Saya masih berstatus sebagai penguji di lembaga kompetensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat jadi masih kerap menguji. Terakhir kali saya menguji di PWI Jaya, Â akhir Desember 2019 lalu. Banyak cerita yang terjadi ketika melakukan proses ujian, terkadang menyenangkan, sering pula menyedihkan atau menyebalkan.
Seorang penguji akan merasa senang apabila wartawan yang mengikuti uji kompetensi menujukkan kepantasannya sebagai wartawan profesional dan tanpa ragu meluluskannya. Tetapi penguji akan merasa sebal apabila ada yang sudah menjadi wartawan di medianya namun ternyata ketika diuji sebenarnya belum pantas menyandang status itu. Bahkan kadang sangat jauh dari pantas.
Lulus uji kompetensi untuk kelompok Wartawab Muda saja saat ini relatif berat apabila peserta tidak belajar terlebih dahulu karena mata uji pertama adalah pemahaman Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). Bentuknya menjawab pertanyaan tertulis, mengoreksi berita dan foto, serta wawancara dengan penguji.Â
Ada 8 (delapan) pertanyaan di antaranya, apa beda media massa dan media sosial? Jelaskan istilah asas praduga tak bersalah. Apa itu hak tolak? Bagaimana cara menjaga independensi dari intervensi pemilik? Kemudian, apa perbedaan antara KEJ dan PPRA mengenai anak?
Dalam waktu sekitar 45 menit peserta muda harus menjawab pertanyaan ditambah mengoreksi berita yang melanggar PPRA atau KEJ, yang pasti sulit bagi wartawan yang tidak memahami KEJ dan PPRA. Mengejar poin minimal 70 untuk lulus mata uji ini, peserta harus menjawab benar atau minimal hampir benar.Â
Apabila ada dua-tiga pertanyaan salah total dan dapat nilai 0, bisa dipastikan peserta tidak lolos, sebab bobot tiap pertanyaan antara 10-20, apalagi mengoreksi tulisan dalam waktu singkat sulit mendapat semua kesalahan. Maka mata uji ini sering menjadi titik jatuh peserta UKW PWI. Jadi, harus ada persiapan khusus, belajar secara tekun untuk memahami KEJ dan PPRA.
Jumlah pertanyaan juga sama untuk Wartawan Madya dan Utama, tetapi ada pertanyaan berbeda, yakni terkait dengan bidang tugas mereka. Misalnya, sebagai redaktur saudara adalah pintu akhir penerapan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers, bagaimana saudara mematuhinya? Tentu dia harus tahu pasal tersebut sebelum bisa menguraikan jawabannya. Pasal 5 ayat (1) berbunyi "Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah."
Apabila tidak lolos di mata uji ini maka gugurlah si peserta karena sia-sia saja dia ikut mata uji lain karena sistem yang digunakan dalam UKW adalah harus lulus di semua mata uji. Dari 10 mata uji, apabila dia mendapat nilai 90 di 9 mata uji dan 65 di satu mata uji, dia pun tidak lulus. Maka penguji selalu mengatakan di awal ujian, cukup rata-rata 70, tidak usah memaksakan diri yang penting menguasai semua yang diujikan.***
Uji kompetensi memang menjadi tolok ukur profesionalisme wartawan, sebab apabila dia sudah memiliki sertifikat kompetensi artinya dia sudah mampu mengerjakan tugas yang selayaknya menjadi tanggungjawab wartawan.Â
Meskipun demikian ada beberapa masukan ke Dewan Pers tentang mutu wartawan bersertifikat yang meragukan, baik karena karya jurnalistiknya yang masih amburadul maupun perilaku yang tidak sesuai KEJ, untuk itu Dewan Pers bersikap menunggu adanya pengaduan atau informasi nyata. Pada saat mediasi atas pengaduan, tim Dewan Pers juga selalu "mengetes" profesionalisme media, baik dengan Penanggungjawabnya maupun si wartawan apabila dia hadir.
Sebagaimana diketahui UKW dilakukan lembaga uji yang ditunjuk Dewan Pers, meliputi organisasi wartawan (PWI, AJI, IJTI), media massa (Kompas, Anteve, MNC, Bisnis Indonesia), lembaga pendidikan dan pelatihan (LPDS), dan kampus (LSPR, UPN Veteran, Universitas Prof Dr Moestopo), untuk sekadar menyebut contoh.Â