Mohon tunggu...
Bang Syaiha
Bang Syaiha Mohon Tunggu... Guru | Penulis | Blogger | Writer | Trainer -

www.bangsyaiha.com | https://www.facebook.com/bangsyaiha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis Itu, Katanya Sama Seperti Mengayuh Sepeda

29 April 2016   20:42 Diperbarui: 29 April 2016   20:45 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selepas shalat Ashar tadi sore, saya duduk sejenak di atas sajadah. Bersila. Mulut saya memang tidak komat-kamit, hanya hati saja yang melayang entah kemana. Memikirkan banyak hal: usia yang kian bertambah, amanah yang kian berat, juga tentang si kecil yang kian besar dan saya harus mendidiknya dengan baik.

Setelah beberapa menit berkelana, saya memalingkan wajah ke samping kiri, memandang keluar melalui jendela kaca yang sedang terbuka.

Beberapa anak kecil sedang asik sekali mengayuh sepedanya di halaman masjid. Aduhai, bebas sekali hidup anak-anak ya! Mereka tidak punya beban yang berat. Hidupnya senantiasa riang, penuh dengan candaan dan permainan.

Seperti sore tadi. Mereka bersepeda di halaman yang sebenarnya tidak luas. Berputar-putar disana dan tidak berhenti.

Satu anak mengayuh sepedanya kencang dan tidak berhenti beberapa saat. Hingga ketika kecepatan sepedanya agak kencang, ia menghentikan kayuhan kakinya di pedal dan membiarkan sepeda melaju.

Anak itu duduk santai sambil menikmati angin yang menyapa wajahnya. Kepalanya mendongak dan ia tertawa-tawa, memamerkan barisan giginya yang gupis!

Tidak lama kemudian, ketika sepedanya memelan –dan tentu saja nanti akan berpengaruh pada keseimbangan tubuhnya, ia mengayuh lagi. Begitulah, jika ingin sepedanya tetap berjalan dan keseimbangan terjaga, maka kayuhan pedal sepeda tidak boleh berhenti lama –sebentar boleh.

Menyaksikan pemandangan itu, entah karena apa, saya teringat nasihat dari Omjay beberapa tahun silam, katanya, “Menulis itu sama seperti kita bersepeda. Untuk tetap berjalan dan bisa ahli, maka kita nggak boleh berhenti mengayuh. Istirahat sebentar nggak apa-apa, tapi jangan terlalu lama.”

Maksudnya, jika ingin bisa menulis, maka kita harus terus menulis dan jangan berhenti. Karena ketika berhenti, sebulan saja, maka akan berat lagi memulainya. Nggak percaya? Silakan saja dicoba.

Omjay juga pernah bilang, “Menulis adalah sebuah keahlian. Artinya, untuk bisa ahli disana, kita hanya perlu satu hal: menulis sebanyak-banyaknya, sesering mungkin.”

Benar.

Ini adalah rahasia yang umum (bukan rahasia lagi dong ya namanya), bahwa untuk bisa menghasilkan tulisan yang baik dan enak dibaca memang hanya perlu melakukannya sesering mungkin. Jangan berhenti menghasilkan tulisan setiap hari.

Kita bisa menuliskan apa saja.

Ibu-ibu yang setiap hari mengurusi rumah dan menemani tumbuh kembang anaknya, bisa menulis tentang pengalaman berharganya agar bisa dijadikan pelajaran buat banyak orang. Ia juga bisa menulis resep masakan yang mudah dibaca oleh banyak orang.

Mahasiswa yang masih kuliah bisa menuliskan mata kuliahnya di blog dan membiarkannya dibaca khalayak ramai. Hal ini berguna sekali untuk: pertama, secara tidak langsung ia belajar, mengulang materi yang sudah disampaikan, dan kedua, ia juga sedang melakukan edukasi kepada siapapun yang membaca tulisannya.

Bahkan boleh jadi, karena tulisannya tentang mata kuliah di blog, bisa jadi ia akan mudah mendapatkan beasiswa, baik di dalam negeri atau di luar. Pemberi beasiswa akan menilai bahwa dia adalah orang yang punya semangat belajar tinggi.

Itu kan luar biasa.

Lalu, guru yang setiap hari mengajar di sekolah, bisa menghasilkan tulisan tentang pendidikan, tentang bagaimana menangani peserta didik yang bermasalah, tentang bagaimana menjadi guru yang baik dan benar.

Karyawan yang berangkat pagi pulang petang, bisa menuliskan kisah menariknya sebagai pekerja swasta. Itu bisa dilakukan ketika sedang di kereta, di halte bus, atau dimana saja. Dengan gadget yang super canggih seperti sekarang, saya rasa semuanya menjadi mudah.

Bahkan tukang becak sekalipun, jika memungkinkan, sambil menunggu penumpang, alangkah lebih baik jika ia juga menulis. Menceritakan bahwa pengalaman kehidupannya luar biasa berdarah-darah. Bahwa demi sesuap nasi, ia harus terbakar sengatan matahari.

Dan jika tulisan dia dibaca oleh orang-orang, boleh jadi akan ada rejeki lain yang menghampiri. Who knows, kan?

Atau, paling simpel, jika anaknya yang membaca, setidaknya tulisan itu akan menjadi cambuk baginya untuk belajar lebih rajin dan berpikir sesegera mungkin untuk mandiri agar tidak membebani.

Oke, saya tahu bahwa yang saya tuliskan terlalu muluk. Mana ada (kalaupun ada mungkin sedikit, satu dua orang saja) tukang becak yang sempat menulis. Lah wong mereka saja biasanya buta huruf dan tidak bisa membaca.

Baiklah, lupakan..

Untuk bisa menghasilkan tulisan yang renyah, selain harus sering menulis, kita juga harus banyak membaca. Seperti yang pernah Afifah Afra bilang, bahwa sejatinya, pekerjaan terbesar bagi seorang penulis adalah membaca. Porsinya harus lebih banyak. Karena membaca adalah memberi nutrisi yang baik bagi kesehatan tulisan kita.

Sama seperti tubuh, semakin seimbang bacaan yang dilahap, maka semakin sehatlah tulisan yang dihasilkannya.

Sesimpel itulah..

[Saya posting juga di blog pribadi saya: http://www.bangsyaiha.com/2016/04/menulis-itu-sama-seperti-kita-bersepeda.html]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun