Gambar kreasi dari sumber yang jelas.
Terlanjur digelari USTADZ seorang Hariri Abdul Aziz Azmatkhan harus bertanggung jawab padaumat.
Akan datang satu waktu, tuntunan menjadi tontonan, tontonan menjadi tuntunan.
Guru ngaji, Ustadz, Kiyai dan sederet gelar kehormatan yang melekat pada seseorang, adalah satu gelar yang teruji, yang disematkan melalui satu prosedur panjang dalam struktur budaya masyarakat religius. Satu gelar yang melekat karena satu pengabdian panjang yang disaksikan dan diakui oleh umat bahwa seseorang layak menjadi panutan. Kalau kemudian pengabdiannya mendatangkan rezeki, itu semata sebuah penghargaan yang tidak diminta untuk lebih mampu melakukan aktualisasi diri.
Apa lacur, bila kemudian gelar Ustadz, Kiyai telah dijadikan satu profesi, dalam masyarakat hedonis yang gersang, dalam lingkungan masyarakat yang terlindas hiruk pikuk ke“aku”an orang membutuhkan penyejuk siraman rokhani bak pelepas dahaga dipadang gersang. Kepintaran beretorika menjadi satu kesempatan.
Peluang inilah yang ditangkap oleh para pelaku BIZNIS HIBURAN, memanfaatkan rasa haus ditengah hiruk pikuk ketidak mengertian mengubah TUNTUNAN menjadi TONTONAN mengubah tradisi pemberian gelar Guru, Ustadz dan Kiyai yang semula disematkan melalui satu prosedur panjang dalam struktur budaya masyarakat religious kemudian menggantinya melalui sebuah audisi. Atau memanfaatkan keinginan sebuah lembaga formalitas yang sarat dengan kepentingan politik kekuasaan.
Masih banyak Hariri Hariri lain yang menangguk rezeki memanfaatkan gelar Ustadz sebagai satu profesi yang ditangani manager SANGAT PROFESIONAL melalui satu arena komidi, melody atau bahkan dramatisasi religi yang justru membodohi. Bergelimang harta dan kepongahan harga diri ditengah pengikutnya yang tunduk merunduk ketakutan kepada sang Kiyai atau Ustadz karena tak mengetahui hakekat ajaran Islam itu sendiri.
Benarkah bila sebagian besar umat sekarang memang hanya butuh tontonan ? Bukan Tuntunan!
Muslim harus mendengar bahwa Ustadz yang sebenarnya sekarang ada di sebuah lembah gunung terasing, mengajari umatnya mengganti koteka dengan celana yang bahkan untuk sekedar makan ia harus mencangkul, menanam ubi sendiri dan makan bersama para santrinya. Berjuang untuk memperkenalkan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Satu paradox antara Ustadz jadi jadian dengan Ustadz yang sebenarnya.
Dimana peran MUI ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H