Mohon tunggu...
Bang Syaiha
Bang Syaiha Mohon Tunggu... Guru | Penulis | Blogger | Writer | Trainer -

www.bangsyaiha.com | https://www.facebook.com/bangsyaiha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Kisah Nyata] Kematian Bisa Datang Kapan Saja

24 Oktober 2015   05:50 Diperbarui: 24 Oktober 2015   10:22 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah dari sononya, bahwa semua anak kecil akan suka sekali dengan binatang. Dulu, semua keponakan saya juga demikian. Ada yang suka menimang-nimang kucing, menangkapi kecoa, menyaksikan cicak, hingga mengejar-ngejar ayam yang berlalu lalang sambil berseru-seru minta diambilkan.

Bagi mereka, semua binatang itu, boleh jadi adalah hal baru. Jika selama ini, sejak mereka bisa melihat hingga menemukan binatang itu, yang pandang, disaksikan, dan didengar adalah ayah dan ibunya, maka memandang binatang-binatang itu menjadi sebuah kesenangan tersendiri.

Alif misalnya, sekarang suka sekali menyaksikan cicak, kecoa, atau belalang yang kebetulan lewat. Matanya awas, menyaksikan tanpa berkedip. Bahkan diganggu oleh saya dan istri juga tak mempan.

Boleh jadi dalam hatinya bertanya-tanya, itu makhluk apaan ya? Kok berbeda dengan ummi dan abi? Kok nggak sama dengan tubuhku? Atau apalah.

Untuk tiga binatang tadi, Alif memang tak bisa melakukan apapun. Hanya bisa memandang penuh takjub. Karena cicak, belalang, dan kecoa bisa terbang dan tak mungkin ditangkapnya.

Lain lagi kalau semut, yang ini mudah dikejar dan tidak bisa terbang. Itulah sebabnya, Alif akan mengejar semut yang kebetulan mendekat. Ia belum tahu mana semut yang bersahabat dan mana yang bisa menggigit. Baginya, semua semut sama, mengherankan dan membuatnya takjub, mungkin.

Maka beberapa hari lalu, ketika ada seekor semut yang bisa menggigit dan cukup besar mendekat, Alif memandanginya penuh khidmat sambil bergumam-gumam. Sebagai orang tua, saya hanya mengawasi, membiarkan Alif bersekolah dengan alam sekitarnya, belajar banyak hal.

Alif memandangku sebentar, lalu kembali ke arah semut tadi dan hendak mengambilnya. Malangnya, karena sensorik halus anak saya ini belum berkembang maksimal, maka ketika hendak mencomot semut itu, dia malah mengeplaknya. Kontan saja si semut menggelepar-gelapar kesakitan. Alif bukannya berhenti malah terus-menerus memukul –baca: hendak mengambilnya dengan cara Alif sendiri, hingga si semut hitam mati.

Mengenaskan.

Nah, ketika mendapati mainan barunya tak lagi bergerak, Alif bosan dan mencari hal lain. Mayat semut itu tergeletak begitu saja disana.

Selain senang, saya juga tertegun menyaksikan kejadian ini. Senangnya karena perkembangan Alif sampai saat ini berlangsung normal, baik-baik saja, dan membanggakan. Lalu mengapa saya tertegun?

Begini..

Pertama, jika kita adalah semut itu, maka kasihan sekali, bukan? Niat hati, ketika baru keluar dari sarangnya tadi pagi, boleh jadi semut ingin bekerja mencari nafkah untuk ratu dan koloninya. Mencari remah-remah roti dan mengangkutnya ke sarang. Disimpan dan menjadi persedian makanan untuk beberapa hari ke depan. Di tengah aktivitasnya itu, bencana datang. Tangan Alif yang besar sekali baginya, datang mengehempas. Ia terkapar dan mati.

Kematian datang tanpa diundang, tiba-tiba, dan bisa kapan saja. Kita harus menyadari bahwa kehidupan adalah hal paling rapuh dari apapun.

Beberapa bulan lalu, mbakyu saya menelpon, mengabarkan bahwa anak tetangganya yang juga saya kenal, yang usianya jauh lebih muda 15 tahun dari saya, mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat.

Saya menggigit bibir, membayangkan betapa kematian tak pandang usia. Dia masih muda belia, paling-paling baru kelas satu SMA atau bahkan masih SMP. Tapi ketika kematian datang menyapa, ia tak bisa dimundurkan barang sedetik, atau tak bisa dimajukan juga.

Jika mengingat hal ini, saya bergidik ngeri. Akan seperti apalah nanti kematian saya? Semoga ia dalam kebaikan. Sedang shalat, mengaji, atau berbuat kebaikan lain, lalu Allah memanggil. Ini kan ujung yang baik dan semoga Allah langsung menenmpatkan saya di sebaik-baiknya tempat, surga.

Kedua, kejadian Alif dan semut itu juga mengajarkan saya tentang pentingnya bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kematian memang bisa datang kapan saja, tapi bukan alasan untuk kita tidak melakukan apa-apa, bukan?

Apakah kemudian, karena takut mati lalu hanya berdiam diri di kamar? Apakah hanya akan meringkuk di pojok ruangan, menutup pintu dan tak mau keluar?

Agama kita tak mengajarkan demikian. Kita dianjurkan bekerja seakan-akan bakal hidup selamanya. Bekerja keras demi penghidupan yang layak dan baik.

“Bagaimana kalau pas sedang bekerja lalu kecelakaan dan meninggal, Bang Syaiha?”

Tidak mengapa. Bahkan jika di awal pekerjaan kita sudah meniatkan semuanya karena Allah, ikhlas karena ingin beribadah kepada-NYA, maka ketika kematian datang, insya Allah justru akan menjadi ujung yang baik. Orang-orang bilang itu adalah syahid dan balasannya surga.

Itu kan keren sekali. Jauh lebih keren dibandingkan mati di kamar saat ketakutan dan bermalas-malasan.

Demikian.

Saya posting juga di www.bangsyaiha.com 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun