Kedatangan mereka adalah ajang untuk mengukur kemampuan. Dan ketika sadar bahwa kekuatan sendiri masih belum mumpuni, maka Son Goku akan masuk ke sebuah ruangan bergravitasi jauh lebih tinggi dibandingkan bumi.
Gravitasi ruangan itu bisa diatur, mau lebih tinggi berapa kali lipat gravitasinya. Selain gaya tarik ke pusatnya yang bisa dinaikkan, Son Goku juga memakai pakaian-pakaian yang beratnya jauh melebihi orang normal. Nggak kebayang, kan, bagaimana beratnya tubuh kita jika ada di ruangan demikian.
Son Goku melakukan semua itu, tidak lain untuk membuat tubuhnya lebih kuat. Ketika ia keluar, kembali ke dunia dengan gravitasi normal, maka kecepatan gerakan tubuhnya akan meningkat pesat.
Hasil dari kerja keras itu adalah, Son Goku menjadi orang yang paling bisa diandalkan ketika musuh datang membahayakan bumi.
Sadar atau tidak, tontonan inilah yang (barangkali) membentuk saya menjadi seperti sekarang: nggak suka diremehkan dan nggak mau ada yang lebih tinggi di atas saya. Setiap ada tantangan, saya selalu suka dan sering kali berkata, “Kayaknya saya bisa deh melakukannya!”
Duh, songong banget, kan, saya? Sudah pincang, tapi tetap saja demikian.
Ketika sekolah misalnya, saya akan frustasi jika saya menjadi juara dua. Merasa kesal dan mengutuki diri sendiri. Hingga di semester berikutnya, saya pasti akan belajar lebih giat daripada biasanya. Tidur lebih sedikit dan membaca lebih banyak.
Pernah suatu ketika, saat masih SD, selama beberapa minggu saya dan satu orang teman tidur berdua di masjid. Kami membawa buku pelajaran dan mengulangi setiap materi yang pernah diajarkan. Sebelum mengantuk, kami membaca buku, mengerjakan soal, dan berdiskusi.
Nanti, ketika sudah mulai mengantuk dan mata sudah kriyep-kriyep, buku-buku yang kami bawa, kami jadikan bantal dan kami terlelap.
Kami bahkan sempat berkelakar, “Siapa tahu dengan menjadikannya bantal, maka semua isi buku ini akan terserap ke kepala kita dan besok kita jadi pintar!”
Sebuah guyonan yang nggak masuk akal.