Buku ini bikin kita berkhayal seolah tengah menghadapi tugas perdana sebagai calon reporter TEMPO.
Bayangkan Anda adalah seorang calon reporter yang diminta mencari dan menuliskan berita tentang apa saja yang Anda temukan di luar kantor. Beberapa saat setelah menerima tugas dari redaktur, Anda menemukan suatu kejadian dan menurut Anda layak untuk dijadikan berita.
Pada momen itu, Anda langsung mengomunikasikan kejadian yang Anda lihat kepada redaktur. Tentu saja akan ada arahan dari redaktur mengalir deras. Tetapi ini bukan komunikasi satu arah, Anda akan menyampaikan sejumlah hal yang menurut Anda perlu menjadi perhatian redaktur.
Setelah yakin telah memahami kejadian dan arahan redaktur, Anda mulai menulis berita.
"Seandainya Saya Wartawan Tempo" seperti sebuah skenario yang mengajak pembacanya untuk berlagak sebagai calon reporter. Pembaca diajak pada pertemuannya dengan suatu peristiwa dan diminta untuk menuliskan sisi yang paling menarik dari peristiwa itu. Pembaca juga dihadapkan pada dilema mengenai poin yang dianggap layak untuk diberitakan.
Ini semua terasa saat pembaca mendapati contoh narasi feature dari produk tulisan TEMPO, dalam buku ini, yang ditulis lengkap dengan riwayat bagaimana cerita itu disusun oleh reporternya
Bagian Kisah Nyonya Sulaiman, pada halaman 40, misalnya, bertindak seperti sebuah studi kasus. Suatu cara untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang cara menulis berita yang bercerita.
Untuk berita yang bercerita ini, penulis buku, Goenawan Mohamad, menyebutnya sebagai feature, untuk membedakannya dengan straight news, jenis tulisan berita yang lempeng dan paling banyak disajikan di media massa.
Ya, buku ini memang memberikan alternatif pemahaman tentang cara menulis feature. Sebuah gaya tulisan yang didefinisikan penulisnya sebagai artikel kreatif, kadang-kadang subjektif, yang terutama dimaksudkan untuk membuat senang dan memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan, atau aspek kehidupan (hal. 2).
Dibandingkan dengan berita yang dituliskan dalam bentuk straight news, menulis feature memungkinkan reporter "menciptakan" sebuah ceritayang tetap terikat dengan etika, bahwa tulisan harus akurat, sebab feature, dengan segala kebebasannya, tetaplah merupakan ragam tulisan jurnalistik-bukan fiksi (hal. 3).
Dari pelbagai pengertian itu, pembaca akan langsung memahami jenis tulisan yang masuk kategori feature. Apalagi saat penulisnya menyatakan bahwa penulis featureadalah seorang yang berkisah-seorang yang bertutur.Seperti write as you talk (menulislah seperti halnya Anda sedang bertutur) (hal. 11).
Tapi jelas bahwa buku ini tidak semata menyajikan ungkapan teoritis mengenai feature. Masuk ke halaman 21, pembaca akan mulai tertantang untuk mencoba menuliskan sebuah feature.
Sebab pada bagian ini, pembaca akan dimudahkan dalam memulai sebuah tulisan dengan sejumlah teknik penyusunan lead yang tidak hanya berfungsi sebagai paragraf awal tetapi juga bertujuan untuk mengail minat pembacanya agar meneruskan bacaan.
Lead, seperti dituliskan Goenawan Mohamad, bertujuan menarik pembaca untukmengikuti cerita dan membuka jalan bagi alur cerita. Ada beberapa macam lead yang disampaikan, di antaranya, lead menggoda (teaser lead) dan lead nyentrik (freak lead).
Meskipun banyak mengulas serangkaian teknik penulisan feature, buku ini tidak membohongi pembacanya seperti janji yang tertulis di cover belakang buku. "Seandainya Saya Wartawan TEMPO" juga memberikan modal moral, seperti kejujuran, kepekaan, dan ketelitian serta menyajikan kiat praktis mewawancarai narasumber.
Aspek moral, misalnya, terlihat pada pembahasan di halaman 14 tentang betapa pentingnya akurasi berita. Penulis menegaskan bahwa akurasi merupakan mahkota profesi sebagai seorang wartawan.
Mengapa harus akurat? karena jurnalisme, di antara sekian banyak definisinya, merupakan "sejarah yang ditulis hari ini" (hal. 15).
Seorang wartawan juga pantang tergoda untuk menyelipkan imajinasinya ke dalam tulisan yang hampir rampung untuk sekadar melengkapi unsur informasi yang tertinggal. Pengampu profesi ini harus tetap memegang teguh bahwa cerita khayalan tidak boleh ada dalam penulisan feature karena seorang wartawan profesional tidak akan menipu pembacanya,
Adapun saat bertemu narasumber, seorang reporter harus menanyakan nama dan mendapati ejaan nama yang benar sesuai identitas narasumbernya. Selain tentu saja, nomor telepon narasumber harus dimiliki seorang reporter agar bisa berkomunikasi lagi dengannya sesaat reporter menyadari ada informasi yang tertinggal dari sesi wawancaranya yang perdana.
Buku ini juga mengajak para wartawan untuk rajin mencari tahu dan memahami setiap istilah atau penjelasan yang rumit dari narasumbernya. Bila tulisan Anda menyangkut hal yang rumit, pastikan dulu bahwa Anda mengetahui hal itu (hal. 16), kata Goenawan Mohamad.
Dengan hanya beberapa kesalahan ketik, seperti tapi, tapi (hal. 11) dan akan akan (hal. 14), buku ini memang layak disebut sebagai buku pedoman bagi mereka yang ingin menuliskan feature.
Sebab bila ditelusuri riwayat penciptaannya, seperti disampaikan penulisnya, buku ini merupakan produk belajar yang tak kenal lelah dan henti. Sebuah buku yang tidak hanya merangkum pengetahuan mengenai penulisan feature dari sejumlah sumber terpercaya, salah satunya dari buku karangan Daniel R. Williamson, tetapi juga melandaskan diri pada pengalaman puluhan tahun institusi TEMPO berdiri.
Jadi, membaca buku ini adalah juga berlagak menjalani aktivitas sebagai calon reporter TEMPO dan bersedia menerima masukan dari para redakturnya.
-----
"Seandainya Saya Wartawan Tempo"
Penulis: Goenawan Mohamad; Perancang Sampul: Edi RM; Penata Letak: Kemas M Ridwan; Tebal: x + 98 Halaman; Penerbit: Tempo Publishing; Tahun Terbit: Oktober 2014; ISBN: 979-8933-07-9
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI