Mohon tunggu...
Hendry CH Bangun
Hendry CH Bangun Mohon Tunggu... Jurnalis - Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022

Masih bekerja di media meski sudah memulainya saat menjadi mahasiswa di Rawamangun. Juga ikut mengurusi organisasi wartawan. Suka memberi pelatihan jurnalistik di daerah. Suka menulis puisi, begitu pula cerita pendek. Telah menulis sejumlah buku.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menjadi Wartawan

7 Januari 2020   11:05 Diperbarui: 7 Januari 2020   11:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Ada yang tidak tahu apa itu budgeting, pokoknya asal setor berita. Ada yang tidak pernah membuat perencanaan, jadi meliput seperti ritual saja, datang ke Humas, datang ke kantor polisi, datang ke kantor walikota, setiap hari sepanjang tahun. Mereka akan bingung saat ikut UKW diminta membuat rencana liputan, dengan tema, topik, angle, narasumber, dan 5 pertanyaan.

Bahkan ada yang saya hadapi sangat keterlaluan. Peserta uji ini berusia sekitar 50 tahun. Pada saat mata uji menulis berita, sesaat ujian dimulai dia terlihat bingung. Ketika waktu sudah berlangsung sekitar 30 menit, saya mengatakan,"Waktunya tinggal 15 menit. Kalau yang sudah jadi silakan email ke panitia lalu print dua kali. Hasilnya setorkan ke penguji." Si peserta ini kelihatan bingung. Saya lihat ke laptopnya, baru jadi kalimat beberapa baris. 

Saya menganjurkannya untuk mengetik lebih cepat karena waktu tinggal sedikit. Dia mengiyakan, tetapi sampai akhir waktu produk berita yang dia buat tidak lebih dari 10-an baris. Tidak ada 5 W 1 H. Kalimatnya tanpa alinea, semua disambung menjadi satu. Huruf kecil dan besarnya semaunya. Berantakan, tidak pantas lulus. Di mata uji berikut, mengedit berita sendiri, praktis tidak ada perubahan karena dia memang tidak cakap menulis berita. Di akhir UKW peserta ini ditetapkan tidak berhasil karena memang belum kompeten di banyak mata uji.

Saat ngobrol informal saya tanya sebelum ini bekerja sebagai apa, dia menjawab lugas dia hanyalah pemilik toko kelontong di sebuah ibukota provinsi. Suatu hari dia ditawari menjadi wartawan dan mendapat kartu pers dengan bayaran tertentu, tentu saja dia bersedia. 

Dia lalu belajar meliput ke beberapa tempat yang biasa didatangi wartawan di kotanya. Bila menghadiri acara, dia menelpon ke redaktur di Jakarta untuk melaporkan. Berita lisannya itu lalu dikerjakan redaktur dan dimuat di medianya seperti dia tulis sendiri. Terus menerus begitu, maka dia tidak pernah bisa menulis sendiri dan gagap ketika ikut UKW.

Tumbuh suburnya media di Indonesia justru menghasilkan ribuan atau puluhan ribu wartawan tidak profesional karena asal rekrut dan tidak pernah mendapat pelatihan memadai. Mereka ini nyaman karena beritanya dibuatkan, yang penting meliput ke lapangan. Masalahnya tidak hanya pada karya jurnaslitiknya tetapi juga perilaku, karena mereka mengikuti saja orang-orang yang sudah terlebih dahulu menjadi "senior" mereka. 

Meliput harus dapat amplop. Atau kalau event sedang sepi, membuat berita dengan satu narasumber, kemudian dimuat beramai-ramai sehinga beritanya asli copy paste. Atau, mendatangi sekolah-sekolah untuk menanyakan BOS atau ke Kantor Kelurahan untuk mengecek pembelanjaan dana desa. Tipe ini memang menggunakan pekerjaan mereka untuk mencari duit, baik untuk hidup maupun untuk membayar agar berita mereka dimuat.

Masih banyak pekerjaan rumah agar  semua wartawan memahami tugas mulianya sebagaimana diamanatkan undang-undang. Banyak tugas menanti wartawan profesional agar masyarakat, bangsa dan negara ini dapat maju di tengah kompetisi yang kian kencang, dengan berita-berita yang menginspirasi, berita yang membangkitkan semangat, berita yang menggugah dan mencerahkan, berita kritis yang memunculkan ide-ide. Kita semua harus merasa bertanggungjawab menciptakan wartawan yang kompeten, yang profesional, dan bermanfaat bagi kehidupan pers nasional.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun