Mohon tunggu...
Bang Syaiha
Bang Syaiha Mohon Tunggu... Guru | Penulis | Blogger | Writer | Trainer -

www.bangsyaiha.com | https://www.facebook.com/bangsyaiha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Empat Hal Penting Agar Pendidikan Bisa Menjadi Gerakan Semesta

26 Mei 2016   14:23 Diperbarui: 26 Mei 2016   14:34 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERINGATAN!

Tulisan ini pasti akan panjang sekali. Saya sudah berusaha membuatnya sesingkat mungkin, tapi tidak berhasil. Maka jika anda ingin membacanya sekarang, pastikan anda sedang duduk manis dan tidak sedang mengerjakan hal penting lainnya.

Sediakan juga kopi atau teh hangat beserta cemilan yang nikmat.  

Tapi jika tidak bisa membacanya sekarang, maka simpan saja URL postingan ini. Monggo dibaca ketika sempat dan luang. Insya Allah, apa-apa yang akan saya sampaikan adalah hal-hal baik yang semoga saja menggugah dan menginspirasi.

Duh, pede banget gue!

Tulisan ini memang akan panjang sekali jadinya. Ada sekitar 6 halaman A4 (atau malah lebih). Jumlah yang tidak sedikit. Apalagi untuk sebuah tulisan di internet.

Tapi, dengan segenap kemampuan, saya berusaha sebisa mungkin menjadikan tulisan ini renyah, enak dibaca, dan mengalir.

Semoga berhasil.

Kita mulai dari:

Who am I?

Orang-orang memanggil saya dengan sapaan Bang Syaiha. Singkatan dari Syaiful Hadi, nama lengkap saya. Nama Syaiful begitu pasaran, sehingga teman-teman kuliah saya dulu bersepakat memanggil saya dengan sebutan Syaiha (Syaiful Hadi).

Saya adalah manusia pilihan (Asik, pede gila nih gue!), karena ditakdirkan oleh Tuhan tumbuh dan berkembang sebagai lelaki yang memiliki keistimewaan: kaki kanan saya kecil, jalan tidak normal, dan selalu menjadi pusat perhatian di keramaian.

20150226-100619-57469fdff59673a706ad27f7.jpg
20150226-100619-57469fdff59673a706ad27f7.jpg
Saya menderita polio sejak usia satu tahun!

Saya pernah minder, tertunduk lesu di pojokan, dan menyesali setiap kejadian.

Saya merasa tidak ada gunanya.

Apalagi ketika menemukan sebuah fakta bahwa seseorang seperti saya, yang kakinya istimewa, susah sekali mendapatkan pekerjaan. “Mana ada perusahaan yang mau menerima orang cacat bekerja!” celetuk teman saya dulu.

Hingga hampir satu tahun setelah lulus kuliah, entah sudah berapa surat lamaran kerja yang saya layangkan, tapi tidak ada satupun yang berhasil saya masuki. Selalu gagal di tengah jalan.

Padahal, pada tes-tes awal (uji kemampuan akademik dan psikotest), saya hampir pasti selalu menjadi yang paling atas. Mendapatkan nilai paling tinggi.

Tapi ketika wawancara dan pihak perusahaan menyaksikan betapa mengerikannya saya berjalan, mereka kemudian tidak jadi menerima. Saya ditolak.

Saya lupa (atau lebih tepatnya tidak mau mengingat) berapa kali hal demikian terjadi.

Hingga entah di interview kerja yang ke berapa, seorang pewawanacara jujur mengatakan: “Wah, maaf sekali, mas. Kami tidak tahu kalau mas punya kekurangan. Padahal kualifikasi akademik mas bagus.”

“Tapi karena mas punya kekurangan dan kebetulan perusahaan membutuhkan pekerja yang bisa melakukan mobilitas tinggi, maka mohon maaf, kami belum bisa menerima.”

Saya mengangguk. Karena memang cuma itu yang bisa saya lakukan.

“Tapi,” si pewawancara melanjutkan, “kabar baiknya perusahaan kami akan membangun sebuah sekolah. Yah, barangkali nanti saya bisa merekomendasikan mas untuk mengajar disana. Bagaimana?”

Waktu itu, karena saya sudah terlanjur sedih dan galau, saya hanya merespon, “Akan saya pertimbangkan, Pak.”

Setelah kejadian di atas, saya masih mencoba mendaftar di beberapa perusahaan pangan (sesuai jurusan ketika S1, Ilmu dan Teknologi Pangan) dan semuanya tidak ada yang berhasil lolos.

Saya sedih, merasa tidak bisa melakukan apa-apa, merasa tidak bisa diandalkan.

Akhirnya, Saya Memilih Menjadi Guru

Saat sedang bingung harus mencari makan darimana? Percakapan dengan pewawancara di atas kembali terngiang.

Tidak hanya itu..

...bahkan obrolan dengan almarhum bapak saya, dulu, juga muncul ke permukaan, “Nak, nama kamu itu Syaiful Hadi. Artinya pedang petunjuk.”

Saya mendengarkan khidmat. Menyimak.

“Mengapa bapak dan mamak memberikan nama itu? Karena kami ingin kamu menjadi guru, menjadi manusia yang memberikan petunjuk kepada banyak orang.”

Amboi, mulia sekali, bukan? Sekaligus juga tugas yang berat. Apakah saya bisa mengembannya? Entahlah..

Saya masih galau. Jadi guru? Bukankah gaji guru itu kecil? Bukankah profesi guru itu dipandang sebelah mata dan tidak dianggap?

Saya masih bingung. Hingga kemudian, ketika gerakan Indonesia Mengajar mengadakan roadshow ke kampus, saya mencoba hadir. Siapa tahu dapat pencerahan dan jalan terang disana.

Waktu itu, yang mengisi roadshow adalah pak Anies Baswedan. Dan anda tahu, beliau sungguh menginspirasi saya, menyadarkan saya bahwa menjadi guru adalah pengabdian. Pekerjaan mulia yang luar biasa.

Apalagi menjadi guru di daerah pedalaman.

Bertekadlah saya seketika: “Baik, kalau begitu saya akan menjadi guru saja. Pergi ke daerah terpencil dan terluar. Mengajar disana dan berbagi kepada anak-anak.”

Selanjutnya, saya mendaftar ke gerakan Indonesia Mengajar dan entah karena apa, gagal. Mungkin saya memang benar-benar tidak istimewa. Mungkin saya memang hanya sampah yang tidak berguna.

Saya tertegun.

Lalu, pada sebuah hari yang saya lupa tepatnya kapan, seorang teman datang ke kamar sambil tergopoh-gopoh. Di tangannya ada poster Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa.

Ia bilang, “Eh, Bro.. Ente ikut ini aja nih. Kayaknya keren!”

Saya perhatikan kertas itu dan mendapati bahwa Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa juga gerakan yang luar biasa. Mereka mencari sarjana-sarjana terbaik, dibekali selama 6 bulan penuh, lalu diterjunkan langsung ke daerah pedalaman.

Wah, seru nih! Sebelas dua belas dengan gerakan Indonesia Mengajar!

Singkatnya, hanya dalam waktu dua minggu, saya berhasil melengkapi semua berkas dan berhasil mendaftar.

Kali ini saya beruntung karena lolos dan kemudian dikirimkan ke daerah Pedalaman Sambas, Kalimantan Barat. Tepatnya di SD Negeri 1 Kota Bangun, Kecamatan Sebawi.

Lingkungan Sekolah SDN 1 Kota Bangun

Ketika saya baru sampai disana, sekolah itu semak bukan main. Rumputnya tinggi-tinggi dan subur. Saya menelan ludah menyaksikan semuanya, bergumam, “Ini sekolahan apa kandang sapi, sih?”

Karena hal inilah..

...pelan tapi pasti, saya kemudian menginisiasi pembentukan taman disana. Saya melakukan gerakan Sepuluh Ribu Satu Orang di Kompasiana (sayangnya tulisan itu sudah saya hapus) dan berhasil mendapatkan uang nyaris 20 juta hanya dalam waktu satu minggu saja.

Terimakasih teman-teman.

Uang yang saya dapatkan itu saya belikan mesin pemotong rumput, polibag, media tanam, pupuk, krayon, dan keperluan lainnya. Saya juga membeli iqro, karena mendapati bahwa anak-anak disana masih banyak yang belum bisa membaca Al Quran.

Melihat sedikit kerja keras saya, kepala sekolah disana kemudian mendukung, ikut turun tangan dan jadilah sekolah itu seperti sekarang. Menjadi sekolah hijau yang dicontoh banyak tempat.

Dok. Pribadi. Ini adalah kepala sekolah yang luar biasa
Dok. Pribadi. Ini adalah kepala sekolah yang luar biasa
Semangat Anak-anak Di SDN 1 Kota Bangun

Sebenarnya, anak-anak pedalaman tidak kalah pintar dengan anak-anak kota. Bahkan, beberapa, boleh jadi jauh di atas rata-rata.

Hanya saja, karena akses pendidikan dan rendahnya kualitas guru-guru yang mengajar, maka mereka tidak berkembang dengan baik.

Sama seperti ini..

Gadget kita misalnya. Ia bisa saja memiliki spesifikasi yang tinggi. Tapi kalau kita yang memakainya tidak mengerti kegunaan dan fitur-fiturnya, apakah mungkin akan terpakai optimal?

Tentu saja tidak, toh?

Begitu juga anak-anak di pedalaman Indonesia. Jika mereka kita umpakan gadget, maka sebagian kecilnya adalah gadget super canggih.

Sayang saja.. yang menggunakannya bukan orang-orang berkompetensi tinggi, bingung hendak dijadikan apa.

Satu dua siswa saya sangat pintar. Saya hanya menjelaskan sedikit, tidak panjang lebar, tapi mereka sudah mengerti. Bisa mengerjakan soal-soal.

Selain itu, anak-anak pedalaman sejatinya adalah anak-anak yang rajin. Ini terbukti dari sejak saya hadir disana, sekolah selalu ramai dari pagi hingga malam.

Sekolah tempat saya mengabdi di Kalimantan selalu banjir setiap hari
Sekolah tempat saya mengabdi di Kalimantan selalu banjir setiap hari
Apa saja kegiatan yang saya buat disana?

Sore hari saya ajak pemuda untuk rajin olah raga. Main volley, bulu tangkis, dan tenis meja. Peralatannya dari sekolah. Saya sediakan semuanya dari uang donasi yang saya dapatkan.

Selepas maghrib sampai Isya, saya mengajak siapa saja yang belum bisa mengaji untuk datang. Saya tuntun mereka satu demi satu, pelan-pelan, sampai mereka mampu. Iqro’ yang saya beli dari hasil donasi sangat berguna sekali pada kegiatan ini.

Setelah Shalat Isya, saya memberikan tambahan pelajaran kepada siapapun. Tidak hanya anak SD. Tapi juga SMP dan SMA. Biasanya, yang rajin datang adalah mereka yang sudah kelas 3, yang sebentar lagi menghadapi UN.

Mendapati betapa gigihnya mereka mengikuti semua aktivitas yang saya sajikan, maka saya bisa menyimpulkan: semangat anak-anak disana luar biasa.

Setelah Satu Tahun Mengabdi Disana..

Jujur saja, setahuan berada di pedalaman Kalimantan dan membersamai anak-anak hebat, tentu menjadi tahun terbaik dalam hidup saya. Tahun yang tidak pernah tergantikan. Sungguh!

Bahkan jika saya punya kemampuan untuk kembali ke masa lalu dan mengulanginya lagi, saya pasti akan melakukan hal demikian.

Pergi lagi ke pedalaman Kalimantan dan mengajari anak-anak disana.

Tapi itu tidak mungkin, bukan?

Maka mau tidak mau, setelah satu tahun pengabdian, saya harus ditarik kembali ke Bogor. Tugas saya di Sekolah Guru Indonesia sebagai relawan pendidikan selesai dan saya harus melanjutkan hidup.

Kembali memikirkan, apa yang bisa saya lakukan kemudian?

Saya sudah terlanjur jatuh hati pada dunia pendidikan. Bersamanya, hidup saya nyaman, bahagia, dan tentram sekali rasanya.

Bisa membuat siswa saya tersenyum puas dan berteriak, “Yeay! Akhirnya saya bisa mengerjakan soal ini!” itu adalah kebahagian paling besar dalam hidup.

Tuhan benar, cara terbaik membuat kita senang adalah dengan menyenangkan orang lain. Termasuk memberikan pengajaran yang benar dan menyenangkan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Karena hal inilah, maka saya berusaha keras tetap berada disini, di dunia pendidikan. Saya mengajar di sebuah bimbingan belajar sambil melakukan kegiatan sosial. Apapun yang bisa saya lakukan dan itu baik, maka hayuk, saya kerjakan.

Kalau tidak salah ingat, ketika nyaris satu tahun saya mengajar di sebuah bimbingan belajar, Dompet Dhuafa kembali menghubungi saya, meminta saya bergabung di sekolah yang akan mereka rintis segera.

SMA SMART 1 Bogor, namanya!

Ini adalah sekolah yang benar-benar baru. Saya dan teman-teman memulainya dari nol kecil. Kami tidak memiliki gedung sekolah, sarana dan prasarana minim, bahkan jumlah guru pun terbatas.

Yang besar dan menggumpal keras hanya semangat di dalam dada kami masing-masing.

Maka dengan modal itulah kami belajar disini. Di dua rumah yang kami sulap menjadi kelas sederhana. Ruang tamu kami beri karpet dan papan tulis di dinding. Kami belajar dan berdiskusi banyak hal sambil lesehan.

