Mohon tunggu...
Hendry CH Bangun
Hendry CH Bangun Mohon Tunggu... Jurnalis - Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022

Masih bekerja di media meski sudah memulainya saat menjadi mahasiswa di Rawamangun. Juga ikut mengurusi organisasi wartawan. Suka memberi pelatihan jurnalistik di daerah. Suka menulis puisi, begitu pula cerita pendek. Telah menulis sejumlah buku.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menjadi Wartawan

7 Januari 2020   11:05 Diperbarui: 7 Januari 2020   11:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewan Pers percaya para lembaga uji akan menjaga kredibilitas dan melakukan UKW sesuai standar mutu yang ditetapkan, dan bahkan akan menjatuhkan sanksi apabila melanggar ketentuan. Dan apabila ada lulusannya yang melakukan pelanggaran berat atas KEJ-PPRA, Dewan Pers akan merekomendasikan agar sertifikatnya diusulkan dicabut. Ini sudah pernah terjadi pada sejumlah wartawan.

Tentu saja ada wartawan yang juga bersikap profesional walaupun dia belum memiliki sertifikat kompetensi, khususnya mereka yang telah berpengalaman sebagai wartawan selama puluhan tahun. Pada saat Standar Kompetensi Wartawan dijadikan Peraturan Dewan Pers pada tahun 2011, mereka yang dianggap "pantas" karena sudah mentas di pers nasional, diberikan sertifikat langsung yang jumlahnya sampai kini mencapai 250-an. Dewan Pers juga terbuka untuk menerima usulan, dengan catatan wartawan tersebut berusia di atas 50 tahun, sudah bekerja di jurnalistik minimal 25 tahun tanpa putus, memiliki prestasi nasional berupa penghargaan, membuat buku jurnalistik, aktif melatih wartawan atau di organisasi wartawan, dll.

Kita bangga bahwa di Indonesia sangat banyak orang yang kepingin menjadi wartawan, namun sebagian besar belum memahami hakekat wartawan itu sendiri.

Secara ideal dapat dikatakan wartawan adalah profesi, yang bekerja atas landasan etika berupa Kode Etik Jurnalistik demi kepentingan masyarakat atau publik, khususnya mereka yang tersisih atau terpinggirkan. Keprihatinannya pada penderitaan rakyat khususnya karena pemerintah lalai, atau korporasi yang sengaja merugikanmereka. 

Dia bersikap kritis terhadap kekuasaan, tidak langsung percaya pada data yang disajikan, rilis yang disampaikan, dan mencari tahu kebenaran di balik itu. Dia ingin mengoreksi agar tujuan mensejahterakan rakyat, memajukan kepentingan umum, selalu dilakukan mereka yang berkuasa karena jabatan atau kekayaan korporasi.

Walaupun membela rakyat, dia bekerja sesuai standar. Melakukan verifikasi agar peristiwa atau data yang dia siarkan benar adanya. Dia mengkonfirmasi untuk menjaga keberimbangan karena dia tahu karya jurnalistiknya tidak boleh menghakimi. Dia mengecek dan mengecek lagi agar semua data yang dia sajikan akurat. Dia menulis berita dengan kata-kata yang sesuai standar, hati-hati menyusun kalimat dan memilih kata agar tidak beropini pribadi.

Dari ratusan pengaduan yang diterima Dewan Pers setiap tahunnya, persoalan verifikasi, konfirmasi, keberimbangan, opini menghakimi, menjadi masalah utama. Elementer sesungguhnya bagi mereka yang sudah bertahun-tahun berkecimpung di media massa tetapi tokh terjadi juga, yang banyak kalangan menyebutnya sebagai akibat dari keterburu-buruan. Ingin cepat, ingin duluan, guna mendapat  qlickbait. Sungguh ironis karena kesalahan mendasar itu juga dilakukan media-media dengan nama besar, yang sudah mapan.***

Karya jurnalistik yang sudah dilepas ke publik, sudah dicetak, disiarkan, tentu menjadi tanggungjawab redaksi yang dikepalai pemimpin redaksi, sehingga segala kesalahan bukan lagi dibebankan kepada si penulis. Tetapi tentu ujung pangkal ada di wartawan yang pertama-tama menulis berita sehingga sangatlah penting bagi media untuk mendidik wartawannya agar memiliki kompetensi profesional. 

Masih ada media massa yang mendidik dan melatih calon wartawan selama satu tahun sebelum diangkat menjadi wartawan tetap, tetapi pada umumnya media hanya melatih sebentar saja. Ada yang bilangan minggu, ada yang bilangan hari, ada yang langsung melepas tanpa pelatihan sama sekali. Bisa dibayangkan produk jurnalistik wartawan yang langsung bekerja begitu diberikan kartu pers.

Dia tidak akan pernah tahu apa itu wartawan, bagaimana seharusnya bersikap sebagai wartawan, bagaimana merencanakan liputan, bagaimana mewawancarai narasumber, bagaimana menyiapkan diri untuk menghadiri jumpa pers, bagaimana menggali data kepustakaan, dan ujungnya, bagaimana menulis berita yang sesuai kaidah-kaidah jurnalistik dan tulisannya sesuai KEJ.

Dalam UKW terlihat perbedaan peserta dari latar belakang media ini. Ada yang mengaku tidak pernah ikut rapat redaksi selama bekerja sebagai wartawan, jadi dia hanya menerima instruksi untuk meliput tanpa pengarahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun