Mohon tunggu...
Asep Wijaya
Asep Wijaya Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengajar bahasa

Penikmat buku, film, dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"The Commuter", Upaya Menyusun Logika untuk Bencana di Tengah Rutinitas

31 Januari 2018   12:48 Diperbarui: 31 Januari 2018   20:14 2375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
couponersunited.com

Tidak ada yang menarik bagi mereka yang menjalani hidup secara rutin. Melakukan aktivitas yang terasa sama hampir setiap hari tentu memuakkan. Begitu juga dengan Michael MacCauley (Liam Neeson) yang digambarkan terbangun, secara berulang-ulang, saat mendengar "pekikan" alarm jam, untuk kemudian mendengarkan berita di radio, sarapan, bercengkrama dengan anaknya lalu berangkat kerja bersama dengan istrinya, Karen MacCauley (Elizabeth McGovern).

Kerutinan yang juga terjadi di setiap perjalanannya menumpang kereta hingga turun di stasiun terdekat dengan kantor tempatnya bekerja. Sang sutradara, Jaume Collet-Serra, berhasil menayangkan gambaran kerutinan itu dengan cara yang efisien tanpa banyak basa-basi. Pada fragmen awal ini, The Commuter sukses menyajikan gambaran aktivitas seorang penglaju bernama Michael secara apik.

Dari sini, sang sutradara, rupanya, telah menyiapkan logika cerita yang (semoga) apik. Cerita yang akan mengantarkan Michael pada situasi dilematis. Bos di kantor tempatnya mengabdi selama 10 tahun, secara mendadak, memecatnya. Di kepalanya, kini, hanya berisi lilitan pemikiran tentang cara memenuhi kebutuhan harian rumah tangga dan membayar uang pangkal masuk kuliah untuk anaknya.

Mencari teman "curhat" tentu jadi salah satu pilihan pada situasi sulit itu. Ia bertemu dengan rekannya waktu bekerja di kepolisian, membincangkan status jobless yang kini melekat pada diri Michael. Meski begitu, pulang ke rumah merupakan sebuah keniscayaan dalam kondisi apapun. Sambil menyiapkan materi obrolan untuk disampaikan kepada Karen, ia pun beringsut keluar dari kedai minuman menuju stasiun kereta.

Bermodalkan situasi rumit yang dialami Michael, sang sutradara menyiapkan tokoh lain bernama Joanna (Vera Farmiga) yang secara mendadak muncul di hadapan Michael. Duduk di kursi kereta dan saling berhadapan, Joanna menawarkan "pekerjaan" kepada Michael disertai imbalan US$ 100 ribu: Michael diminta mencari seorang penumpang, yang bukan bagian dari penglaju yang biasa menumpang kereta, dengan tujuan akhir Stasiun Cold Springs.

Seperti kena hipnotis, dan mungkin seperti itu cara kerja hipnotis: saat kebutuhan dan pemenuhannya berkelindan, Michael begitu saja menerima tawaran perempuan yang baru saja ditemuinya itu. Tentu ada "bukti permulaan" yang cukup untuk tawaran pekerjaan itu: uang muka US$ 25 ribu yang ditemukan di toilet kereta, sesuai dengan arahan Joanna.

Logika cerita, lagi-lagi, dibangun oleh sang sutradara, saat Michael menyadari bahwa menerima "pekerjaan" ini adalah sebuah kesalahan. Di stasiun perhentian menjelang stasiun tujuannya, ia menerima pesan dari seorang yang muncul secara tiba tiba dari luar pintu kereta yang sedang terbuka. Isinya ancaman yang membahayakan istri dan anaknya.

Tentu saja Michael memiliki ponsel untuk mengonfirmasi pesan ancaman itu kepada istri dan anaknya. Tetapi ponselnya kini telah berpindah tangan. Dicopet. Meminjam ponsel dari rekannya sesama penglaju mungkin jadi solusi, tetapi setelah cincin istrinya kini ada di tangan Michael, setelah menerimanya dari seseorang yang tak dikenal, jadilah ia percaya, istri dan anaknya sedang diculik dan mungkin dalam bahaya.

Lives are on the line, sebagaimana tagline film ini, akhirnya mendapatkan relevansinya. Rupanya tidak hanya nyawa keluarganya yang terancam. Seorang penumpang yang menjadi obyek pencarian Michael pun kini terancam kehilangan nyawa. Meskipun kemudian diketahui bahwa penglaju lain yang kini berada dalam kereta juga dalam bahaya.

Tentu saja dalam aktivitas rutin yang biasa dialami banyak orang, beberapa kejadian yang cenderung mengejutkan bisa terjadi. Bahkan tanpa penjelasan logis sekalipun, "kejutan" itu bisa muncul, terselip dalam kerutinan hidup. Tapi berbeda ceritanya jika "kejutan" itu, apalagi dalam bentuk bencana, hadir dalam sebuah film bercerita fiktif.

Fiksi perlu bangunan logika agar cerita terasa nyata. Sang sutradara tentu saja memahami hal itu. Buktinya tokoh Michael harus menjalani serangkaian peristiwa yang mencipta konflik baik pada dirinya sendiri maupun orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun