Menentukan pilihan mengenai siapa yang akan menjadi pasangan kita dalam pernikahan adalah hak pilih yang bebas bagi laki-laki maupun perempuan, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya, menikahi Musyrik (yaitu orang yang mempersekutukan Allah); menikahi orang yang termasuk kategori mahrom (yang tidak boleh dinikahi menurut syara') dan menikahi pezina dan orang-orang yang berperilaku keji (QS Al-Nisa' {4}: 23-24, Al-Nur {24}: 3 dan 26)
Dalam tradisi Arab Pra Islam, anak perempuan sama sekali tidak mempunyai hak pilih. Bahkan, dirinya diposisikan sebagai komoditas yang sepenuhnya dimiliki oleh Ayah dan walinya. Ayah dan walinya ini dapat menentukan siapa saja yang akan menjadi pasangan hidupnya. Ketika Islam datang, tradisi ini kemudian diubah secara radikal. Dalam berbagai riwayat di kisahkan, Nabi Muhammad SAW. Ketika akan menikahkan anak-anaknya terlebih dahulu memberitahu mereka.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah. Nabi Muhammad SAW. Bersabda. "Janganlah dinikahkan perempuan janda sebelum diajak bermusyawarah, dan perawan sebelum dimintai persetujuannya."para sahabat bertanya. "bagaimana minta izin bagi perempuan itu, wahai Rasul? "beliau lalu menjawab. "diamnya adalah persetujuan."Â
Mawaddah mempunyai makna kekosongan dan kelapangan. Secara definitif, mawaddah artinya kelapangdadaan dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. M. Quraish Shihab menyebutnya sebagai cinta plus. Sebab, didalam hati seseorang yang telah bersemai mawaddah, dia tidak akan memutuskan hubungan; hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintunyapun telah tertutup dari keburukan lahir dan batin.
Prinsip ini didasarkan pada QS Al-Rum {30}: 21
"dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri. Supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang deikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
M. Quraish Shihab memaknai kata rahmah ini sebagai kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendoronga orang yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Oleh karena itu, suami istri, masing-masing akan selalu berusaha dan bersungguh-sungguh dalam rangka memberikan kebaikan pada pasangannya serta menolak segala hal yang mengganggu hubungannya.
Dalam hal ini maka rahmah akan menghasilkan sikap sabar, murah hati, tidah mudah dibakar api  cemburu, tidak angkuh dan tidak mencari keuntungan sendiri.
Dalam komunikasi sehari-hari amanah dipahami sebagai tanggung jawab. Kata amanah berasal dari akar kata yang sama dengan aman, yang berarti "tentaram". Juga sama dengan kata iman yang berarti "percaya". Orang yang memberikan amanah tersebut. Dia merasa aman dan percaya dengan orang yang diberi amanah tersebut, bahwa apa yang di amanahkan itu akan dipelihara dengan baik serta aman ditangan yang diberi amanat tersebut.
Demikain halnya dengan perkawinan, ia adalah akad amanah, bukan akad kepemilikan. Istri adalah amanah dielukan sang suami, dan suamipun amanah di pangkuan sang istri. Tentu, tidaklah mungkin suatu bnagunan perkawinan tanpa didasari dengan amanah yang di dalamnya terkandung rasa kepercayaan dan aman. Sang suami, demikian juga istri, tidak akan pernah mengambil keputusan menikah dengan pasangannya, kecuali didalam dirinya telah tertanam rasa aman dan kepercayaan kepada pasangannya.
Prinsip Mu'asyarah bil Ma'ruf
Atas dasar amanat inilah kemudian antar pasangan musti saling menjaga, menghormati, dan melindungi (Mu'asyarah bil Ma'ruf). Islam mengajarkan agar suami memperlakukan istrinya secara sopan dan bermartabad (QS Al-Nisa' {4}:19). Saat melakukan haji Wada' (haji perpisahan), Nabi Saw. Bersabda, "bertakwalah kamu kepada Allah berkaitan dengan urusan perempuan, kamu telah mengambil mereka sebagai amanah Allah dan kamu telah memperoleh (dari Tuhan-mu) kehalalan atas kehormatan mereka dengan kalimat Allah....."
Di akhir-akhir kehidupannya, Nabi Saw. Berwasiat kepada umat Islam agar selalu membangun komitmen dengan pasangan dalam keluarganya. Perempuan yang masa itu selalu menerima perlakuan yang tidak adil dan tidak senonoh (dari laki-laki), menjadi subyek benting bagi Nabi Saw. Yang musti dibela dan diperjuangkan martabatnya. Sosok isrti, bukan sekedar pasangan dalam hidup berkeluarga, tetapi juga amanah dari Tuhan yang harus dijaga dan diberi rasa aman. "sebaik-baik kamu," kata Nabi Saw., "adalah yang paling baik terhadap keluarganya".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI