Dua malam yang lalu, di tempat saya biasa mengerjakan shalat tarawih, ada kultum yang menarik. Tentang level dalam hubungan suami istri.
Ketika menyampaikan tema ini, si penceramah membukanya dengan sebuah hadist yang bunyinya begini:
Man shooma romadoona iimanan wah ti saa ban, ghufirolahu maa taqod dama min dzam biih.
Arti hadist itu, yang umum, kira-kira: “Barangsiapa yang mengerjakan puasa di bulan Ramadhan dengan keimanan yang benar dan ikhlas, maka Allah akan ampuni dosa-dosa mereka di masa yang lalu.” Nah, si penceramah kemudian menjelaskan bahwa kata wah ti saa ban, ada juga yang mengartikan dengan penuh pertimbangan atau senantiasa melakukan evaluasi.
Jadi, barangsiapa yang melakukan puasa dengan iman yang benar dan senantiasa melakukan evaluasi, maka Allah akan ampuni dia. Cukup masuk akal memang. Dan karena saya awam, tidak mengerti benar seluk beluk bahasa Arab, maka saya mengiyakan saja. Mendengarkan dengan baik dan merekamnya di kepala. Lebih lanjut, penceramah mengatakan bahwa di bulan Ramadhan ini, sebaiknya memang, kita senantiasa melakukan evaluasi kepada banyak hal.
Mengevaluasi darimana harta dan kekayaan kita dapat? Kemana dibelanjakan? Dan sebagainya. Mengevaluasi bagaimana pendidikan dan teladan yang sudah kita berikan ke anak-anak kita? Apakah sudah baik atau belum? Apakah selama ini kita hanya menyuruh tanpa pernah memberikan contoh yang benar? Atau bagaimana? Terlebih, sudah selayaknya kita, terutama bagi yang sudah menikah, untuk senantiasa melakukan evaluasi terhadap hubungan dengan pasangan di rumah. Terhadap istri atau suami masing-masing.
Saya langsung khidmat mendengarkan bagian ini. Bergumam dalam hati, “Keren juga nih kayaknya!” Lebih lanjut, penceramah kemudian menjelaskan tentang tiga level hubungan antara suami dan istri. Pertama, level paling rendah dan primitif, namanya mahabbah! Mahabbah adalah bahasa Arab yang dalam bahasa kita, artinya adalah cinta. Suami istri yang masih pada level mahabbah adalah mereka yang saling tertarik hanya karena alasan fisik belaka.
Hubungan ini di dasarkan pada ganteng atau tidak? Cantik atau jelek? Bohay atau biasa saja? dan lain-lain. Intinya, level ini hanya tumbuh karena fisik semata. Bukan karena yang lain. Jika suami istri hanya saling tertarik hanya karena alasan ini, maka bisa bahaya jadinya. Suami yang mulai gemuk, akan tidak disukai lagi oleh istrinya. Pun sebaliknya, istri yang mulai bulat dan berat, akan dijauhi suaminya.
Malangnya, di luar sana, banyak ABG yang molek-molek, banyak perempuan-perempuan nakal yang gemar menggoda, dan jika seorang lelaki hanya berada pada level mahabbah saja, maka bisa celaka dua puluh lima namanya. Ia akan mudah selingkuh. Mudah mendua dan menikah lagi entah dengan siapa. Alamak! Mencintai seseorang karena fisik tidak akan bertahan lama. Karena fisik akan menua, karena fisik bersifat fana dan tidak akan selamanya jelita.
Level hubungan kita harus ditingkatkan menjadi yang kedua. Apa itu? Penceramah mengatakan, level berikutnya adalah mawaddah. Mawaddah juga berasal dari bahasa Arab, yang artinya (dari beberapa sumber yang saya baca) adalah: cinta kasih yang disertai dengan harapan-harapan tinggi, atau, sebuah keinginan dan usaha menghindarkan orang yang kita cintai dari sifat yang jelek dan tidak diinginkan.
Penceramah dua malam malam lalu kemudian menjelaskan bahwa level mawaddah adalah level ketika kita mencintai dan menyukai seseorang karena sikap dan tingkah laku mereka. Karena akhlak yang baik. Tidak hanya karena alasan fisik saja. Suami kita memang sudah menjadi gemuk, tapi ia dewasa, bertanggung jawab, dan enak diajak berdiskusi. Sehingga karena sifat-sifat yang baik ini, maka kita tetap mencintai dan menyayanginya.
Istri kita juga demikian. Tubuhnya sudah kian bulat saja. Tapi ternyata ia bisa dipercaya, pintar mengelola keuangan, dan pandai mengurusi rumah hingga tetap rapi dan enak dipandang, sehingga karena hal inilah, kita semakin cinta dan tidak ingin kehilangan. Orang-orang yang sudah sampai pada level mawaddah, tidak akan mudah tergoda oleh perempuan lain di luar sana. Bagi mereka, fisik bukan lagi pertimbangan utama dan pertama. Lagian, buat apa cantik fisiknya kalau mengurusi rumah saja tidak bisa. Buat apa bohay kalau ternyata tidak bisa dipercaya.
Tul, nggak? Level kedua, mawaddah saja sudah cukup bagus. Tapi ternyata, penceramah tidak berhenti sampai disitu saja. Ada satu level lagi yang lebih tinggi, level ketiga, yaitu Rohmah! Rohmah adalah juga bahasa Arab yang dalam bahasa Indonesia, artinya adalah kasih sayang. Kata rohmah sering kali disematkan sebagai salah satu sifat Allah yang senantiasa mengasihi semua makhluknya: baik yang islam atau pun yang tidak. Buktinya, Allah tetap memberikan hidup dan napas, memberikan kesehatan dan kekayaan kepada yang bukan Islam, toh? Padahal mereka jelas-jelas sudah menduakan Allah, menyembah selain DIA. Allah tetap memberikan kasih sayang-Nya kepada semua orang.
Pun begitu dalam rumah tangga. Mereka yang sudah pada level rohmah, akan senantiasa memandang pasangannya dengan sudut pandang yang baik. Mereka tidak mudah marah dan membenci. Mereka mencintai pasangannya secara lengkap. Baik dan buruknya diterima dengan lapang dada. Istri suka mengomel di rumah, dia lapang dada. Berkata dalam hati, “Yang diomelkan istri saya benar. Pasti ada maksud yang baik. Dia memang begitu. Tidak apa-apa. Kalau memang mengganggu, nanti akan saya nasihati pelan-pelan.”
Istri tidak bisa memasak di rumah, dia menerima dan berbaik sangka, “Nggak apa-apa nggak bisa masak. Pasti dia punya kelebihan lain. Masalah memasak, bisa dipelajari bertahap. Kalau pun sekarang belum bisa, masih banyak kok yang jualan makanan di luar.” Suami suka begadang dan bangun kesiangan, istri bilang, “Nanti dia pasti berubah. Yang penting aku sabar dan terus mengingatkan.” Keduanya saling menerima dan tidak banyak menuntut. Mereka benar-benar orang yang sudah sampai pada level rohmah. Menyayangi pasangannya secara utuh.
Orang-orang seperti inilah yang luar biasa. Mereka pasti akan senantiasa menemani, baik dalam keadaan senang maupun tidak. Penceramah kemudian melanjutkan, bahwa sesiapa saja yang sudah sampai pada level ini, rohmah, maka bisa dipastikan keluarganya akan sakinah. Sakinah adalah bahasa Arab, yang dalam bahasa kita artinya adalah tenang, damai, dan tentram. Tentu saja.. semua suami istri yang sudah pada level rohmah, akan mencapai itu: ketenangan. Keluarga mereka adem, enak dilihat orang, saling mencintai dan menyayangi, tidak pernah cek cok karena masalah apapun.
Keluarga-keluarga yang sakinah sudah menyadari dengan baik, bahwa hubungan suami istri mereka tidak hanya terjadi antara mereka berdua saja. Tapi bertiga. Satunya lagi adalah Allah. Hubungan itu menjadi: suami, istri, dan Allah. Sehingga jika keduanya menyadari hal ini, kehidupan mereka akan senantiasa damai. Apapun yang terjadi pada mereka, akan disikapi dengan kalimat yang menyenangkan. Mendapatkan anugerah mereka bersyukur, mendapatkan musibah mereka sabar. Dan keduanya, syukur dan sabar itu, adalah hal yang baik. Semuanya bisa diperoleh, jika dan hanya jika, suami istri itu sudah sampai pada level rohmah.
Demikian.
DISCLAIMER: Tulisan ini juga diposting di BLOG PRIBADI penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H