Dok Pribadi. Sedang Belajar Matematika
Dok Pribadi. Sedang Belajar Matematika
Kami (para guru) dan siswa tidak bersekat, berlaku seperti sahabat. Diantara kami saling curhat, bercerita apa saja. Pembelajaran juga disampaikan dengan cara yang menyenangkan dan tidak membosankan.

Sehingga pelan tapi pasti, siswa-siswa yang awalnya tidak bergairah karena sekolah yang hanya rumah, berubah menjadi orang-orang yang ikhlas, penuh rasa syukur, dan betah.

Prestasi juga satu demi satu menghampiri, semisal juara 1 lomba Story Telling, Juara 2 lomba Opera van Jampang pada kegiatan Olimpiade Humaniora, menjadi peserta nasional lomba roket air, juara pada lomba blogging dari BNI, dan masih banyak lagi.

Saat ini, bahkan dua siswa kami sedang mengikuti program Bina Antarbudaya ke Amerika. Sudah lolos seleksi tahap satu dan akhir pekan nanti akan mengikuti seleksi tahap kedua: wawancara. Semoga berhasil.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Sekolah ini sekarang sedang berkembang. Tumbuh menjadi lebih baik. Terus berbenah dan semoga menjadi besar. Harapan saya, semoga sekolah ini bisa menebar manfaat yang banyak untuk orang-orang.

Mohon doanya.

Apa Kesimpulan yang Ingin Saya Sampaikan pada Tulisan ini?

Pertama, jika pendidikan adalah gerakan semesta, maka ia adalah hak setiap anak bangsa. Mau anak di pedalaman atau ibu kota, semuanya, seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama.

Diberi sarana dan prasarana yang memadai, difasilitasi guru yang mumpuni, dan tersebar sama rata di setiap kota dan pelosok negara.

Jangan sekali-kali menganggap mereka, anak-anak pedalaman, sebagai anak nomor ke sekian. Karena sudah banyak bukti dan bisa dilihat sendiri, justru dari merekalah nanti, negeri ini bisa kembali disegani.  

Anak-anak pedalaman hidup dalam serba keterbatasan. Mereka mengalami pahit dan getirnya kehidupan. Mereka berjuang keras dan ditempa oleh itu semua.

Sehingga ketika pendidikan mereka berjalan benar, maka hasil yang kita dapatkan pasti luar biasa. Mereka akan benar-benar mengabdi dan bisa diandalkan Indonesia.

..Sekali lagi, semoga saja.

Kedua, jika pendidikan adalah gerakan semesta, maka seharusnya siapa saja bisa menjadi guru dan berbagi. Tidak hanya mereka yang sarjana pendidikan saja. Tapi semunya. Sarjana apapun.

Asal di hatinya ada keinginan kuat untuk berbuat, maka monggo dan jangan dihambat.

Ketiga, jika pendidikan adalah gerakan semesta, maka guru seharusnya bisa menjadi sahabat dan rekan curhat. Selain itu, guru pun dituntut bisa menyampaikan materi yang diampunya dengan semangat dan enak dilahap.

Sebenarnya ini mudah..

Tinggal bergantung pada kemauan guru saja. Mau melakukan hal demikian atau tidak.

Menciptakan pembelajaran yang menyenangkan itu gampang, juga murah.

Saya misalnya, ketika mengajarkan Matematika, hanya bermodalkan botol-botol bekas. Saya taruh semuanya beberapa meter di depan. Siswa saya bagi menjadi beberapa kelompok, sesuai jumlah botol yang ada.

Setiap kelompok saya beri soal.

Setiap kelompok mengerjakan satu demi satu soal itu dan baru boleh membawa air dengan kedua telapak tangannya ke botol jika soal yang mereka kerjakan benar.

Pemenangnya adalah mereka yang bisa mengisi air dalam jumlah lebih banyak dan dalam waktu yang lebih cepat. Lalu, pemenang akan saya beri hadiah: permen.

Murah meriah.

Ini penting: pembelajaran harus menyenangkan. Karena apa-apa yang dilakukan dengan suka cita, akan mudah sekali diterima dan dijaga di dalam kepala hingga bertahan lama.

Saya diliput NET TV 

Keempat, jika pendidikan adalah gerakan semesta, maka sudah selayaknya semua yang ada di negara ini mendukung. Menciptakan suasana dan budaya yang sama-sama bergerak ke arah yang lebih baik.

Orang tua, pemerintah, lingkungan, dan sekolah harus saling bantu membantu. Kita tidak bisa berjalan masing-masing.

.

.

.

.

Semoga tulisan saya ini berguna.

Silakan disebarkan jika berkenan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun