Mohon tunggu...
Ibnu Dawam Aziz
Ibnu Dawam Aziz Mohon Tunggu... lainnya -

pensiunsn PNS hanya ingin selalu dapat berbuat yang dipandang ada manfaatnya , untuk diri,keluarga dan semua

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merdunya Sebait Nyanyian Caci Maki, Mengiring Sebuah Penghakiman

6 Maret 2015   04:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:06 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tulisan saya yang berjudul Sesat Pikir A Hok dan peran DPRD DKI tentang biaya siluman. Mendapat tanggapan dalam tulisan yang berjudul Ekuivokasi di Sekitar Kisruh Ahok-DPRD yang ditulis oleh seorang Kompasianer bernama Nararya.

Dari tulisannya itu saya membuat tanggapan

Analogi yang sangat rasional akan tetapi ada yang anda lupa, bahwa yang Namanya Pemerintah Daerah itu satu Eksekutif dan legislatif dalam satu kesatuan.

Sebagai ukuran pemersatunya adalah UU, bukan penghakiman.

Maka dalam kasus A Hok versus DPRD analogi anda menjadi tidak pas. Karena yang berhadapan bukan antara Claim maker dengan Lawan diskusi melainkan antara claim maker dengan claim maker.

Diskusi bisu tuli lebih tepat , karena bukan hanya tidak ada salah tafsir akan tetapi sama sekali tidak ada komunikasi.

Karena anda memakai contoh analogi a Hok dan analogi saya, maka silahkan posisinya dibalik saya sebagai definisi claim maker apa yang terjadi ?

Inilah yang terjadi sebenarnya, PENGHAKIMAN terhadap semua yang berpandangan berbeda dengan A Hok.

Itulah yang dilakukan oleh A Hok dan semua yang mendukung A Hok.

Penghakiman atas sebuah diskusi sebelum diskusi itu dilaksanakan.

Kemudian ada tanggapan terhadap tanggapan saya dengan sebuah nyanyian merdu yang mengiringi terhadap beberapa kalimat tanggapannya, antara lain sebagai berikut:

1.Saya tidak menggunakan argumentum per analogiam dalam artikel di atas. Anda straw man!

Layakkah kata-kata anda strow man dilontarkan dalam sebuah diskusi ?

Walaupun begitu, melalui tulisan ini saya tanggapi dengan baik tanggapan Nararya yang sangat “SOPAN” sebagai berikut.:

Salah satu dari definisi Analogi yang dalam kalimat aktif “menganalogi” dapat didefinisikan dengan

“ membuat sesuatu yg baru berdasarkan contoh yg sudah ada, mereka-reka bentuk kata baru dng mencontoh bentuk yg telah ada” (KBBI)

Dari definisi KBBI tersebut diatas, maka tulisanberjudul Ekuivokasi di Sekitar Kisruh Ahok-DPRD yang merangkum tulisan saya dalam bentuk baru memotong disana-sini sebagai argumentasi yang disesuaikan dengan keinginan Nararya, sebagai penulislayak disebut sebagai sebuah argumentasi berbasis analogi, atau menyusun analogi sebagai basis argumentasi.

Lengkapnya analogi Nararya adalah seperti yangsaya copy dibawah ini :

Rangkaian argumen IDA untuk mendukung klaim di atas, dapat direkonstruksi sebagai berikut:


  1. “Dana siluman” baru terjadi jika RAPD sudah disetujui oleh Mendagri namun di kemudian hari terdapat penyusupan items baru di dalamnya. Karena ini items ilegal, maka ia disebut “dana siluman”. Contohnya APBD 2014 yang memang adalah masalah hukum, sedangkan RAPBD 2015 belum menjadi masalah hukum karena belum disetuju Mendagri dan belum ada lobi-lobi politik untuk penggunaan ilegal dari dana tersebut.
  2. RAPD 2015 itu sendiri tidak bermasalah karena [dalam dalam balasan komentarnya kepada Kompasianer Stephanus Jakarta] menurut IDA kata “anggaran” itu sendiri esensinya adalah “kira-kira” maka tidak ada efek negatif di dalamnya.
  3. Ahok melakukan sesat pikir karena ia mengasosiasikan APBD 2014 yang memang adalah masalah hukum karena sudah disetujui oleh Mendagri namun menyimpang dalam penggunaannya dengan RAPBD 2015 yang belum disetujui Mendagri dan pada dasarnya hanyalah “perkiraan dana” yang tidak ada negatifnya.

Maka semua yang ditulis Nararya diatas dalam bentuk rekonstruksi dengan mengambil sebagian-sebagian untuk disimpulkan sendiri masuk dalam ranah per analogian .

Komentar Nararya berikutnya atas komentar saya .

2.Saya tidak mempersoalkan klaim Ahok vs klaim DPRD. Yang saya persoalkan adalah definisi Ahok mengenai “dana siluman” dan definisi Anda mengenai “dana siluman”. Anda straw man lagi.

Jawaban saya :

Lalu apa bedanya saya dengan A Hok ?tulisan saya bukan menanggapi tulisan A Hokartinya saya tidak sedang berdiskusi dengan A Hok, dimana A Hok berposisi sebagai Claim maker sedangkan saya sebagai teman atau peserta diskusi. Akan tetapi memperbandingkan definisi A Hok dengan definisi saya, mana yang lebih berdasar hukum. Mengapa A Hok bisa membuat definisi atas persepsinya sendiri dan saya tidak boleh ?

Saya tidak tahu kata Straw man itu lebih layak buat siapa ?

Kemudian pada point 3 Nararya menulis :

3.Posisinya tidak bisa dibalik. Wong Ahok yang merupakan thread setter koq. Anda paham diskusi logis atau tidak?

Pertanyaan ini saya jawab :

Sudah saya jelaskan diatas, saya tidak dalam posisi sedang berdiskusi dengan A Hok, akan tetapi sedang melakukan pembahasan tentang sesat pikir A Hok dan peran DPRD . Kemudian membandingkan definisi A Hok dengan definisi saya tentang biaya siluman mana yang lebih berdasar hukum.

Itulah mengapa saya tulis claim maker dengan klaim maker. Karena tulisan saya TIDAK SEDANG MENANGGAPI TOPIK diskusi yang disodorkan oleh A Hok, tapi tulisan saya justru menjadikan Pernyataan-pernyataan A Hok termasuk definisi yang dilontarkan sebagai pokok bahasan.

Layakkah pertanyaan Nararya pada saya “ Anda paham diskusi logis atau tidak ? Ataukah pertanyaan itu lebih tepat pada Nararya ?

Yang terakhir Nararya menulis :

4.Anda melakukan appeal to judgementalism, seakan-akan Anda boleh mengemukakan pandangan yang kontras lalu Anda tidak perlu dikoreksi padahal salah. Ketika Anda dikoreksi lalu Anda bilang itu penghakiman. Hahahahah.

Yang terjadi sekarang adalah Anda menuding Ahok sesat pikir, padahal Anda sendiri melakukan sesat pikir. Bahkan dalam satu komentar di atas, di dalamnya terdapat sejumlah sesat pikir sekaligus.

Jawaban saya kali ini :

Dari jawaban saya sejak point 1 sampai 3 maka akan tampak tulisan Nararya pada point 4, termasuk tambahan komentar dibawahnya lebih tepat diberikan kepada saya atau justru kepada Nararya sendiri ?

Apakah yang ditulis Nararya itu bukan sebuah just menbahwa saya sesat piker tanpa membuktikan tuduhannya bahwa saya sesat pikir ?

Untuk pembahasan sesat pikir sendiri, sudah saya tulis dalam :

http://filsafat.kompasiana.com/2015/03/05/membedah-sesat-pikir-ekuivokasi-yang-mendasari-penghakiman-oleh-a-hok-dan-pendukungnya-terhadap-lawan-diskusinya-705198.html

Dari apa yang saya ungkapkan dalam tulisan ini, ternyata budaya Caci Maki yang sering dilontarkan oleh A Hok benar-benar telah menular pada semua pengikutnya, mengancam budaya luhur Bangsa Indonesia .

Salam prihatin untuk budaya caci maki yang dibanggakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun