Pemilu 2009 sebesar 89,24 % dilihat dari angka SP sedangkan bila dilihat dari DPT KPU sebesar  71 % berarti bisa dilihat angka GOLPUT atau tidak memilih sebesar 10,76% versi SP dan sebesar 29% versi KPU. Sedangkan jarak kesenjangan data  antara SP dengan KPU mencapai 18, 12 %
Pemilu 2014 sebesar 84,42% dilihat dari angka SP sedangkan bila dilihat dari DPT KPU sebesar  75,11 % berarti bisa dilihat angka GOLPUT atau tidak memilih sebesar 15.58% versi SP dan sebesar 24,89% versi KPU. Sedangkan jarak kesenjangan data  antara SP dengan KPU turun menjadi 9.31 %
Dari angka-angka tersebut tampak bahwa tingkat partisipasi pemilih Pemilu 2014 dibanding Pemilu 2009 turun sebesar 4,82% menurut versi SP Â tapi naik sebesar 4.11 % menurut versi KPU.
Dari angka kesenjangam yang menurun PEMILU 2014 dibanding PEMILU 2009 menunjukkan adanya perbaikan data Basis pada KPU, walaupun masih diatas toleransi tertinggi yang seharusnya  kurang dari 5 %
Mengapa angka kesenjangan ini sangat perlu dikontrol, karena dari angka kesenjangan inilah dapat disusupkan pesanan-pesanan politik. Mengingat e KTP yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2011 ternyata berpengaruh positif terhadap turunnya angka kesenjangan data antara Data SP dengan Data KPU, maka Data KPU untuk PEMILU 2019 tidak lagi bisa ditolerir adanya kesenjangan data antara data SP dengan KPU sampai mencapai 5 %. Secara Nasional walaupun secara kedaerahan kesenjangan tidak bisa dibatasi dan sangat tergantung pada angka perpindahan penduduk dari daerah satu ke daerah lain.
Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan berikutnya dari sumber data SP ditemukan angka Penduduk  dengan usia 17+ sebesar  197,670,398 jiwa. Artinya Angka DPT KPU yang dapat ditolerir pada PEMILU 2019 paling tinggi harus dibawah angka  207.553.000 juta.
Dengan tingkat kesertaan pemilu diperhitungkan akan mencapai 85 % atau  176.420.050 jiwa maka tiap kursi di Parlemen akan membutuhkan dukungan suara sebesar pada kisaran 270.000 pemilih.
PEMILU DIPANDANG DARI SUDUT PEMBIAYAAN.
Dari sudut pembiayaan bila tiap pemilih dalam partisipasinya mengikuti PEMILU menghabiskan dana sebasar Rp. 100.000,- saja baik yang dikeluarkan KPU, Calon anggota dewan maupun pemilih sendiri, itu berarti tiap kursi di DPR menelan biaya Rp. 27.000.000.000,- ( dua puluh tujuh milyar rupiah ) Â diluar biaya money politik atau kampanye dan sosialisasi oleh KPU dan Gaji Petugas KPU. atau untuk 650 kursi DPR menghabiskan biaya minimal sebesar Rp. 17.550.000.000.000,- ( tujuh belas koma lima lima Triliun rupiah )
Biaya yang telah begitu besar itu ternyata masih sangat kecil bila dilihat berapa besarnya biaya Kampanye masing masing Calon Wakil Rakyat, berapa nilai mahar yang harus disetor Calon Anggota Dewan pada Parttai Politik dan pada akhirnya berapa HARGA yang dibayarkan oleh Penguasa Modal /Konglomerat/Hoakiau untuk membiayai PARTAI POLITIK?
Kekuasaan Modal dengan menggunakan tangan-tangan Partai Politik inilah sebenarnya yang berakhir pada keberadaan rakyat kecil yang tertindas. Hilangnya semua asset Bangsa baik SDM maupun SDA semua ada dalam kekuasaan MODAL. Baik MODAL Â ASING maupun MODAL ASING PERANTAUAN.