Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Arjuna

7 Januari 2021   06:45 Diperbarui: 7 Januari 2021   06:57 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi masyarakat penggemar seni tradisi khususnya wayang, baik wayang orang maupun wayang kulit, tentunya sudah tidak asing lagi dengan nama Arjuna. 

Arjuna adalah putra ketiga dari Raja Hastinapura prabu Pandu Dewanata, dari istri pertama yang bernama Dewi Kunti. Dua kakaknya, yang tertua bernama Yudistira dan kakak yang lainnya bernama Bima. 

Sedangkan dari istri kedua bernama Dewi Madrim, prabu Pandu Dewanata di karuniai putra kembar, yang diberi nama Nakula dan Sadewa. Dari kelima putra prabu Pandu ini, lalu dikenal dengan sebutan Pandawa Lima, dengan Arjuna sebagai penengahnya.

Lalu apa hubungannya dengan kisah perjalanan penulis ini? Begini ceritanya. Meski penulis dipercaya untuk mengoperasikan kendaraan dinas, namun penulis tidak mempunyai supir khusus. Ke mana pun penulis berdinas, penulislah yang menyetir kendaraan, bergantian dengan karyawan yang sudah terbiasa membawa kendaraan. 

Ada beberapa teman yang dapat bertindak sebagai driver, namun sudah barang tentu masing-masing punya gaya yang berbeda. Ada yang menyetir kendaraan, dengan menyesuaikan gaya penulis. Tetapi ada juga yang membawa kendaraan, sesuai dengan gayanya sendiri. Salip sana, salip sini dan lain-lain, yang sesungguhnya tidak membuat penulis nyaman dengan gaya seperti itu, namun penulis tidak berkomentar.

Kalau sudah penulis diamkan, tetapi yang bersangkutan tidak merasa atau tidak tahu kalau sesungguhnya penulis tidak menyukai gaya menyetirnya, penulis lalu minta kepada yang bersangkutan agar minggir dan berhenti. 

Sambil berkata saya agak kurang bergairah, dan lemas kalau di pagi hari tidak menyetir kendaraan. Karena itu penulis minta agar sang driver berganti posisi, dan selanjutnya penulis yang menyetir kendaraan. 

Setelah agak lama penulis minggir, dan berhenti lalu berkata wah sudah segar sekarang, mas silakan anda yang melanjutkan. Dengan harapan, yang bersangkutan mengerti dengan apa yang barusan penulis lakukan.

Dalam acara pertemuan di kantor, tak jarang penulis sampaikan perihal etika berkendaraan di samping membicarakan kegiatan dinas lainnya. Di antaranya, kita harus dapat menghargai dan menghormati sesama pengguna jalan. Tidak perlu kebut-kebutan dan saling salip menyalip sesama pengguna jalan, demi keselamatan bersama. 

Walau posisi kita di jalur yang benar sekalipun, tetapi bila situasi dan kondisi dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain, lebih baik mengalah. Karena apabila sampai terjadi tabrakan, ke semuanya akan menderita kerugian.

Andaikan setelah terjadi kecelakaan sampai menewaskan orang dan kendaraan rusak berat. Kemudian setelah diproses di pengadilan, ternyata yang tewas dan kendaraan yang rusak dinyatakan benar, lalu dengan serta merta yang tewas hidup dan kendaraan yang ringsek menjadi mulus kembali, apa boleh buat. Tetapi kenyataannya, yang tewas tetap mati dan kendaraan ringsek tetap ringsek, jadi untuk apa kita harus berkendaraan tanpa memperhatikan etika?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun