Saya pernah membaca sebuah status di facebook. Kira-kira isinya begini:
“Punya suami nggak pengertian banget sih! Udah tahu hari ini aku ulang tahun, bukannya dikasih kue, kado, atau kejutan, malah sibuk sendiri sama kerjaan! Sebel!”
Beragam komentar kemudian berdatangan di status itu, ada yang bilang sabar, tenang, atau apalah. Ada juga yang menasihati, sebaiknya hal-hal demikian tidak perlu diceritakan di sosial media, apalagi sampai dibesar-besarkan.
Di lain kesempatan, saya juga pernah membaca status lain, dari orang yang berbeda. Bunyinya: “Punya istri maunya diperhatiin terus, nggak ngerti apa, kalau pekerjaan di kantor lagi numpuk dan harus diselesaikan?”
Respon dari komentar ini juga sama. Ada yang bilang sabar, tenang, atau apa saja. Satu yang lain, ada yang bilang, nggak baik menulis seperti itu di beranda dan dibaca banyak orang. Ada pula yang mengingatkan dengan bijak, kita harus bisa menerima pasangan kita, kelebihan dan kekurangannya.
Dua status di atas adalah sesuatu yang barangkali lazim terjadi di jaman sekarang. Orang-orang mulai lupa mana batasan pribadi dan mana yang boleh dikonsumsi publik. Merasa bahwa sosial media milik dirinya sendiri dan bebas menuliskan apa saja disana.
Padahal tidak demikian.
Sosial media, apalagi yang diatur bisa dilihat oleh publik, akan menjadi mudah dibaca oleh siapa saja.
Seperti teman kuliah saya dulu, misalnya. Ia iseng (atau malah tidak tahu akan hal ini), sehingga enteng sekali dia menulis: “Duh, susah banget sih ketemu dosen pembimbing. Padahal, gue kan pengen cepet-cepet kelar dan wisuda! Nasib oh nasib!”
Redaksinya tentu tidak persis sama demikian. Tapi intinya begitu, teman saya ini mengeluhkan susahnya ketemu dosen pembimbing skripsinya yang super sibuk. Ia menuliskan semuanya di status facebook.
Eh, apa dinyana, dari sekian banyaknya komentar, satu diantaranya adalah dari dosen yang ia maksud. Untung pak dosen ini tidak marah, hanya menulis begini: “Mau bagaimana lagi, bulan-bulan ini saya memang sibuk. Ada agenda di luar negeri. Mohon maaf.”