Munculnya Jokowi sebagai Presiden ke tujuh yang digadang sebagai Satria Pinandito Sinisihan Wahyu ternyata jauh panggang dari api, tapi justru mencerminkan posisinya sebagai Satria Boyong Pambukaning Gapura.
Satria boyong atau satria yang suka berpindah tapi boyong dalam konotasi belum waktunya atau dalam bahasa jawa NGGEGE MANGSA. Tanda itu tampak sekali pada diri Presiden Jokowi yang selalu berpindah tempat kedudukan (Boyong) mendahului yang seharusnya.(Anggege mangsa).
Diawali dengan BOYONGnya dari Posisinya sebagai Wali Kota Solo yang belum selesai, menuju posisinya yang baru sebagai Gubernur DKI kemudian BOYONGnya dari posisinya sebagai Gubernur DKI menuju Posisinya yang baru sebagai Presiden Republik Indonesia. Bahkan masih sebagai Presiden pun sudah melakukan BOYONG dari Istana Negara ke Istana Bogor.
Maka BOYONG berikutnya juga akan terjadi secara ANGGEGE MONGSA atau sebelum waktunya Boyong. Benarkah Presiden Jokowi akan Boyong sebelum 2019 dan MEMBUKA GAPURA munculnya Satria Piningit bergelar SATRIA PINANDITA SINISIHAN WAHYU ?
Siapa dia ?
Satria Pinandita artinya Satria yang tawadu’ yang dekat dengan Yang Maha Kuasa bahkan digelari Pinandita karena sangat religious, dikelilingi oleh para Ulama dan Pemuka Agama.
Kondisi saat ini ternyata sudah mencerminkan tanda-tanda itu datang. Tugas sebagai Pambukaning Gapura baru dilaksanakan. Pintu Gapura telah dibuka, Pintu tabir yang menyembunyikan segala kepentingan telah terbuka. Pintu tabir yang mampu memisahkan Haq dan Batil telah terbuka.
Membuka tabir Pintu Gapura yang menutupi adanya semua kebohongan dalam persatuan semu dan menunjukan siapa untuk siapa dan maunya apa. Tabir penutup siapa dia, ada pada golongan yang mana, kini telah terbuka lebar.
Saat ini telah tampak dengan sangat jelas TOKOH-TOKOH siapa saja yang bekerja untuk Kepentingan Tiongkokisasi dan juga TOKOH-TOKOH siapa saja yang bekerja untuk kepentingan  Amerikanisasi.
Inilah makna dari PAMBUKANING GAPURA
Rakyat dengan didampingi para Ulama dan Tokoh Agama Wahyu telah melihat dengan jelas siapa yang sebenarnya berpihak kepada Rakyat jelata, Rakyat Indonesia. Yang rela menderita bersama Rakyat Pribumi ahli waris tanah Nusantara yang sebenarnya. Yang tidak rela bumi ini dilepas dalam pengelolaan atau kekuasaan Asing. Yang tidak rela bila kekuasaan Negeri ini jatuh ketangan bukan PRIBUMI, Karena PRIBUMI adalah pewaris kekuasaan yang sebenarnya.