Saya mengangguk. Karena memang cuma itu yang bisa saya lakukan.
“Tapi,” si pewawancara melanjutkan, “kabar baiknya perusahaan kami akan membangun sebuah sekolah. Yah, barangkali nanti saya bisa merekomendasikan mas untuk mengajar disana. Bagaimana?”
Waktu itu, karena saya sudah terlanjur sedih dan galau, saya hanya merespon, “Akan saya pertimbangkan, Pak.”
Setelah kejadian di atas, saya masih mencoba mendaftar di beberapa perusahaan pangan (sesuai jurusan ketika S1, Ilmu dan Teknologi Pangan) dan semuanya tidak ada yang berhasil lolos.
Saya sedih, merasa tidak bisa melakukan apa-apa, merasa tidak bisa diandalkan.
Akhirnya, Saya Memilih Menjadi Guru
Saat sedang bingung harus mencari makan darimana? Percakapan dengan pewawancara di atas kembali terngiang.
Tidak hanya itu..
...bahkan obrolan dengan almarhum bapak saya, dulu, juga muncul ke permukaan, “Nak, nama kamu itu Syaiful Hadi. Artinya pedang petunjuk.”
Saya mendengarkan khidmat. Menyimak.
“Mengapa bapak dan mamak memberikan nama itu? Karena kami ingin kamu menjadi guru, menjadi manusia yang memberikan petunjuk kepada banyak orang.”