Kemudian bila dalam pembobotan nilai :
Sangat Memenuhi Sarat dengan bobot 3
Memenuhi Sarat dengan bobot 2
Cukup Memenuhi Sarat dengan bobot 1
Yang akan diloloskan pasti adalah Sdr. Bambang Muhadi bukan Retno Listyarti.
Tapi bila ada bobot gender :
Laki-laki bobotnya 1
Perempuan bobotnya 2
Maka yang terjadi adalah nilai imbang sama-sama mempunyai nilai 3
Kemudian bila ada bobot berikutnya, yaitu :
Kalangan mayoritas bobotnya 1
Kalangan Minoritas bobotnya 2
Maka jumlah akhir adalah : Bambang Muhadi nilainya 4 sedangkan Retno Listyarti ( bila ia minoritas seperti Lurah Susan ) maka nilainya menjadi 5.
Nilai bobot yang saya angkat ini bukan yang sebenarnya hanya contoh yang mendasari sebuah penilaian. Yang sudah pasti adalah :
Bobot gender, perempuan sekian kali lebih besar dari Laki-laki. Kemudian minoritas pasti diberi bobot juga sekian kali lebih besar dari mayoritas, dengan alasan untuk kesetaraan. Karena kalau tidak diberi bobot lebih, minoritas selamanya tidak akan pernah dapat berperan dan akan terjadi tyrani mayoritas. Berapa tepatnya tanyakan pada yang membuat kebijakan. Di sinilah letak permainan kepentingan yang sebenarnya. Ini pula yang menjadikan satu nilai subyektivitas masuk ke dalam satu system penilaian secara legal. Kebijakan pemberian bobot inilah merupakan pintu masuk ke arah keberpihakan. Pemberian bobot ini pula akan menunjukkan keberpihakan seorang pengambil keputusan.
Itulah mengapa kekuasaan senantiasa diperebutkan sebagai kuda tunggangan penguasa modal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H