawah kendali Hitler, tanpa ampun menjajah negeri-negeri Eropa.Â
Penghuninya, yang menolak takluk, dibantai. Perempuannya banyak yang diperkosa. Anak-anak dilatih dan diajak tempur, jadi kekuatan paramiliter, semata untuk menopang sumber daya militer Jerman Nazi.Â
Sekilas cara itu tampak berhasil. Pada tiga tahun pertama perang dunia kedua, Jerman Nazi menduduki separuh Eropa. Hingga akhirnya, upayanya untuk terus memperluas koloni, kena adang pasukan militer Sekutu.Â
Invansi Sekutu ke Normandia pada 6 Juni 1944 jadi tonggak kejatuhan Jerman Nazi. Dengan kode operasi Overlord yang tersemat di pundaknya, para tentara Sekutu itu siap tempur dengan satu tujuan: melumpuhkan sang maharaja (overlord) Hitler.Â
Namun di produk sinematik Overlord arahan Julius Avery ini, bukan semangat histori mengenai pertempuran itu yang disorot, melainkan cemoohnya mengenai "kerajaan seribu tahun" Nazi Hitler.Â
Dari kacamatanya, kita diajak menjadi saksi malam sebelum pendaratan tentara sekutu di Pantai Normandia, yang jadi pintu masuk ke tanah jajahan Jerman Nazi.Â
Dengan membawa satu misi penting, sejumlah parasutis siap diterjunkan di wilayah musuh.Â
Para penerjun payung itu membawa misi penghancuran menara pengacau radio yang letaknya berada di sebuah gereja tua. Kehancuran menara itu akan mempermudah masuknya pesawat tempur Sekutu ke koloni Jerman Nazi.Â
Tetapi bakal "kerajaan seribu tahun" Jerman Nazi bukan tempat yang mudah ditembus, termasuk oleh sekawanan pesawat tempur Sekutu.Â
Dan kita pun kemudian menyaksikan "pembantaian" terhadap pesawat tempur Sekutu dengan tayangan sinematografi yang apik: sungguh mencekam.Â