Melalui aku, polemik bisa muncul. Lihat saja bagaimana untai kicauan dalam twitter. Tidak sedikit polemik timbul di sana. Itu karena manusia menekan aku, tuts. Boleh jadi manusia itu menekanku dengan hebat saat menerakan kicauan. Karena kesal barangkali. Tapi sekali lagi, aku tidak sakit. Tapi boleh jadi ibu jari si manusia itu yang sakit.
Aku ditekan tapi aku tak tertekan. Aku produktif. Aku penyalur ide mereka yang menuangkan ide. Tapi gagasan sehebat apapun tak akan pernah tertera dalam ponsel pintar tanpa menekanku, tuts. Aku mencipta aksara ketik. Aku tak gentar dalam hentakan ibu jari.
Hingga suatu saat hantaman ibu jari yang berulang membuatku tak menerakan kata dalam ponsel, itu bukan berarti aku mati. Tuts itu senantiasa ada. Meskipun aku sedikit merunduk, merendah. Tapi, aku, si tuts, selalu berada pada maqom ponsel pintar. Sekali pugar, tubuhku kembali tegak dan siap mencipta wacana lagi. Aku tuts yang ditekan, tapi aku tak merasa tertekan. Karena tekanan yang mendera bukan malah mencipta derita. Akan tetapi justru mencipta aksara bagi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H