A. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN IHSAN
Tasawuf = ihsan
Ihsan = tasawuf
Ihsan dalam hal ini pengenalan tasawuf dengan mengikuti dan membiasakan sunah Nabi Muhammad SAW secara konsisten. Ihsan, akhlak, dan tasawuf ini saling menguatkan dalam peningkatan kualitas relasi/hubungan kita dengan Allah, sesama manusia, dan alam.
"Para penyayang akan disayang oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian." (H.R. Tirmidzi)
B. PERPISAHAN TASAWUF DENGAN SYARIAH
Kisah perpisahan antara tasawuf dengan syariah telah terjadi ketika zaman Rasulullah SAW, yakni Abdullah ibnu 'Amr ibnu Al-'Ash dan Usman ibnu Madh'un. Abdullah ibnu 'Amr ibnu Al-'Ash menjalankan puasa dan salat malam tanpa tidur sesaat pun, tidak berbuka puasa, tidak makan daging, serta tidak menunaikan kewajibannya kepada keluarga. Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW bersabda, "Wahai Abdullah ibnu 'Amr, bagimu ada teladan yang baik pada Rasulullah. Dan Rasulullah itu berpuasa dan berbuka, maka daging, dan menunaikan untuk keluarganya hak-hak mereka. Wahai Abdullah ibnu 'Amr, sesungguhya Allah mempunyai hak atas engkau, dan sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atas engkau!" Selain kisah tersebut, kisah Usman ibnu Madh'un juga memiliki kisah yang senada dengan hal itu. Usman ibnu Madh'un menjalani puasa di sepanjang siang hari dan tidak tidur (beribadah) setiap malam. Mendengar apa yang dilakukan oleh Usman ibnu Madh'un, Rasulullah SAW pun bersabda, "Jangan engkau lakukan! Sesungghnya kamu mempunyai hak atas engkau, dan keluargamu mempunyai hak atas engkau! Maka salatlah dan tidurlah, puasalah dan berbukalah!"
Ibnu Taimiyah melukiskan pertetangan antara orientasi keagamaan eksoteris (lahiriyah) para fuqaha (ahli fikih) dengan orientasi keagamaan esoteris (batiniyah) para sufi menyerupai pertentangan antara kaum Yahudi dan Nasrani (merasa paling baik). Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 113, yakni "Kaum Yahudi berkata, 'Orang-orang Nasrami itu tidak ada apa-apanya', dan kaum nasrani berkata, 'Orang Yahudi itu tidak ada apa-apanya.'"
Para sufi menuduh para fuqaha telah mengambil ilmu yang mati, sedangkan kaum sufi telah mengambil ilmu dari Yang Maha Hidup dan tiada pernah mati.
C. LIMA MAKNA SYARIAT
1. Secara bahasa syariat itu memiliki arti jalan. Dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan yang lurus dan harus diikuti.