Mohon tunggu...
Hendry CH Bangun
Hendry CH Bangun Mohon Tunggu... Jurnalis - Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022

Masih bekerja di media meski sudah memulainya saat menjadi mahasiswa di Rawamangun. Juga ikut mengurusi organisasi wartawan. Suka memberi pelatihan jurnalistik di daerah. Suka menulis puisi, begitu pula cerita pendek. Telah menulis sejumlah buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

KRL Rasa Indonesia

14 September 2011   01:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:59 2724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_134865" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com/DANNY RICHARD TAMPUBOLON)"][/caption]

Saya sudah beberapa minggu ini melakukan perjalanan dari rumah ke kantor dengan KRL Commuter Line. Alasan utama memang, menghindari stress akibat kemacetan berkendara. Tetapi yang jelas saya leluasa menempuh perjalanan dengan modus transportasi roda besi ini karena tidak lagi memiliki kewajiban mengantar anak bersekolah di pagi hari.

Saya mendapat banyak manfaat. Jika sebelumnya harus bertolak dari rumah selambat-lambatnya 05.25, kini sudah bisa sekitar pukul 07.00 atau bahkan sekitar 08.00, atau bahkan lebih. Saya lalu sempat berolahraga di rumah pada saat biasanya saya sudah harus menstarter mobil dan bergegas mengarungi jalanan saat sebenarnya lampu jalanan belum sepenuhnya padam.

Dengan olahragaberjalan kaki di sekitar rumah, saya lalu bisa bertegur sapa dengan tetangga, yang biasanya juga bertemu wajah seminggu sekali, itupun kalau sedang beruntung. Dengan naik KRL itupula saya sempat baca koran di rumah, atau melihat siaran berita di televisi. Kemudian tentu, saya pun lalu banyak menghabiskan kalori, dengan berdiri di sepanjang perjalanan dengan KRL, dan berjalan kaki dari stasiun ke kantor dan sebaliknya. Akhirnya badan pun terasa segar, fresh, lebih fit, dan tentu saja celana mulai terasa longgar.

Saya menikmati perjalanan dengan KRL, meskipun sebenarnya sebagai konsumen saya merasa masih banyak yang harus diperbaiki pengelola Commuter Line. Di jam-jam sibuk, keterlambatan 10-15 menit biasanya membuat penumpukan penumpang bertambah, sehingga gerbong sudah terasa seperti dalam kaleng sarden. Untunglah para penumpang umumnya berprinsip “yang penting sampainya cepat” sehingga tidak banyak mengeluh. Kecuali terjadi hal yang luar biasa, seperti putusnya aliran listrik, atau ada pohon tumbang, atau banjir, seharusnya tidak ada yang bisa membuat KRL terlambat. Saya tidak tahu kapankah komitmen ini bisa dipenuh pengelola.

Yang juga terasa kurang adalah kapasitas karena jadwal yang memang tidak sesuai dengan banyaknya penumpang. Saya kira yang ideal adalah di jam sibuk, mulai pukul 06.00 sampai pukul 09.00, dari Serpong ke Tanah Abang dan atau Manggarai,ada rangkaian setiap 10 menit, setidaknya 15 menit. Dengan demikian sisa penumpang akan cepat disapu dan tidak perlu terjadi berdesakan.

Saya sering mengalami, bagaimana penumpang memaksa masuk meskipun badan penumpang sudah saling menempel. Mereka yang masuk dari pintu, terus mendesak memaksa, sehingga penumpang di dalamnya nyaris kehabisan napas.

“Pak, sama-sama penumpang. Kasih tempat dong, kita juga perlu cepat sampai di kantor.” Kata mereka. Yang di dalam tidak keberatan, tetapi kalau tubuh sudah saling menempel—bahkan lelaki dengan perempuan—akan susah untuk mengalah dan memberikan ruang.

Terutama di bulan ramadhan yang lalu, kejadian ini membuat saya merasa sangat terganggu, melihat apalagi merasakannya. Saya tidak tahu apakah pengelola KRL pernah memikirkan sisi negative dari berdempet-dempetan seperti itu. Pelecehan secara sengaja maupun tidak, sangat mungkin terjadi.**

Saya bersyukur berkesempatan menikmati transportasi keretapi seperti ini di berbagai kota besar dunia. Ketika dulu meliput olahraga saya pasti menggunakan ini sebagai alat transportasi, karena cepat dan murah. Tidak ada bedanya keretap bawah tanah di New York, Washington, Hongkong, Seoul, Tokyo, begitu pula dengan London, Paris, atau keretapi di darat di Amsterdam, Stockholm, Bangkok.

Penuh sesak itu biasa. Kemungkinan copet, ya juga ada. Mau badan, bau mulut tidka sedap, ya pasti ada saja. Tetapi yang membedakan adalah jadwal di luar negeri itu umumnya, pas waktu, dan rangkaiannya banyak. Iniyang saya kira perlu juga disamakan pelayanannya oleh pengelola KRL Commuter Line.

Dan tentu saja satu lagi, disiplin. Di beberapa stasiun, masinis membuka dua sisi pintu jika berhenti, sehingga penumpang bisa naik dari dua sisi. Padahal sebenarnya yang benar adalah hanya dari sisi kanan gerbong penumpang bisa masuk. Membiarkan penumpang masuk dari sisi rel, sungguh berbahaya. Dan juga menyulitkan karena ada kesenjangan antara rel dan tangga pintu.

Beruntung selalu ada penumpang yang membantu, mengulurkan tangan, sehingga penumpang lelaki dan perempuan bisa terangkat. Tetapi menurut saya ini pelanggaran yang berbahaya, yang dibiarkan, meskipun jelas melanggar aturan.

Yang lain tentu saja, adalah bagaimana leluasanya para pengasong di KRL Ekonomi. Dalam perjalanan saya dari Palmerah ke Jurangmangu, pengamen dan pedagang, mencari makan dengan bebas. Yang dijual mulai dari handuk, asesoris wanita, buah, minuman, rokok, bahkan cabai merah. Dan di sini siapapun bebas merokok. Dan konon copet juga ada di jam tertentu atau di gerbong tertentu.

Saya sempat beberapa kali naik KRL Ekonomi, meski ditulis jelas peruntukannya untuk kalangan tidak mampu. Pertama karena tidak sengaja, saya sudah membeli tiket Commuter Line dan melihat ada gerbong langsung melompat karena mirip, ternyata sampai di dalam baru sadar salah kereta. Tapi saat bengong kereta sudah bergerak dan saya tidak berani ambil risiko.

Setelah itu meski dengan hati sedikit rasa salah saya juga naik Karena mengejar salat tarawih di rumah, saat bulan puasa lalu. Dan memang terkejar walau waktunya agak mepet.***

Saya kira masyarakat bersyukur adanya KRL yang menyediakan jasa angkutan yang cepat dan juga relative murah. Tetapi saya kira penggunanya berhak untuk mendapat pelayanan yang lebih baik, minimal dalam hal kapasitas dan ketepatan waktu bisa mendekati apa yang bisa dinikmati masyarakat di negara maju.***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun